Jadi cocok; ikat pingang putih, sepatu putih, kulit saya juga putih, dikasih pulpen putih. Sejak itu saya suka warna putih. Saya pertahankanlah sampai sekarang.
Nama asli Anda Japi Tambayong, kok  pakai nama Remy Sylado? Sejak kapan?
Masih di Semarang, tahun 1965. Waktu itu saya masih redaktur harian Tempo yang kantornya di bekas koran Belanda yang terkenal De Locomotief, di Jl. Kepodang 22. Harian Tempo ndak ada kaitannya dengan Majalah Tempo atau koran Tempo sekarang. Â
Waktu  itu saya masih main rock'n roll zaman Elvis. Tetapi datang Beatles, rocknya agak aneh dan kuncinya agak kaya. Salah satu lagunya I'll give role my live, re mi si la do. Kok enak sekali lagu ini? Saya pikir ini bagus bikin nama.  Saya mulai pakai nama Remy Sylado untuk cerpen-cerpen.Â
Mengapa  senang memakai kata-kata yang kurang populer dalam novel  dan  tulisan-tulisan Anda?Â
Saya ingin mempopulerkan bahasa Indonesia  yang sudah ada di dalam kamus kita tetapi tidak dipakai. Saya ingin menjadikan kata-kata itu hidup.  Kata 'pernak-pernik', saya yang bikin itu.Â
Saya yang menghidupkannya, sekitar 1970-an. Terus kata 'kejutan'  saya yang populerkan untuk mengganti kata 'surprise'. Bahkan kata yang dari struktur kehurufan menyimpang  dari kelaziman bahasa Indonesia, masuk ke dalam kamus Besar BI. Misalnya kata mbeling  saya yang cetuskan tahun 1972. Menurut saya, kata menjadi populer tergantung pada frekuensi pemakaiannya. Kalau sering dipakai dia akan jadi populer.Â
Tentu saya tidak akan memakai bahasa Inggris yang keliru kalau ada bahasa Indonesia yang bisa dihidupkan. Misalnya sekarang, kenapa harus pakai kata 'quick count'. Ini kan dua kata, Â yang kalau diterjemahkan dua kata juga "hitung cepat" .Â
Padahal kata dalam bahasa Indonesia yang secara intuitif  berarti hitung cepat itu ada, 'mencongak'.
Memang kalau orang-orang yang tidak terbiasa dengan kata-kata itu akan susah mengikutinya. Tetapi biarlah. Saya kan tidak bisa menyuruh semua orang harus membaca karya saya.
Berarti tugas pengarang tidak hanya menulis?