Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Remy Sylado: Messter Op Alle Wapens

5 Agustus 2022   14:30 Diperbarui: 5 Agustus 2022   14:52 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Remy Sylado (Sumber: Perpustakaan Alcheron) 

Saya pernah mewawancarai sastrawan Remy Sylado (kini 77 tahun) pada tahun 2013 di rumahnya di Kawasan Cipinang. Setelah itu hingga tahun 2017 minimal sebulan sekali saya bertandang ke sana. Majalah yang kami asuh memiliki rubrik khusus di mana Remy menjadi kolomnisnya. 

Tulisan harus saya ambil, karena diketik memakai mesin tik manual, sebelum nanti di kantor, sekretaris redaksi mengetiknya ulang ke komputer. Sejak 2020 Remy terserang stroke dan kemudian menjalani dua kali operasi. Kini ia dalam proses penyembuhan.

 ***

Pada usia 68 Remy Sylado masih tampak segar dan sehat. Hampir seluruh rambutnya, yang dibiarkan sedikit panjang, mulai memutih.  "Belum ada pantangan makan," ujarnya. Remy Sylado lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945 dengan nama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong.

 Remy merupakan sastrawan Indonesia yang kuat. Ia menulis kritik sastra, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman populer, buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Ia juga melukis dan mematung.

 "Meester op alle wapens", master untuk semua jenis senjata. Istilah Belanda ini barangkali sedikit menggambarkan talenta Remy yang lintas batas. Novelnya, Kerudung Merah Kirmizi mendapat penghargaan Sastra Khatulistiwa (2002), sementara Ca Bau Kan diangkat ke layar lebar dengan judul sama.

Keunikan novel-novel Remy adalah, memakai kata-kata Indonesia lama yang jarang dipakai. Setiap novelnya merupakan hasil riset yang serius, bahkan hingga ke Eropa. Maka ia jengkel ketika sebuah penerbit hendak memangkas dialog-dialognya dalam sebuah novel sejarah.

"Dapatnya saja susah sekali di Belanda, eh malah mau dipangkas," ujarnya. Syukurlah dialog-dialog itu tidak jadi dihilangkan. Sambil menghirup kopi panas, Remy yang rajin mengikuti misa Sabtu sore di Katedral Jakarta ini menuturkan banyak hal kepada saya:

Bagaimana orang Kristen dapat menempatkan diri di tengah  masyarakat Indonesia yang majemuk?

Kita harus sepakat dulu bahwa yang disebut Kristen itu bukan hanya penganut Protestan. Orang Katolik juga kristen. Bahkan yang tidak lagi kristen kita sebut kristen murtad.  Sebagai umat Kristen kita jangan eksklusif atau inklusif. 

Dua-duanya keliru. Kalau eksklusif kita tertutup. Inklusif juga keliru karena kita menganggap semua agama baik dan sama saja. Kalau memilih inklusif kita menafikan pewartaan Injil Yohanes. Yesus mengatakan 'aku adalah jalan kebenaran dan hidup'. Kita juga harus berani mengatakan 'tidak seorang pun sampai ke Bapa kecuali melalui Kristus'. Maka kita perlu menjadi orang Kristen yang apologetis seperti ditulis dalam 1 petrus 3:15.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun