Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Di Papua ASI Pertama Masih Dianggap Air Susu "Kotor"

1 Agustus 2022   06:23 Diperbarui: 4 Agustus 2022   13:30 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Yosina Tabuni, salah satu kader kesehatan dari Kampung Wugari, Distrik Yalengga, Kabupaten Jayawijaya. (Foto: Dokumentasi pribadi)

Beberapa tahun lalu, saya pernah "belanja" bahan penulisan selama dua minggu di kawasan Wamena, Jayawijaya, Papua. Temanya terkait Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat (MTBS-M). Ada 12 kisah tentang upaya menanggulangi penyebaran berbagai penyakit menular dari ibu ke anak di sana. Antara lain tentang Air Susu Ibu (ASI) seperti kisah di bawah ini.

=000=

"Bapak, saya tambah sedikit wawancara yang kemarin. Saya mau kasih jelas soal kolustrum."

Yosina Tabuni (41), minta diwawancarai lagi.

Yosina hanya lulus SMP Asologaima 2 di Perabaga, Jayawijaya, Papua. Kepada saya ia menjelaskan tentang kolustrum yakni air susu pertama yang keluar setelah seorang ibu melahirkan. Kolustrum berwarna kekuning-kuningan dan mengandung banyak protein,karbohidrat dan antibodi.

"Wajib kasih sama bayi begitu ibunya sudah bisa menyusui," ujar Yosina.

Namun di kampungnya, ada kebiasaan ibu-ibu membuang ASI pertama karena dianggap sebagai air susu "kotor". 

"Mereka peras dan buang di atas batu panas seperti kebiasaan nenek-moyang," kata Yosina.  Perempuan yang tidak mengikuti kebiasaan nenek moyang dianggap melawan budaya.

=000=

Yosina adalah kader kesehatan dari Kampung Wugari, Distrik Yalengga, Kabupaten Jayawijaya. Saya menjumpainya di Wamena. Yosina bersama 16 kader lainnya sedang mengikuti penyegaran Home-Based life Saving Skills (HBLSS)untuk Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Diselenggarakan oleh  lembaga Wahana Visi Indonesia (WVI). Bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya. Penyegaran dilakukan  di Sanggar Latihan Silimo Siloam, Wamena. Sanggar ini milik sebuah tarekat biarawati. Dari sini kita leluasa melihat pesawat naik dan turun di Bandara Wamena.

Kampung Wugari terpencil di balik gunung-gunung. Berjarak  sekitar 100 kilometer di luar Wamena. Untuk datang ke pertemuan di atas, Yosina mesti berjalan kaki terlebih dahulu ke jalan besar selama dua jam. Sebab di Wugari belum ada jalan raya yang bisa dilewati kendaraan. Ia ke jalan besar untuk bisa naik kendaraan ke Wamena dengan ongkos Rp 35 ribu.

"Sekitar 2 jam saja sudah sampai Wamena," ujarnya. 

Infrastruktur jalan yang belum memadai membuat banyak distrik dan kampung di Kabupaten Jayawijaya sukar dijangkau kendaraan bermotor. Kalaupun bisa, perlu perjuangan keras. Jalannya berlumpur. Berlubang-lubang. Tidak layak untuk dilalui kendaraan.

Ada kalanya hubungan antar distrik atau kampung terputus. Karena jembatan diterjang banjir. Kondisi ini membuat petugas kesehatan sukar menjangkau kampung-kampung di balik gunung.

"Puskesmas hanya ada di Yalengga. Kalau jalan kaki dari Wugari sekitar dua jam baru sampai," jelas Yosina lagi.

Puskesmas Yalengga melayani  14 kampung di Distrik  Yalengga dan Distrik Koragi. Kampung-kampung itu adalah; Wugari, Taganik, Tumun, Marli, Biti, Pilimo,Akorek, Wananuk II, Wananuk I serta kampung Koragi, Kumudluk, Tagibaga, Tenondek dan Telegai.

Mengangkat Kader

Petugas kesehatan sangat minim di Jayawijaya. Demikian pula di seluruh pedalaman Papua. Sementara angka kematian ibu dan anak, antara lain karena pendarahan, diare dan infeksi paru (pneumonia) sangat tinggi.

Seperti dilaporkan Unicef Papua dan Papua Barat, tingkat kematian  Ibu melahirkan  di Papua masih tertinggi di Indonesia yakni 306 per 100.000 ibu melahirkan pada 2019.  Salah satu penyebabnya adalah  saat melahirkan tidak dibantu tenaga profesional.

Selain itu kondisi kesehatan Ibu menyebabkan pendarahan  tinggi saat hamil maupun saat melahirkan.

"Di pedalaman hampir tidak ada tenaga kesehatan yang mau menetap karena berbagai alasan," ujarnya.

Terhadap hal ini Pemerintah Daerah Jayawijaya tidak mau berpangku tangan. Antara lain, mereka mengangkat dan melatih kader kesehatan. Yakni para warga kampung terutama kaum perempuan.

Para kader  adalah relawan. Dilatih untuk mengenali tanda-tanda kesakitan awal dan memberikan semacam pertolongan pertama. Pengobatan "tanggap darurat".

Kalau ada anak balita batuk atau diare atau  demam, mereka bisa memberikan obat. Cara dan jenis obatnya diajarkan. Itulah yang dilakukan dalam pelatihan penyegaran di atas. Supaya para kader tidak lupa. Perlu dilatih rutin. Berulang-ulang. Supaya diingat terus. 

Di sinilah lembaga seperti WVI dan Unicef mengambil peran besar. Yakni mendampingi para kader serta memberi pelatihan yang rutin, sebulan atau dua bulan sekali.

Tetapi kalau kondisi si sakit agak parah, para kader juga diajari untuk segera  "merujuk"nya ke Puskesmas di pusat distrik. Biasanya di Puskesmas ada dokter. Atau tenaga kesehatan lain seperti perawat dan bidan. Atau membawanya ke RSUD di Wamena.

=000=

Yosina salah satu kader relawan tadi. Ia digaji Rp 200 ribu perbulan.

"Dulu kami ada 5 orang. Tetapi karena gaji kecil, mereka mundur. Tinggal saya sendiri sekarang," kata Yosina yang berharap diangkat sebagai PNS oleh pemerintah.

 "Saya kunjungi ibu hamil atau yang sedang menyusui sebulan sekali. Kalau berat badan anaknya kurang, saya minta ikut posyandu karena di situ ada pemberian makanan tambahan," jelasnya. 

Yosina juga mendampingi ibu hamil melakukan pemeriksaan di Puskesmas minimal tiga kali selama masa kehamilan berlangsung.

"Satu kali antara satu sampai tiga bulan kehamilan, yang kedua antara 3-6 bulan dan yang ketiga waktu mendekati kelahiran," kata dia.

Yosina juga mengajari para ibu untuk menghitung sendiri usia kehamilan mereka.

"Saya ajar mereka hitung kapan mens terakhir. Dari situ baru kita hitung Hari Perkiraan Lahir (HPL). Tiga hari sebelum HPL, ibu hamil sudah harus masuk puskesmas," jelas Yosina.

Tetapi sedikit yang bisa menghitung HPL. Lebih sering terjadi,  kalau si ibu sudah mulai merasa akan melahirkan barulah dibawa ke Puskesmas. Padahal banyak persalinan yang berisiko tinggi, entah karena posisi bayi yang tak semestinya dan Ibu hamil yang kekurangan gizi. Kerap terjadi pendarahan hebat.

=000=

Semenjak tahun 2010, Wahana Visi Indonesia (WVI) membangun kemitraan dengan Unicef dan Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya. Juga dengan lembaga lain yang memiliki perhatian besar terhadap kesehatan ibu dan anak.

Yosina hanya salah satu dari sekitar 50 orang kader kesehatan yang selalu diundang dalam pelatihan-pelatihan yang dilakukan. Misalnya soal  Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat (MTBS-M).

Prioritasnya memang kader yang berada di wilayah yang jauh dari Wamena. Yang sukar dijangkau pelayanan kesehatan. Yang terpencil.

Para Kader Kesehatan Belajar Tentang MTBS-M  dibawah bimbingan Nakes (Dokpri)
Para Kader Kesehatan Belajar Tentang MTBS-M  dibawah bimbingan Nakes (Dokpri)

Ukurannya mudah. Kalau mereka berjalan kaki lebih dari dua jam untuk sampai ke fasilitas kesehatan, mereka masuk kategori "terpencil".

"Waktu teman-teman WVI mulai masuk, pelatihan yang kami dapatkan makin banyak dan teratur. Kami diajar tentang mengobati Diare dan Pneumonia. Perlengkapan melahirkan juga sudah disiapkan semua oleh WVI. Juga bagaimana membawa Ibu amil ke Puskesmas," kata Yosina.

Tak ada rotan akar pun jadi. Demikian yang berlaku di pedalaman Papua. Selain memperhatikan kesehatan ibu dan anak, Yosina juga melakukan promosi kesehatan tentang sanitasi dan gizi.

Yosina dan para kader lain juga dilatih tentang Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak (PMBA). Mereka  berperan untuk melakukan konseling kepada ibu hamil dan ibu menyusui yang masih mempunyai anak di bawah 2 tahun. Para kader juga diajari untuk bisa mengajari para ibu di kampung membuat makanan bergizi.

"Makanan bergizi tidak harus mahal. Makanan yang ada di sekitar kita seperti ipere bisa kita olah. Pucuknya jadi sayur yang banyak vitaminnya," kata Yosina.

=000=

Hasilnya memang ada. Setidaknya di Wugari. Di kampung Yosina.  Sebelum tahun 2006, kata dia, angka kematian ibu dan anak cukup tinggi. Empat sampai lima kematian per tahun. Berkurang menjadi hanya satu kematian pada 2010. Hal ini terjadi karena sanitasi yang buruk dan asupan gizi yang rendah. Juga beban kerja yang tinggi pada ibu hamil.

Seperti diketahui, beban kerja pada perempuan Papua sungguh berat. Selain mengurus rumah, mereka juga harus bekerja di ladang sepanjang hari. Lalu kembali ke rumah membawa makanan untuk diolah bagi keluarga.

"Ibu-ibu sudah bekerja di kebun. Hanya makan satu kali sehari. Mereka juga pikul noken, pikul kayu bakar, gendong anak. Pokoknya ibu bekerja paling banyak sudah, meskipun dia sedang hamil," kata Yosina. 

Karena itu Yosina memberi pemahaman kepada para  ibu hamil  agar tidak boleh mengangkat beban yang berat-berat. Juga tidak boleh terlalu lelah bekarja, sebab akan berpengaruh pada kondisi janin di dalam perutnya.

Ia juga memberi pemahaman kepada para suami agar tidak memaksa istrinya bekerja di ladang.

Membantu Persalinan

Para kader juga belajar Home-Based Life Saving Skills (HBLSS ). Yakni keahlian untuk membantu ibu melahirkan di rumah. Buat jaga-jaga. Kejadiannya memang sering begitu. Karena susah menentukan HPL tadi. Apalagi para ibu malu kalau melahirkan di puskesmas.

Meskipun praktik ini sudah dilarang pemerintah, namun kenyataan bicara lain. Dalam kondisi darurat apapun harus dilakukan. Termasuk para kader yang harus membantu proses kelahiran.  

"Kader dilatih untuk bisa membantu ibu melahirkan di rumah. Mama-mama di sini malu kalau melahirkan di puskesmas atau Pustu. Tetapi ada peraturan pemerintah yang melarang ibu untuk melahirkan di rumah, sehingga proyek ini kami alihkan agar kader mampu menginformasikan kepada masyarakat mengenai tanda bahaya pada ibu hamil dan anak bayi baru lahir, serta mengupayakan ibu agar dapat melahirkan di tenaga kesehatan," kata Andri Lummy, Area Manager WVI yang meliputi Jayawijaya, Lanny Jaya dan Tolikara.

Diakui Yosina, para ibu hamil enggan melahirkan di Puskesmas karena malu bertemu petugas kesehatan. Ada juga yang takut. Khawatir akan diminta membayar biaya persalinan. "Padahal  sudah gratis semua," kata Yosina.

=000=

Yosina tetap menjadi kader di kampungnya. Ia tidak lelah berkeliling memberikan pendampingan terhadap ibu hamil dan menyusui. Berbagai cara ia pakai untuk meyakinkan mereka. Ia sendiri menjadi teladan.

Waktu saya mewawancarainya ia sedang menyusui Yuvri yang baru berusia dua bulan.

"Yuvri ini saya kasih ASI eksklusif. Jadi dia tidak gampang sakit. Ibu-ibu yang lain melihat. Terus mereka tiru," ujarnya. Yuvri adalah anak nomer empat Yosina .

Sejak ada kader kesehatan, angka kematian ibu dan bayi di Kampung Wugari dan kampung-kampung di sekitarnya dapat ditekan. Dalam enam tahun terakhir kata Yosina, hanya  ada satu kematian yang terjadi.

=000=

Usai pelatihan di Wamena, Yosina pulang ke Wugari. Kembali lagi ke dalam kebiasaannya berkeliling jalan kaki mencari dan mendampingi ibu-ibu hamil dan menyusui.

"Saya senang. Bisa bantu. Tidak berat. Hanya modal kaki dan mulut dan tangan saja to," kata Yosina.

Ia menggerakkan jari-jemari tangannya. Ia tertawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun