“Bukan, Nek. Tapi, saya memang dokter. Boleh saya masuk, Nek ?”
“Oh, ya. Silahkan. Masuklah.”
Mereka pun melangkahkan kaki, dan duduk di kursi bambu yang tampak berdebu. Leila tidak mengelap kursi bambu itu. Ia langsung saja duduk. Tidak baik dilihat Bu Sadariah takut pakaian kotor, karena debu di kursi bambunya.
“Maaf, Nak. Rumah ini kotor sekali. Sebentar ya, saya ambilkan dulu kain lap.”
“Tidak usah, Nek.”
“Nanti pakaian kamu yang cantik itu kotor, karena debu-debu di kursi nenek.”
“Tidak, Nek. Tidak apa-apa,” kata Leila sambil melemparkan senyumnya.
Sejenak mereka pun tampak membisu. Bola mata Leila menggelinding memandangi ruangan rumah Bu Sadariah. Kecut juga hatinya. Sarang laba-laba tampak bergantungan di sudut dinding-dinding. Debu pun menempel merubah warna dan suasana rumah itu.
“Kamu datang mau menggugurkan, ya ?” kata Bu Sadariah membuyarkan lamunan Leila.
Leila tersenyum.
“Maaf, Nak. Dari dulu saya tidak mau dengan pekerjaan itu, “ kata Bu Sadariah lagi.