Mohon tunggu...
Alexander Ginting
Alexander Ginting Mohon Tunggu... -

penikmat warta (berkunjung juga ya, ke blog saya : www.solusiinspirasi.wordpress.com)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hati Yang Menepi

31 Agustus 2011   06:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cerita Bu Sadariah sama dengan yang didengarnya dari ibunya, tentang kisah perjalanan cinta yang terlarang, sehingga harus meninggalkan kampung. Dengan terseok-seok, pantang menyerah, malu mundur, Nuraini bersama suaminya merayap cecak di dinding melewati getirnya kehidupan, hingga bebatuan membuat kaki keras bertapak.

Untuk memperbaiki cinta terlarang ibu dan ayahnya inilah, Leila mudik ke Desa Sidodadi. Ia ingin bersilahturahmi dengan keluarga ayah dan ibunya yang satu kampung. Meminta maaf atas kesalahan ayah dan ibunya selama ini.

Sebenarnya, ibunya tak mengijinkan Leila mudik, karena ia sudah merasa tak punya sanak saudara lagi di kampung halaman. Kisah cintanya dengan Arman yang membuatnya mendayung sampan ke tengah lautan menghantarnya terkucil dan terusir.Sampai lebaran ini, ia merasa lebih baik tak dikenang oleh siapa pun. Orang-orang akan menertawai perahunya oleng oleh nahkoda tak pandai memutar kemudi layar. Sampai terkapar pada karang.

Tak elok mengeras hati, rasa beku cair oleh kasih, Leila menggugah ibunya. Ia tetap punya hati untuk melepas rindu akan keluarga di kampung halaman. Hanya ibunya berpesan, terlebih dahulu bertemu dengan Bu Sadariah. Bercakap-cakap bersama Bu Sadariah mencari petunjuk menyiapkan langkah kaki bertemu dengan sanak saudara, agar enak hati berpulang ke kota.

***

Hari ketiga Lebaran, rumah Bu Sadariah sudah tampak bersih. Tak ada sarang laba-laba yang menggantung, mengejek. Kursi bambunya pun tak berdebu seperti hari kemarin. Ruangan rumah itu tak lagi terhimpit hidung menarik nafas. Dada terasa lapang jauh dari sesak. Langit-langit dan lantai rumah elok dipandang, mata berbinar. Kemarin, Leila bersama anak-anak paman dan bibinya bergotong royong membersihkan rumah Bu Sadariah.

“Ya, Allah. Masih ada yang peduli padaku,” bisik Bu Sadariah sambil menahan air matanya. Hatinya terharu.

Sebelum Leila kembali ke Jakarta, ia membuat acara makan bersama di rumah Bu Sadariah. Bu Sadariah pun menyambut baik hal ini. Sanak saudara dari ayah dan ibunya diundang. Dan mereka pun menyembelih seekor kambing. Kini, dapur rumah Bu sadariah tercium masakan rendang kambing.

Keluarga besar itu pun tampak damai dan bahagia. Ada senyum, canda dan tawa. Air mata rindu berpulang saudara melukis langit berlentera rembulan yang diapit bintang-bintang berkerlap-kerlip di beranda hati.

Lalu, paman Leila mendekatinya.

“Sebelum kakekmu meninggal, ia selalu memanggil-manggil Nuraini. Ayah menyesal telah mengusir ibumu dari kampung. Berulang kali ia mencari ibumu, tapi tak pernah membuahkan hasil,” lirih Kharta, paman Leila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun