Di dalam rumah itu, ia hanya tinggal sendiri. Tak ada anak dan famili dalam berteduh. Keluh nafas mendesah tak henti menunggu hari. Hanya ada asa, pantang terkapar melangkahi kuasaNya. Bu Sadariah, tampaknya menanti rembulan menjaring jejak. Hanya bibir kuncup dan melengkung dengan senyum lirih, ia menatap jalan di depannya.
Dari ruangan depan, ada suara memanggil-manggilnya. Suara itu lembut berayun-ayun.
“Nek..Nenek…!”
Dengan tertatih-tatih, Bu Sadariah melangkahkan kakinya mendekati suara itu. Ia melihat seorang perempuan muda bersama seorang anak kecil yang menunjukkan rumah Bu Sadariah. Lalu, anak itu pergi meninggalkan mereka. Perempuan muda itu tampak melepas senyum. Manis sekali.
“Boleh saya masuk, Nek ?”
Bu Sadariah hanya mengangguk. Anggukannya tampak lemah. Leher, seolah tak kuat lagi menopang kepala dan rambut yang panjang beruban. Matanya pun tak tajam seperti dulu yang penuh percaya diri.
“Maaf, Nek. Saya mengganggu.”
“Tidak. Tidak apa-apa.”
Perempuan muda itu kembali terlihat tersenyum, sambil mengulurkan tangannya.
“Nama saya Leila, Nek.”
“Kamu bidan desa itu, ya ?”