Primitif sekaligus udik, seakan-akan sudah puluhan tahun menahan lapar, celoteh otakku. Padahal, ingar bingar terburu-buru itu adalah salah satu sifat syaithan bukan?
“Rak, pulang yuk!” ajak Sodiq menarik lenganku, aku pun setuju. Saatnya kembali mengekor kepada Sodiq yang setia dibuntuti.
Di atas perjalanan pulang, namun kalut bersikukuh untuk berinang. Kadung menjadi ranum atas menyimpangnya kemantapan suatu hukum. Yang benar saja, rukun salat bak terbunuh oleh laku buruk mereka, buatku sendu, seraya berkabung terlalu dalam. Seperti pakar psikis pada umumnya, Sodiq mampu menerka raut heranku. Menurutnya, aku sangatlah konyol.
“Kenapa, Rak?”
“Nggak tahu. Bingung aja, ternyata masih ada daerah yang belum terjamah akan syiar lurus agama,” tukasku sedikit tenang. Sodiq membiarkan, aku kembali melilau ke sekeliling. “Apa pendapatmu setelah melihat hal barusan?”
“Kalau menurut pandangan setiap orang, akan banyak sekali ditemukan sesuatu yang menjadi kontra dengan perspektif kita, Rak. Terggantung apa yang kita anut, apa-apa yang mereka anut. Kalau menurut pandanganku sih, tidak terlalu menjadi masalah selama masih berlandaskan akan asas yang kuat, dan itupun selama bacaannya tidak ada yang menyimpang,” jelas Sodiq.
“Lah, tadi jelas banget amburadulnya bacaan imam. Gimana dong?” balasku cepat, menukik penjelasannya.
“Benar juga sih, tapi ya mau bagaimana lagi, Rak?” tukasnya tak menahu dan kami sampai di pelataran Joglo milik nenek Sodiq. Segera bersiap untuk merehatkan diri, sebelum keesokan harinya kami kembali meroda.
Pukul 11.00 malam, sedang aku masih kuat terjaga. Entah mengapa, mataku tak kuasa berpejam barang beberapa menit, ingin rasanya mengulik kembali polemik yang masih bersimpang siur di pikiran. Hei, masalah ini melibatkan rukun salat yang jika diabaikan walau satu hal, dampaknya akan berpengaruh besar tehadap salat seorang muslim. Lantas, apakah ini dapat menjadi bid’ah dholalah?
“Coba ingat kembali, apa yang pernah Abah Nasih tuturkan kepadamu, Rak! Tentang gentingnya masalah kemunduran Islam. Salah satu faktornya adalah ketiadaan tenggang rasa bukan?” ujar Akalku. Membawaku menuju palung pikiran yang paling dalam.
“Salat qunut, tidak qunut, telunjuk kanan disekap, telunjuk kanan ditegakkan, telunjuk kanan diayunkan, basmalah dijahr, bahkan tidak, selagi masih beriman kepada Allah, maka kita harus menjalin toleransi yang kukuh. Selagi tidak mengusik keimanan, kita tetap bertenggang rasa.