“Allahu Akbar.”
“Sami’a Allaahu liman hamidah.”
“Allahu Akbar.”
Aba-aba kilat sang imam buatku terperanjat. Sengkarut di pikiran, membawa keriput di wajahku. Ditambah dengan bocah-bocah tunak yang bersimpang siur di atas kiblatku. Ya Allah, renjana ingin mengakhiri ketidak sopanan ini. Apa boleh buat, hanya sujud ini yang bisa kuterima indah khidmatnya.
Ah, jikalau aku memilih untuk pergi meninggalkan jamaah dan mendirikan salat sendiri, apakah kumasih dianggap memenuhi etiket keimanan dan kesopanan di mata mereka? Teramat sulit, kuindahkan saja sampai salam.
Salat tarawih, tiada perbaikan yang begitu signifikan. Malah semakin cepat dan laju bacaan imam dan transisi antar rakaatnya. Astaghfirullahaladzim, ya Allah. Padahal malam yang engkau janjikan untuk menutupi muram dan letih begitu panjang tersedia, bahkan kezaliman manusia pun merombaknya menjadi waktu beranarki akan canda dan tawa.
Lantas, mengapa tak tebersit setiitk niat untuk mencoba sedikit khusyuk dalam ibadah tahunan ini? Aku tak mengerti.
Tujuh menit berlalu penuh akan rasa gundah gulana bertamu dalam benak. Kala kami mengucap zikir bersamaan, sengaja aku melipat gandakan kalam permohonan ampun kepada-Nya. Berusaha memaklumi perkara yang kadung mengakar di masyarakat layaknya kini.
Kurasa, hierarki yang kami anut masih sekadar awam, namun tetap saja, perihal ini harus cergas diluluhlantakkan. Daripada harus merebak sampai pada zurah setelahnya.
“Silakan ambil nasi berkat yang tersedia di meja sebelah ya,” sahut sang imam kepada para jamaah yang menyimak.
Anak kecil, orangtua, semuanya berlomba-lomba untuk mengambil bungkusan nasi yang sudah terkumpul di sudut masjid sana. Bak ayam kelaparan mereka saling berebut berkat, bahkan ada beberapa. Sodiq melirik kearahku, sementara aku masih terpaku akan keanehan ini.