"Bisakah engkau memberitahu kami ada apa sebenarnya hingga kau bisa menangis di atas sana?" tanyaku.
"Mungkin tidak ada yang bisa ku katakan kepada kalian. Lagi pula ini kesedihanku. Untuk apa kalian ikut campur!"
"Untuk mengetahui seberapa dalam kesedihanmu dan untuk ikut tenggelam dalam kesedihan itu Muzaki." sambar Tiara dengan lembut.
"Tetap saja kalian tidak berhak atas itu!"
"Muzaki, percayalah! Kami hanya ingin membantumu! Tidak lebih dari itu! Ku mohon percayalah! Jika tidak kepada kami, lantas kepada siapa kau dapat bercerita?" ujar Tiara dengan nada memohon kepadanya.
"Baiklah. Tapi bisakah kalian tidak menghakimiku atas perbuatan yang telah  ku lakukan?" jawab Muzaki. Kami berdua mengangguk.
"Aku menyesal atas perbuatan atas perbuatan yang kuperbuat kala itu. Perbuatan yang menyedihkan dan sangat tidak masuk akal. Aku sungguh tak percaya kalau aku melakukan perbuatan keji itu,"
"Sebenarnya aku sudah ingin bercerita dari lama kepada Sangkara, ataupun kau Tiara. Namun aku takut jika kalian malah menghakimiku atas perbuatan itu. Dan karena itu juga aku selalu menolak dan menghindari konseling. Aku sungguh takut. Aku adalah manusia yang penuh dosa dan hina" lanjutnya.
"Muzaki, tugas aku dan Sangkara adalah untuk membantumu untuk sembuh dan bisa berdamai dengan masa lalumu. Tidaklah mungkin kami berdua menghakimi mu atas perbuatan yang engkau lakukan, lagi pula segala tindakan yang dilakukan oleh manusia pastikan mempunyai dasar dan alasan" jawab Tiara kepadanya.
"Ya. Maafkan aku atas sikapku yang berkesan tidak mempercayai kalian. Kalau begitu izinkan aku bercerita. Dahulu, aku pernah menerima tawaran dari seseorang untuk melakukan sebuah tindak kriminal. Aku menerimanya tanpa berpikir panjang. Sebab aku butuh uang, bayarannya pun besar. Yang dimana hasilnya nanti akan ku gunakan untuk anakku, ia butuh di operasi segera, jika tidak tumor akan menghabisi nyawanya. Tetapi aku sungguh menyesal karena telah menerimanya," dia menangis. "Orang itu menyuruhku untuk membakar tempat ibadah. Aku tidak tahu alasan dibalik itu. Aku tidak mengerti terhadap permintaan mereka kepada ku untuk melakukan perbuatan jahat tersebut," dia menangis. "Peristiwa itu memakan korban. Menurut sumber yang ku dapat, malam itu gereja sedang berpenghuni. Pengurus gereja berada di sana sedang melakukan rapat. Karena ulah ku, mereka yang polos dan tidak berdosa menjadi korban." tambahnya. Saya terkejut. Apakah insiden yang dimaksud adalah pembakaran gereja yang menewaskan Ibu? Saya memotong pembicaraanya. "Pembakaran terhadap gereja? Boleh kau sebut tempatnya?" pintaku padanya. "Di Muara Delima, Kota J. Disanalah insiden itu terjadi Sangkara," jawabnya. "Saya menyesal. Sungguh saya menyesal telah melakukan itu". imbuhnya dan sekarang tangisnya semakin deras.Â
Aku terdiam. Badan ini membeku seketika. Orang yang selama ini selalu ingin saya ketahui ternyata adalah Muzaki. Saya tidak percaya. Orang yang seharusnya dihukum sesuai dengan tindak kejahatannya selama ini adalah dia. Orang yang dekat dengan saya selama di tempat pemulihan.Â