Mohon tunggu...
Aldo Andrian
Aldo Andrian Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahluk Hidup

Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kita Bukanlah Orang Asing

4 November 2024   00:35 Diperbarui: 4 November 2024   00:45 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
rubenhilkens at cosmos.so

Saya tiba di tempat yang maksud oleh Tiara. Tempat ini berupa kafe, tidak terlalu besar seperti kafe yang biasanya ada di kota, namun suasananya tidaklah kalah dari kebanyakan kafe di sana. Saya memesan secangkir kopi hitam kepada pramusaji, kemudian saya berjalan ke kursi yang berada diluar dan kemudian duduk menunggu pesanan sampai, juga menunggu hingga Tiara tiba. Tidak lupa saya mengabarinya lewat pesan jika saya sudah sampai. Selang dari itu, dia pun muncul. Dia masih sama seperti yang saya kenal. Tidak ada yang berubah, senyum tetap indah, rambut hitam yang anggun dan terurai. Dia masih cantik seperti seharusnya. Sudah lama sekali rasanya kami tak berjumpa. Saya mempersilahkannya duduk,dan memesankannya minum. Hingga akhirnya kita pun terhanyut pada perbincangan. Perbincangan yang panjang, menyenangkan, dan hangat. Saya senang bisa bertemu dengannya, saya harap dia pun demikian. Saya bercerita banyak tentang kegiatan saya akhir-akhir ini, alasan saya mengapa pindah ke utara. Sebaliknya, dia juga menceritakan tentang hidupnya, pekerjaan apa yang sedang dia jalani, bagaimana pada akhirnya terdampar disini, juga dia menyarankan saya untuk ikut bekerja dengannya. Untuk membantu sebuah tempat pemulihan. Mendengar itu saya pun mengiyakan, sebab apa salahnya membantu seseorang? pun saya butuh kegiatan lain untuk mengisi kekosongan. Begitulah ceritanya mengapa saya bisa menjadi konselor di tempat pemulihan. 

*

Meskipun saya mempunyai jadwal kerja pada hari Selasa dan Kamis bukan berarti hanya di hari itu saya pergi kesana. Hampir setiap hari saya pergi ke sana, saya tidak tahu mengapa saya selalu pergi dan akhirnya hinggap dalam kehidupan tempat pemulihan. Yang pasti saya tahu adalah saya senang jika  berada di sana. Kegiatan yang saya lakukan ketika berada di sana hanyalah berbincang dengan pasien atau saya menyebutnya teman-tema. Ya benar, bagaimanapun mereka adalah manusia dan setiap manusia adalah teman saya. Selain itu saya membantu beberapa pekerjaan petugas di sana, lalu menyiram tanaman. Di tempat ini terdapat beragam tanaman yang berbaris rapi pada sebuah kebun kecil di belakang gedung. 

Tempat ini memang rumah sakit, tapi tidak seperti rumah sakit pada umumnya yang hanya berisikan ruangan putih membosankan, berbagai bilik kamar. Tempat ini sangatlah menyenangkan, fasilitas yang diberikan sangatlah memanjakan pasien. Di sini terdapat kebun, kebun kecil yang berisikan tanaman hias dan sayuran yang dapat digunakan sebagai sumber pangan, serta tempat olahraga yang biasanya digunakan untuk senam. Rumah sakit ini atau tempat pemulihan di utara memang dirancang seperti ini dengan fungsi agar pasien didalamnya merasakan kenyamanan dan tidak merasa jika dirinya berada dalam tempat pengasingan.

Memang tempat pemulihan ini tidaklah besar, pasiennya pun tidak begitu banyak, hanya sekitar 20 orang, oleh karena itu hampir semua pasien saya kenal, ada pula yang akrab dan sering berbincang dengan saya. Contohnya adalah Muzaki. Kami membicarakan berbagai hal tetapi sebagian besar adalah mengenai sepakbola. Kami juga terkadang menonton tayangan sepakbola bersama sambil sesekali bertaruh, taruhannya hanya sebatas 'yang kalah harus menyiram kebun' itu saja.

Muzaki berbeda dengan pasien lain. Ia sering menolak untuk konseling, dengan siapapun. Entah dengan saya ataupun Tiara. Ada saja alasannya, yang tiba-tiba sakit, tiba-tiba menghilang, pun jika hadir dia malah sering menepis pertanyaan yang diajukan. Itu menjadi sebuah sorotan khusus bagi saya.  Bukankah sikapnya merupakan sebuah kejanggalan?

 Sampai saat ini, pihak rumah sakit tidak tahu pasti apa yang ia derita, apa penyebabnya, dan bagaimana cara mengetahui itu semua. Jika dilihat dengan mata telanjang, dia baik-baik saja. Menurutku. Pernah sesekali saya bertanya kepadanya. 

"Muzaki. Bolehkah ku bertanya?" 

"Silahkan Pak. Tentang apa? Apakah engkau ingin bertanya siapa pemain bola favorit ku?"

"Tidak. Saya hanya ingin mengetahui siapa dirimu sebetulnya."

"Muzaki, itulah saya. Mengapa pula itu menjadi sebuah pertanyaan. Dasar aneh!" serunya kepadaku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun