Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Refleksi HUT RI: Kasus Ferdy Sambo, Bechi, dan Pengusaha Pengutil

17 Agustus 2022   07:02 Diperbarui: 17 Agustus 2022   07:10 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Refleksi HUT RI 77:  Kasus Ferdy Sambo, Bechi dan Pengusaha Pengutil.

HUT RI ke 77 tahun ini diwarnai berbagai kasus dan isu yang hangat. Kasus Ferdy Sambo menghiasi semua media kita akhir-akhir ini. Seakan tak ada lagi berita yang lain. Tiada hari, bahkan tiada jam tanpa berita tentang Ferdy Sambo.

Tiba-tiba ada lagi berita yang viral,  seorang pengusaha wanita yang mengemudikan mobil mercy mengutil cokelat dari satu minimarket. Kasusnya heboh, karena karyawan minimarket memaksa pengusaha tersebut untuk membayar cokelat yang dicurinya. Karyawan tersebut membuat video tentang hal tersebut dan viral.

Besoknya, pengusaha tersebut datang dengan pengacara memaksa karyawan yang memviralkan video tersebut untuk minta maaf. Sang karyawan meminta maaf. Lalu disiarkan lagi. Pengelola minimarket tidak bisa menerima keadaan tersebut. Pengusaha wanita yang mencuri cokelat dan memaksa karyawan minta maaf tersebut dipolisikan. Pengusaha yang diadukan tersebut histeris, dan akhirnya berdamai.

Sebelum kasus Ferdy Sambo, ada sebuah kasus pencabulan seksual terhadap santriwati yang dilakukan Mas Bechi, anak pemilik Pondok pesantren di Jombang. Karena anak Kiai sepuh dan terkenal, kasus ini sangat sulit ditangani polisi. 

Beberapa kali diupayakan untuk menangkap Bechi, polisi mengalami kesulitan. Pernah ditangkap, namun lepas lagi. Pengaruh ayahnya sebagai tokoh agama di Jombang yang sering disambangi para pejabat pada waktu pemilu dan Pilpres sangat kuat dan sulit ditembus.

Kasus Bechi ini sangat menarik perhatian msyarakat dan menjadi breaking news di berbagai stasiun TV. Ketidakmampuan polisi menghadapi wibawa Kiai sepuh tersebut. Beredar video ketika kiai sepuh menasehati Kapolres Jombang untuk tidak menangkap anaknya. Kapolres disuruh pulang dan Kapolresnya pulang tanpa mendapatkan tersangka yang sudah dimasukkan dalam DPO.

Kasus Ferdy Sambo bukan sembarang kasus. Ini menyangkut seorang jenderal polisi yang menjabat Kadiv Propam Polri terlibat dalam sebuah pembunuhan berencana terhadap anak buahnya. Setelah membunuh, dia mengarang cerita dengan skenario yang sudah dibuatnya sendiri dengan istilah  polisi tembak polisi alias baku tembak.

Kemudian bumbu perselingkuhan ditambahkan lagi ke kasus tersebut. Beritanya menjadi menarik bagaikan magnit. Bagaimana tidak menarik perhatian publik? Kasusnya seakan mau ditutupi dengan rapi. Namun makin ditutup, makain keras tuntutan membuka. Akhirnya, yang bau sulit ditutupi, akhirnya terbongkar juga.

Refleksi.

Apa yang bisa kita tarik dari kasus Ferdy Sambo, Bechi dan pengusaha pencuri cokelat tersebut diatas?  Sesungguhnya yang membuat kita kecewa berat adalah para pemimpin dan elit dalam masyarakat yang seharusnya menjadi panutan, malah menjadi cibiran. 

Bagaimana seorang Kadiv propam penjaga moral, etika dan marwah polisi malah menjadi perencana pembunuhan terhadap anakbuahnya di kepolisian. Polisi makan polisi. Polisi membunuh polisi.

Perbuatan Mas Bechi yang menjadi anak dari pemilik dan pengelola pesantren menyalahgunakan kepercayaan orang tua yang mempercayakan pendidikan anaknya ke pesantren. Bukan dididik dengan ajaran agama yang baik, malah dicabuli. Sebuah kepercayaan dari orang tua santriwati dinodai. Bukan hanya kepercayaan orang tua yang dinodai, tubuh anaknya yang menjadi santri juga dinodai. 

Dan ketika diproses secara hukum, dia melawan dengan menggunakan kekuasaan dan pengaruh ayahnya sebagai kiai sepuh yang memiliki relasi dengan para pejabat tinggi di Jakarta dan daerah. tokoh agama, atas nama agama, menodai santriwati.

Pengusaha wanita yang mengemudikan mobil mercy sebagai orang yang memiliki harta dan uang tidak seharusnya mencuri cokelat yang harganya tidak seberapa. Sangat tragis dan membuat hati miris. Sudah separah apakah penyakit mental masyarakat kita sekarang ini? Pengusaha yang seharusnya menjadi orang yang taat hukum dan tidak mencuri, tetapi mencuri. 

Orang yang mampu membayar cokelat yang tidak seberapa harganya, namun tidak mau membayar. Antara kemampuan dan kemauan menjadi jauh. Mampu membayar, tetapi tidak mau membayar. Itu sebabnya kita tidak setuju  perkara ini didamaikan, harus dihukum untuk membuat jera.

Masayarakat kita selalu ingin meniru orang yang berada diatasnya. Pola paternalistik masih sangat kuat. Keinginan meniru atau berorientasi melihat ke atas atau pimpinan menjadi satu sikap yang kuat. Apa yang dilakukan diatas menjadi contoh  yang buruk.

Ferdy Sambo yang seharusnya menjadi contoh yang baik, kini menjadi cibiran yang buruk atau preseden buruk. Pengusaha pengutil menjadi contoh dan preseden buruk. Dunia jadi terbalik.

Bechi bukan memberikan contoh perbuatan yang baik kepada santriwati, bahkan mencabuli santriwatinya. Logika amburadul. Ketiga contoh orang ini diambil sebagai sampel untuk merenung ulang atau refleksi dalam pderayaan HUT RI ke 77. Ini mau melihat bagaimana kita memandang bangsa ini dari satu sudut pandang kepatuhan dan ketaatan hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi kita  dari tiga kejadian yang sangat memalukan.

Kasus Ferdy Sambo menjadi sorotan internasional. Bagaimana kasus ini menggambarkan sikap mental seorang pejabat kepolisian yang menjadi penjaga moral, etika dan wibawa Polri. Jabatan Kadiv Propam. Kekuasaan yang besar, pengaruh dan kedekatan dengan Kapolri bukan dibuat membawa kebaikan, namun menjadi keburukan dan malapetaka bagi Polri dan Kapolri secara khusus dan bagi bangsa ini secara umum.

Kasus Ferdy Sambo seakan memberikan gambaran dan pencitraan pejabat kita bisa berbuat sekehendak hatinya, melampiaskan kekesalan hatinya dengan pembunuhan berencana. Menghilangkan nyawa orang lain yang notabene anak buahnya. Ini bukan lagi soal raja tega, namun sudah menjadi kebiadaban perilaku atasan kepada bawahan. Keadaban sudah hilang. Bagaimana kita mau mengharapkan pembinaan, pengayoman dan segala yang baik dari seorang pimpinan seperti ini?

Kasus pengusaha yang mengutil atau mencuri cokleat di minimarket menjadi sebuah tontonan yang viral membuat hati kita malu. Beginikah mental seorang pengusaha yang sudah menikmati kemajuan ekonomi, tetapi masih mencuri? Bukan persoalan apa yang dicuri. Namun perbuatan mencuri di minimarket, ini yang menyedihkan. Dia mungkin menganut ajaran boleh mencuri asal jangan ketahuan. Ternyata meleset, eh ketahuan. Maka ganjaran yang didapat sangat memalukan.

Perdamaian yang dilakukan kedua pihak dan disetujui polisi, ini  juga sangat memprihatinkan. Hukum seakan dipermainkan. Lakukan tindak pidana pencurian, jika tidak ketahuan lakukan lagi. Jika ketahuan, minta damai dan tandatangani pernyataan diatas meterai sepuluh ribu, urusan selesai. Semua bisa dibayar dengan uang. Orang lain meniru dengan keringanan hukuman tersebut. Maka terjadilah pengulangan kejadian seperti itu.

Amanat kemerdekaan.

Para pendiri republik ini (Founding fathers), ketika mereka memikirkan pembentukan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat, bentuk negara yang disepakati adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Republik Indonesia sebagai negara berdasar atas hukum, bukan negara kekuasaan belaka. Ini bisa kita lihat dalam penjelasan UUD 1945 asli tentang sistem pemerintahan negara.

Dalam konsep UUD 1945 versi original sebelum amandemen masa reformasi, negara Indonesia tidak disebut negara hukum. Rumusannya negara berdasar atas hukum (rechtstaat) bukan negara berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Para pendiri republik berdialog, berdebat dan diskusi yang terus menerus untuk merumuskan apa yang menjadi dasar negara, bentuk negara dan sistem pemerintahannya.

Kenapa memilih menjadi republik, bukan kerajaan? Kenapa negara berdasar hukum, bukan berdasarkan kekuasaan belaka? Dengan bentuk negara republik dan berdasar atas hukum, maka bangsa ini mau dijadikan sebagai sebuah bangsa yang menghormati hukum, bukan negara kekuasaan dimana penguasa bisa sewenang-wenang. Semua orang sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Dengan demikianlah kepastian hukum dan keadilan bisa digapai. Para pejabat dan penguasa yang berwenang dan pemerintah harus dikontrol hukum. Harus diatur hukum.

Para pengusaha yang memiliki kekayaan tidak boleh sewenang-wenang menggunakan kekayaannya untuk menindas rakyat miskin. Semua harus tertib dan teratur. Semua harus taat hukum. Tidak boleh menggunakan kekayaan dan pengaruhnya untuk melanggar hukum. Istilah hukum tajam ke bawah dan tumpul keatas merupakan sebuah sindiran terhadap para penguasa dan pengusaha.

Para penguasa dan pejabat tidak boleh bertindak sewenang-wenang dan melanggar hukum. Para pejabat tetap harus tunduk kepada hukum yang berlaku. Tidak kebal. Semua sama dihadapan hukum.

Para pendidik dan pemilik pesantren yang berkuasa di kawasan pesantrennya tidak boleh memperlakukan santri dan santriwatinya secara bebas dan sewenang-wenang. Kawasan pesantren tidak kebal hukum. Tidak boleh sesuka hatinya mencabuli santriwatinya.

Gambaran perilaku dari Ferdy Sambo, Bechi dan pengusaha ini mewakili kalangan atas atau elit bangsa ini. Ferdy Sambo sebagai pejabat atau penguasa yang bertindak sesuai dengan keinginan dan seleranya melanggar hukum. Membunuh bawahannya dan berusaha menutupi kasus tersebut dengan keuasaan yang dimilikinya.

Bechi melakukan pencabulan terhadap santriwatinya dan berusaha menutupi kasus tersebut dengan menggunakan kekuasaan dan pengaruh ayahnya. Penangkapannya yang bagaikan drama. Kesulitan polisi menangkapnya sangat memilukan dunia penegakan  hukum kita. Hukum seakan tak berlaku. Negara seakan kalah kepada para tokoh terkenal dan berpengaruh.

Pengusaha pengutil cokelat mencuri di minimarket dan berusaha lari dengan mobil mercynya. Ketika tertangkap, dia membayarnya. Ketika video itu viral, karyawan minimarket dipaksanya minta maaf. Ketika diadukan histeris dan minta damai. Gambaran bahwa pengusaha bisa melakukan apa saja dan kalau terjadi masalah, akan diselesaikan dengan menggunakan uangnya membeli perdamaian.

Dalam perayaan HUT RI ke 77, negara republik berdasar atas hukum, bukan kekuasaan menjadi renungan bagi bangsa ini. Bagaimana kita mau mewujudkan tema HUT tahun ini yang mengumandangkan Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat, jika ketaatan terhadap hukum masih rendah? Bagaimana kita mau  lebih maju lagi, jika para penguasa, pengusaha dan tokoh agama kita tidak menjadi contoh teladan bagi masyarakat?

Kini, di HUT RI ke 77 ini kita merefleksi tiga kasus tersebut sebagai perwakilan dari penguasa (pejabat) dalam Kasus Ferdy Sambo, kasus pengusaha pencuri cokelat mewakili pengusaha dan kasus pencabulan santriwati oleh Bechi mewakili tokoh agama dan pendidikan. Tindakan mereka memberikan contoh ketidakpatuhan terhadap hukum, namun menggunakan kekuasannya bertindak sewenang-wenang. Inilah yang dikhawatirkan para pendiri negara ini ketika merumuskan Dasar Negara dan konstitusi kita.

Seandainya para pendiri negara ini masih hidup dan melihat keadaan ini, apalah kira-kira kata mereka? Para penguasa, pengusaha, tokoh agama dan seluruh masyarakat Indonesia harus mawas diri. Amanat kemerdekaan kita menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan atas hukum, bukan kekuasaan harus diwujudkan. Mari kita hukum dan singkirkan pejabat dan semua orang dan pihak yang menggunakan kekuasaan dan tidak menghormati hukum.

Tegakkan negara hukum. Sikat semua orang yang menggunakan kekuasaannya untuk melanggar hukum. Setiap kesalahan harus dihukum. Bukan didamaikan. Penegakan hukum membutuhkan aparat penegak hukum yang professional, jujur dan patuh kepada hukum itu sendiri. Penguasa, pengusaha, tokoh agama seharusnya menjadi contoh yang baik sebagai orang yang patuh dan taat hukum. Bukan sebaliknya.

Selamat HUT RI ke 77.

Salam Kemerdekaan.

Aldentua Siringoringo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun