Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sang Penggugat Pembebasan Jalan Tol

25 Januari 2021   06:00 Diperbarui: 25 Januari 2021   06:52 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semangat Pagi Indonesia.

Sang Penggugat Pembebasan Jalan Tol.

   "Ini kek kopinya," kata Sang Cucu.

   "Terima kasih," jawab Sang kakek sambil menerima kopi dari Sang Cucu.

   "Ini ada berita terpopuler ini kek di sebuah media. Seorang anak mantan presiden menggugat pemerintah yang menggusur lahannya demi pembangunan jalan tol," kata Sang Cucu.

   "Oh ya," kata Sang Kakek seakan acuh.

   "Dia menggugat ke pengadilan dan menuntut ganti rugi sebanyak 56 Miliar," jelas Sang Cucu lagi.

   "Oh ya," kata Sang Kakek lagi.

   "Dia juga meminta agar penggusuran ini dihentikan," tambah Sang Cucu menjelaskan.

   "Oh ya," kata Sang Kakek lagi.

   "Kenapa sih jawabnya 'oh ya' saja? Ini berita hangat dan popular ini kek," kata Sang Cucu seakan penasaran.

   "Lalu jawabnya harus bagaimana?" kata Sang Kakek.

   "Berikan komentar atau apa kek," kata Sang Cucu.

   "Untuk apa memberikan komentar tentang berita itu? Dulu ketika ayahnya sebagai presiden, mana ada cerita seperti itu? Pembebasan tanah untuk kepentingan umum harus terlaksana. Siapa yang menentang akan dihantam, dilibas, jika perlu dipenjarakan," kata Sang Kakek.

   "Oh ya," kata Sang Cucu.

   "Bahkan siapa yang melawan kebijakan pembangunan bisa dituduh PKI. Itu stigma yang diisukan kepada orang yang melawan pemerintah," kata Sang Kakek.

   "Oh ya," kata Sang Cucu.

   "Dengan pendekatan keamanan, maka semua yang melawan kebijakan pemerintah akan disingkirkan, dibunuh hak keperdataannya seperti Anggota Petisi 50. Para aktivis banyak yang ditangkap, diasingkan dan bahkan dibunuh dan ada mayat yang mengambang di berbagai kali. Dan bahkan ada yang hilang dan sampai sekarang belum ada kabarnya," jelas Sang Kakek.

   "Oh ya," kata Sang Cucu lagi.

   "Kamu juga jawabnya cuma 'oh ya' saja," kata Sang Kakek membalas ke Sang Cucu.

   "Ceritanya seru, seperti novel, jadi saya jawab sama saja seperti Sang Kakek," kata Sang Cucu.

   "Oh ya,"  kata Sang Kakek lagi.

   "Jadi kalau dulu tidak ada yang berani menggugat pemerintah seperti ini kek?" kata Sang Cucu.

   "Sangat jarang terjadi. Ada satu dua, namun biasanya langsung dibuat tekanan, intimidasi dan bahkan dipenjarakan. Kalau dulu menyebut nama presiden itu harus hati-hati. Apalagi kalau sampai menyinggung perasaan presiden atau menghina, maka patut diduga orang itu akan segera hilang atau dihilangkan," kata Sang Kakek.

   "Jadi kenapa dia menggugat pemerintah karena pembebasan tanahnya ini, kalau dulu juga pemerintah melakukan seperti ini?" kata Sang Cucu.

   "Zaman sudah berubah. Memaki dan menghina presiden dan pemerintah sekarang seakan kehebatan. Nyinyir terus dan komentar miring terus atas kebijakan pemerintah, hal biasa. Kalau dulu? Jangan sampai muncul di arena publik atau menjadi berita, pasti diselesaikan secara adat para penguasa," kata Sang Kakek.

   "Ngeri juga ketika itu ya kek?" kata Sang Cucu.

   "Media massa pun bisa dibredel kalau pemberitaannya menyinggung atau mengkritik kebijakan pemerintah. Banyak korbannya," kata Sang Kakek.

   "Untunglah keadaan negara kita sudah berubah ya kek," kata Sang Cucu.

   "Tapi zaman sekarang sudah kebablasan juga. Terlalu bebas dan anarkhis. Perlu juga dijaga dan penegakan hukumnya harus tegas dan lugas," kata Sang Kakek.

   "Nanti dituduh melanggar Hak Asasi Manusia kek," kata Sang Cucu.

   "Negara demokrasi hanya bisa menjaga negara tidak mengarah kepada anarkhis dengan penegakan hukum yang tegas dan lugas. Kalau tidak, maka kita akan menuju anakhisme dan ujungnya nanti akan melahirkan otoriter atau militerisme. Itu siklus kekuasaan yang sudah terjadi sejak dahulu," kata Sang Kakek.

   "Jadi kalau begitu bagaimana gugatan yang anak mantan presiden dulu ini? Apakah ini juga harus dihentikan atau ditolak?" kata Sang Cucu.

   "Biarlah pengadilan yang memutuskan. Tapi perlu diingat Sang Penggugugat itu. Jika dia sekarang mengalami penggusuran dan pembebasan tanahnya untuk pembangunan, bagaimana dulu korban penggusuran yang berujung pemenjaraan oleh rezim keluarganya?" jelas Sang Kakek.

   "Lalu seharusnya dia juga memikirkan korban penggusuran dulu ya kek?" kata Sang Cucu menimpali.

   "Betul. Perlu juga dia berempati. Ini demi pembangunan jalan tol, dia juga harus mau memberikan tanah atau bangunannya sesuai dengan aturan ganti rugi yang sudah diatur negara," kata Sang Kakek.

   "Mudah-mudahan pengadilan memiliki hikmat untuk memutuskan perkara gugatan ini ya kek," kata Sang Cucu.

   "Oh ya, semogalah," kata Sang Kakek.

Dulu ketika rezim ayahnya berkuasa, semua pembebasan dan penggusuran demi kepentingan umum tidak boleh dilawan, sekarang dia melawan, kenapa tidak merelakan tanahnya untuk pembangunan seperti dulu? Tapi zaman sudah berubah ya, gumam Sang Kakek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun