"Ah kakek ini tidak sensitif dan tidak menyimak apa yang dikatakan ibu tadi. Saya ceritakan ulang ya, meraka seperti pesta pora memakan lauk itu dengan tetangganya. Anak-anaknya senang karena mendapat lauk yang lain dari biasanya, tahu dan tempe. Bisa kakek bayangkan kalau anak mendapatkan sesuatu yang beda dengan dinikmatinya sehari-hari? Itu kan seperti hadiah. Kalau anak dapat hadiah kan senang, " kata cucu.
  "Ibumu kan sibuk kerja. Nanti belum tentu bisa menyediakan itu," kata kakek.
  "Saya akan meminta mbak untuk memasaknya khusus untuk mereka. Kalau tidak ada persediaan di rumah, saya akan memberikan sebagian uang jajan saya ke mbak untuk membeli ikan dari tukang sayur yang datang tiap hari. Dan kakek juga ikut dong urunan. Oke? Ini demi solidaritas untuk para pemulung dan anaknya. Kalau anaknya mendapat gizi yang cukup dari ikan akan membantu kecerdasan anaknya kelak. Mereka bisa sekolah dan pintar. Tidak menjadi pemulung lagi seperti orang tuanya. Oke kek? Deal?" tanya cucu.
  "Deal!" kata kakek. Tos. Mereka melakukan tos. Jadilah itu menjadi program mingguan. Memberi lauk kepada pemulung. Dan pesta di kontrakan pemulung terjadi setiap minggu. Solidaritas cucu untuk anak pemulung.
Terkadang, kita kurang menyadari, perhatian dan pemberian kita kepada teman kita yang serba kekurangan seakan tak seberapa dan kurang berarti. Padahal bagi mereka yang menerima itu seakan sebuah kemewahan dan perhatian itu seperti mutiara hati yang tak ternilai harganya, gumam kakek. Salut untuk solidaritas sang cucu untuk pemulung.
Terima kasih. Salam dan doa
Aldentua Siringoringo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H