"Buktinya nak. Kita yang bergelut dengan sampah dan bau busuk tiap hari tidak kena virus corona. Sementara orang yang rapi, bersih, naik mobil, pejabat menteri dan orang kantoran banyak yang kena dan terpapar. Kali virus coronanya suka sama orang yang bersih dan naik kendaraan. Kita kan saban hari dorong gerobak. Kali virusnya juga takut sama gerobak butut kita ini, " jawab pemulung enteng.
  "Ha..ha..bisa jadi ya bu. Virusnya berani kepada orang takut sama dia. Ibu tidak takut sama virusnya, malah virusnya yang takut sama ibu," kata cucu.
  "Sebetulnya bukan takut ke kita nak, takut sama bau badan dan bau sampah yang kita geluti tiap hari. Coba lewat dari tempat tinggal kami di dekat TPA itu nak, kata orang baunya minta ampun sampai jarak sekilometer tuh," kata pemulung.
  "Lalu ibu nggak mencium baunya?" tanya cucu.
  "Kita mencium baunya. Cuma nggak merasa itu bau lagi. Sudah biasa nak. Kita malah kalau nggak mencium baunya, kurang selera makan dan susah tidur," kata pemulung enteng.
  "Kurang selera makan dan susah tidur kalau tidak mencium baunya? Wah terbalik nih. Kalau kita lewat saja sudah minta ampun baunya, ibu sebaliknya yah," kata cucu.
  "Alah bisa karena biasa nak. Itu sudah menjadi kebiasaan kami. Bau sampah yang bagi banyak orang tidak enak, karena itu bagian hidup kami setiap hari, ya dinikmati sebagai bagian hidup. Bau sampah itu menjadi penambah selera makan dan bau pengantar tidur,"  jawab pemulung enteng.
  "Luar biasa. Hebat ya. Bisa dinikmati karena biasa," kata cucu bergumam.
  "Ya itu sudah takdir kita nak, ya kita syukuri saja. Kita bisanya cuma jadi pemulung, ya dinikmati saja. Kita mau apa lagi?" kata pemulung.
  "Ibu bisa menikmati dan mensyukuri sebagai pemulung ya bu?" tanya cucu penasaran.
  "Semua sudah ada garis tangannya nak. Seperti kata pepatah, 'bukan ibu salah mengandung, tapi buruk suratan tangan sendiri'. Jadi kita sudah punya garis tangan seperti ini," kata pemulung sambil menujuk garis tangannya.