"Apa hasil dari pemulung cukup untuk menghidupi keluarga bu?" tanya cucu.
  "Cukup nggak cukup harus dicukupkan nak," jawab pemulung.
  "Kok begitu. Nggak ada dong beda cukup dengan nggak cukup?" tanya cucu.
  "Kita memang nggak beda. Hari ini makan nasi ada lauk tahu atau tempe, syukur Alhamdulilah. Hanya nasi, Alhamdulilah. Dua kali makan sehari, Alhamdulilah. Sekali makan sama saja. Bahkan tidak bisa makan sehari sama saja," jawab pemulung.
  "Bagaimana bisa kuat dorong gerobak kalau tidak makan?" tanya cucu.
  "Bisa aja dan biasa saja, nggak tahu kenapa bisa. Tapi kami sering juga ditolong para penghuni komplek ini. Kadang ada yang memberi kue, makanan sisa mereka yang tidak mereka makan lagi tapi masih baik, kami terima dengan syukur. Bagi kami itu sudah mewah. Kadang hanya ikan dua potong atau sebungkus nasi diberikan. Itu kemewahan, " kata pemulung.
  "Sebegitunya ya bu?" tanya cucu.
  "Seperti minggu lalu, kami terima dari ibumu nasi dan lauk ikan, wah kami seperti pesta di tempat kontrakan dengan tetangga membagi-bagi lauk yang sedikit itu, anak-anak kami seperti pesta pora senang hatinya. Dapat lauk selain tahu tempe yang biasa setiap hari dimakannya," kata pemulung.
  "Seperti pesta dengan lauk seperti yang kami berikan itu bu?" tanya cucu setengah percaya, karena kebetulan dia yang disuruh ibunya memberi lauk itu ke pemulung itu. Ibunya memang rajin memberi makanan ke pemulung, satpam, dan mbak tukang cuci.
  "Ya nak. Mungkin bagi kalian itu sudah menjadi makanan yang tidak menarik lagi, karena sudah ada makanan baru yang lebih enak, namun bagi kami, itu sebuah kemewahan," kata pemulung.
  "Kalau begitu, kalau nanti ada banyak makanan, saya minta sebagian, lalu saya berikan ke ibu lagi ya," kata cucu bersemangat.