Sang kakek dan cucu baru saja kembali jalan pagi dan mau masuk ke gerbang rumah dan melihat Sang Pemulung, seorang ibu yang agak tua sedang mengambil barang-barang bekas dari bak sampah lalu menyapa.
  "Selamat pagi kakek dan cucu. Kompak jalan pagi ya?" kata Sang pemulung.
  "Ya bu. Selamat pagi juga," jawab kakek.
  "Untuk tetap sehat harus jalan bu," timpal cucu.
  "Wah cucunya juga sadar kesehatan juga ya?" tanya pemulung.
  "Ya dong bu, kan biar bisa jadi pemimpin masa depan," jawab cucu mantap.
  "Hebat cucunya yah, masih kecil sudah bermimpi jadi pemimpin," kata pemulung.
  "Ibu kenapa tidak pakai masker?" tanya cucu.
  "Wah sulit kita nak. Habis dari sini ke Tempat Pembuangan Akhir, disana sangat kotor, kalau pakai masker, nanti kotor, percuma juga," jawab pemulung.
  "Lho, ibu nggak takut tertular virus corona?" tanya cucu.
  "Kita mah biasa saja nak, virus coronanya kali takut sama kita pemulung," jawab pemulung.
  "Masa virus corona takut sama ibu?" tanya cucu penasaran.
  "Buktinya kita nggak ada yang kena virus corona nak. Padahal tiap hari kita jalan tidak pakai masker," jawab pemulung.
  "Ibu rajin cuci tangan kali ya?" tanya cucu.
  "Boro-boro cuci tangan, kadang makan saja kita tidak cuci tangan. Air dari mana. Kadang kita makan di bawah pohon sambil berteduh. Nggak ada air nak," jawab pemulung.
  "Rajin berjemur?" tanya cucu.
  "Berjemur mah sepanjang hari nak. Selama matahari terbit, ya kita jalan dan berjemur terus. Kecuali hujan saja," jawab pemulung.
  "Ibu nggak pernah sakit?" tanya cucu.
  "Pernah sih, tapi jarang. Kali penyakitnya takut sama kita yang tiap hari bau dan kotor. Temannya saban hari sampah melulu. Lalat dan nyamukpun takut sama kita-kita nak," jawab pemulung enteng.
  "Wah hebat dong, padahal di rumah kita banyak lalat dan nyamuk, kita susah mengusirnya. Apalagi nyamuk DBD paling kita takuti," kata cucu.
  "Mungkin nyamuk dan lalatnya maklum sama kita-kita. Juga virus coronanya engganlah sama kita-kita. Nggak kuat kali virus coronanya sama bau badan kita," kata pemulung.
  "Kenapa ibu ngomong begitu?" tanya cucu.
  "Buktinya nak. Kita yang bergelut dengan sampah dan bau busuk tiap hari tidak kena virus corona. Sementara orang yang rapi, bersih, naik mobil, pejabat menteri dan orang kantoran banyak yang kena dan terpapar. Kali virus coronanya suka sama orang yang bersih dan naik kendaraan. Kita kan saban hari dorong gerobak. Kali virusnya juga takut sama gerobak butut kita ini, " jawab pemulung enteng.
  "Ha..ha..bisa jadi ya bu. Virusnya berani kepada orang takut sama dia. Ibu tidak takut sama virusnya, malah virusnya yang takut sama ibu," kata cucu.
  "Sebetulnya bukan takut ke kita nak, takut sama bau badan dan bau sampah yang kita geluti tiap hari. Coba lewat dari tempat tinggal kami di dekat TPA itu nak, kata orang baunya minta ampun sampai jarak sekilometer tuh," kata pemulung.
  "Lalu ibu nggak mencium baunya?" tanya cucu.
  "Kita mencium baunya. Cuma nggak merasa itu bau lagi. Sudah biasa nak. Kita malah kalau nggak mencium baunya, kurang selera makan dan susah tidur," kata pemulung enteng.
  "Kurang selera makan dan susah tidur kalau tidak mencium baunya? Wah terbalik nih. Kalau kita lewat saja sudah minta ampun baunya, ibu sebaliknya yah," kata cucu.
  "Alah bisa karena biasa nak. Itu sudah menjadi kebiasaan kami. Bau sampah yang bagi banyak orang tidak enak, karena itu bagian hidup kami setiap hari, ya dinikmati sebagai bagian hidup. Bau sampah itu menjadi penambah selera makan dan bau pengantar tidur,"  jawab pemulung enteng.
  "Luar biasa. Hebat ya. Bisa dinikmati karena biasa," kata cucu bergumam.
  "Ya itu sudah takdir kita nak, ya kita syukuri saja. Kita bisanya cuma jadi pemulung, ya dinikmati saja. Kita mau apa lagi?" kata pemulung.
  "Ibu bisa menikmati dan mensyukuri sebagai pemulung ya bu?" tanya cucu penasaran.
  "Semua sudah ada garis tangannya nak. Seperti kata pepatah, 'bukan ibu salah mengandung, tapi buruk suratan tangan sendiri'. Jadi kita sudah punya garis tangan seperti ini," kata pemulung sambil menujuk garis tangannya.
  "Apa hasil dari pemulung cukup untuk menghidupi keluarga bu?" tanya cucu.
  "Cukup nggak cukup harus dicukupkan nak," jawab pemulung.
  "Kok begitu. Nggak ada dong beda cukup dengan nggak cukup?" tanya cucu.
  "Kita memang nggak beda. Hari ini makan nasi ada lauk tahu atau tempe, syukur Alhamdulilah. Hanya nasi, Alhamdulilah. Dua kali makan sehari, Alhamdulilah. Sekali makan sama saja. Bahkan tidak bisa makan sehari sama saja," jawab pemulung.
  "Bagaimana bisa kuat dorong gerobak kalau tidak makan?" tanya cucu.
  "Bisa aja dan biasa saja, nggak tahu kenapa bisa. Tapi kami sering juga ditolong para penghuni komplek ini. Kadang ada yang memberi kue, makanan sisa mereka yang tidak mereka makan lagi tapi masih baik, kami terima dengan syukur. Bagi kami itu sudah mewah. Kadang hanya ikan dua potong atau sebungkus nasi diberikan. Itu kemewahan, " kata pemulung.
  "Sebegitunya ya bu?" tanya cucu.
  "Seperti minggu lalu, kami terima dari ibumu nasi dan lauk ikan, wah kami seperti pesta di tempat kontrakan dengan tetangga membagi-bagi lauk yang sedikit itu, anak-anak kami seperti pesta pora senang hatinya. Dapat lauk selain tahu tempe yang biasa setiap hari dimakannya," kata pemulung.
  "Seperti pesta dengan lauk seperti yang kami berikan itu bu?" tanya cucu setengah percaya, karena kebetulan dia yang disuruh ibunya memberi lauk itu ke pemulung itu. Ibunya memang rajin memberi makanan ke pemulung, satpam, dan mbak tukang cuci.
  "Ya nak. Mungkin bagi kalian itu sudah menjadi makanan yang tidak menarik lagi, karena sudah ada makanan baru yang lebih enak, namun bagi kami, itu sebuah kemewahan," kata pemulung.
  "Kalau begitu, kalau nanti ada banyak makanan, saya minta sebagian, lalu saya berikan ke ibu lagi ya," kata cucu bersemangat.
  "Terima kasih nak. Tidak usah repot-repot. Kami sudah terbiasa kekurangan kok," kata pemulung. Hebat pemulung ini. Tidak mau merepotkan dan tidak langsung mengiyakan tawarannya. Luar biasa kemandiriannya.
  "Ok bu, kami permisi dulu ya, sehat selalu ya," kata kakek yang sedari tadi mendengar percakapan cucunya dengan pemulung.
Sang kakek dan cucu manggut-manggut dan masuk ke rumah. Setiba di rumah cucu bertanya kepada kakeknya.
  "Apa betul pemulung itu kebal sama penyakit dan virus corona atau covid-19 ini kek?" tanya cucu.
  "Kita tidak tahu, tapi jawaban ibu pemulung itu tadi apa adanya. Tapi bisa juga itu. Karena penyakit bisa muncul dari sampah dan lalat yang memindahkannya ke makanan kita atau rumah kita. Mereka berada di sumber penyakit itu. Sama-sama tiap hari, ya akhirnya bisa kebal juga," kata kakek.
  "Jangan-jangan ini salah satu keadilan dari Tuhan ya kek," kata cucu tiba-tiba.
  "Keadilan dari Tuhan? Apa maksudnya?" tanya kakek.
  "Kalau orang kecil seperti pemulung itu gampang sakit dan kena virus, bagaimana mereka mau hidup. Bagaimana mereka mau membayar rumah sakit? Kalau orang bekerja dan mempunyai uang sakit dan kena virus corona, mereka mempunyai uang untuk hidup. Kalau seperti ibu tadi akan susah hidupnya kalau sakit," kata cucu.
  "Ya, terkadang memang sulit kita memahami keadilan dan kebijakan Tuhan, namun kalau kita simak hidup kita dan sekeliling kita, itu bisa kita pahami. Benar juga sih," kata kakek.
  "Dan satu lagi kek. Pemberian kita lauk sederhana yang kita berikan minggu lalu itu, bagi kita biasa saja, tapi bagi mereka itu kemewahan dan pesta? Wow, hebat. Saya akan mengusulkan ke mama, supaya tiap minggu kita berikan lauk ke pemulung, supaya mereka pesta tiap minggu," kata cucu bersemangat.
  "Kan dibilang tadi nggak usah repot-repot, kenapa kau harus repot?" kata kakek.
  "Ah kakek ini tidak sensitif dan tidak menyimak apa yang dikatakan ibu tadi. Saya ceritakan ulang ya, meraka seperti pesta pora memakan lauk itu dengan tetangganya. Anak-anaknya senang karena mendapat lauk yang lain dari biasanya, tahu dan tempe. Bisa kakek bayangkan kalau anak mendapatkan sesuatu yang beda dengan dinikmatinya sehari-hari? Itu kan seperti hadiah. Kalau anak dapat hadiah kan senang, " kata cucu.
  "Ibumu kan sibuk kerja. Nanti belum tentu bisa menyediakan itu," kata kakek.
  "Saya akan meminta mbak untuk memasaknya khusus untuk mereka. Kalau tidak ada persediaan di rumah, saya akan memberikan sebagian uang jajan saya ke mbak untuk membeli ikan dari tukang sayur yang datang tiap hari. Dan kakek juga ikut dong urunan. Oke? Ini demi solidaritas untuk para pemulung dan anaknya. Kalau anaknya mendapat gizi yang cukup dari ikan akan membantu kecerdasan anaknya kelak. Mereka bisa sekolah dan pintar. Tidak menjadi pemulung lagi seperti orang tuanya. Oke kek? Deal?" tanya cucu.
  "Deal!" kata kakek. Tos. Mereka melakukan tos. Jadilah itu menjadi program mingguan. Memberi lauk kepada pemulung. Dan pesta di kontrakan pemulung terjadi setiap minggu. Solidaritas cucu untuk anak pemulung.
Terkadang, kita kurang menyadari, perhatian dan pemberian kita kepada teman kita yang serba kekurangan seakan tak seberapa dan kurang berarti. Padahal bagi mereka yang menerima itu seakan sebuah kemewahan dan perhatian itu seperti mutiara hati yang tak ternilai harganya, gumam kakek. Salut untuk solidaritas sang cucu untuk pemulung.
Terima kasih. Salam dan doa
Aldentua Siringoringo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H