Hak Asasi  Manusia (HAM) merupakan konsep yang senantiasa berkembang. Merujuk
kepada sejarah perkembangan HAM tentu saja tidak terlepas dari pemikiran John Locke pada
abad ke-17 yang mengatakan bahwa manusia memiliki karunia alami, Â hak untuk hidup, hak
kepemilikan, dan kebebasan yang tidak boleh direnggut oleh siapapun.
Konsep mengenai HAM semakin matang  pasca perang dunia pertama dan kedua. Peristiwa
kelam tersebut membangun kesadaran manusia akan pentingnya pengakuan terhadap
manusia, maka lahirlah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948.
 DUHAM menjadi titik tolak lahirnya berbagai konvensi yang berkaitan dengan
penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia, salah satunya adalah
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). konvensi  ini mengubah cara
pandang global terkait pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
Keberadaan CRPD merupakan penemuan penting dalam usaha mewujudkan kesetaraan hak
antara Penyandang Disabilitas dan Non-Disabilitas. Â Paradigma yang sebelumnya
memandang Penyandang Disabilitas sebagai bagian dari charity model dan medicine model
perlahan berubah menjadi pendekatan berbasis Human Right.
Pendekatan dengan model Human Right ini memandang bahwa kedisabilitasan bukanlah
sebuah gangguan (impairment) melainkan sebuah keberagaman (diversity). Maka dari itu,
negara perlu hadir untuk memastikan keberagaman tersebut terjaga dari upaya-upaya untuk
mengeliminir hak Penyandang Disabilitas.
Merujuk kepada CRPD, pendekatan ini  tidak terlepas dari upaya melepaskan Penyandang
Disabilitas dari belenggu stigma dan diskriminasi yang masih tumbuh di masyarakat,
terutama Penyandang Disabilitas yang bertindak sebagai subjek hukum atau berhadapan
dengan hukum.
Penyandang Disabilitas Sebagai Subjek Hukum     Â
        Â
Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 menjelaskan
bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Dipertegas
dalam Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Hal ini kemudian diatur lebih lanjut dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang (UU) Â Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM, Pasal 5 ayat (1)
UU Â HAM, Pasal 16 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 26
ICCPR yang semuanya menjelaskan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta dimuat
dalam  Pasal 4 ayat (1) UU No 48 tahun 2009 yang menegaskan bahwa pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
Tidak membedakan setiap orang berarti siapapun atas nama warga negara harus mendapatkan
kesempatan yang sama dihadapan hukum, tanpa terkecuali Penyandang Disabilitas. hal ini
kemudian di akomodir dalam CRPD yang telah di ratifikasi oleh pemerintah Indonesia
melalui Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011.
Dalam Pasal 12 CRPD dijelaskan bahwa negara negara pihak (bagi yang sudah meratifikasi)
menegaskan kembali bahwa Penyandang Disabilitas memiliki hak atas pengakuan sebagai
individu dihadapan hukum serta mengakui Penyandang Disibilitas merupakan subjek hukum
yang setara dengan yang lainnya di semua aspek kehidupan.
Indonesia kemudian menyelaraskan Pasal 12 CRPD ini dalam Pasal 9 UU Nomor 8 tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal ini secara substantif tidak jauh berbeda. Yang
pada pokoknya memandang Penyandang Disabilitas merupakan insan yang wajib diberikan
kesempatan yang sama oleh negera untuk mendapatkan haknya sebagai subjek hukum.
Pengampuan
Pengakuan hukum yang didesain sedemikian rupa dalam kerangka hukum positif ternyata
tidak serta menjadikan Penyandang Disabilitas terutama disabilitas mental dan intelektual
atau biasa disebut Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) mendapatkan kesempatan
yang sama sebagai subjek hukum. Dalam beberapa kasus, terdapat sejumlah Penyandang
Disabilitas yang kemudian dianggap tidak cakap hukum dan tidak layak sebagai subjek
hukum.
Secara umum, ODP adalah orang yang mengalami gangguan mental. ODP memiliki
gangguan fungsi pikir, emosi dan prilaku yang membuat mereka terhambat dalam kehidupan
sehari-hari. Ragamnya dapat terdiri dari gangguan cemas, depresi, bipolar, skizofrenia, dan
lain sebagainya.
Gangguan yang dialami oleh ODP oleh negara diterjemahkan sebagai bentuk
ketikdaberdayaan dan ketidakmampuan untuk berdiri setara sebagai subjek hukum terutama
dalam hal-hal yang bersifat keperdataan. Untuk mengatasi hal tersebut diciptakanlah
mekanisme pengampuan.
Mengutip riset yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dalam
kurun waktu 2015-2018 ditemukan 49 kasus yang menetapkan OPD tidak cakap hukum,
hingga kemudian harus mendapatkan pengampuan.
Dalam hukum Indonesia tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai pengertian pengampuan,
hanya dijelaskan secara genaral dalam Pasal 433 Kitab Undang Hukum Perdata, yang
mengatakan, " Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau
mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap
menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan
karena keborosan.
Pasal inilah yang kemudian dianggap menjadi biang kerok dari praktik-praktik pengampuan
yang melukai hak Penyandang Disabilitas (ODP). Pasal ini terlalu prematur untuk
memutuskan ketidakberdayaan ODP sebagai subjek hukum.
Mengenai kapasitas legal (hukum) seseorang seharusnya tidak justikasi oleh sebuah regulasi
melainkan dibuktikan dalam proses peradilan di pengadilan. Pasal 433 KUHPerdata ini tidak
mampu secara jelas membedakan antara kapasitas hukum dan kapasitas mental.
Kedisabilitasan diterjemahkan secara keliru sehingga merasa hal tersebut sudah cukup untuk
menjadikan Penyandang Disabilitas dibawah pengampuan.
Proses ini jelas bertentangan dengan paragraf 28 komentar umum CPRD, bahwa setiap
orang, terlepas dari kondisi disabilitas atau kemampuannya dalam mengambil keputusan,
memiliki Kapasitas Hukum. Penjelasan dalam paragraf 28 inilah yang menegaskan bahwa
pelaksanaan kapasitas hukum bukanlah hasil dari penentuan kapasitas mental, sehingga
kedua konsep ini tidak boleh digabungkan.
Permasalahan krusial lainnya adalah Pasal ini memiliki inkonsistensi internal. Kriteria
pengampaun menjelaskan setiap orang yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau
mata gelap, namun tetap memberlakukan pengampuan yang dijelaskan dalam frasa
"sekalipun ia kadang-kadang tidak cakap menggunakan pikirannya."
Ketidakonsistenan ini menjadi celah yang mengakibatkan sering sekali ODP mendapatkan
pengampaun tanpa restu dan seijinnya, meskipun yang bersangkutan sedang tidak mengalami
kondisi relapse.
Pengampuan yang sebelumnya diharapkan membantu ODP ternyata tidak sesuai dengan
fakta empirik. Data yang dihimpun oleh LBH Masyarakat menemukan bahwa permohonan
pengampuan yang diajukan karena alasan finansial, seperti menjual aset, warisan dan
mengambil gaji yang secara gamblang ini justru merugikan ODP.
Hal ini mengindikasikan bahwa pengampuan yang meletakkan keluarga terdekat sebagai
pengampu (Pasal 434 KUHPerdata) tidak memberikan garansi bahwa pengampuan mampu
menjamin dan melindungi hak ODP.
Selain itu, proses pengampuan di pengadilan sering sekali dilakukan hanya seremonial
belaka. Surat keterangan sakit yang dijadikan sebagai landasan untuk pengampuan
dikabulkan begitu saja tanpa ada proses asesmen dan dukungan lebih lanjut. ODP tidak
benar-benar diberikan kesempatan untuk membela diri.
Pengampuan dengan proses seperti inilah yang kemudian menyebabkan kematian perdata.
ODP kehilangan haknya sebagai warga negara untuk bertindak sebagai subjek hukum
terutama dalam melakukan hal-hal yang bersifat keperdataan seperti jual beli, warisan,
perjanjian kerja, dan lain sebagainya.
Supporting Decision Making
Permasalahan fundamental pengampuan di Indonesia adalah mekanismenya yang masih
menggunakan prinsip substitute decision making. Menurut Titik Triwulan (2008), mekanisme
ini merupakan paradigma yang mengingkari hak ODP atas kapasitas hukum yang utuh dan
setara dengan yang lain.
Merujuk kepada Pasal 32 UU 8 tahun 2016, pengampuan seperti ini membuat relasi kuasa
yang timpang kerena menempatkan pengampu dan terampu dalam kedudukan hukum yang
tidak setara. Adanya relasi kuasa yang timpang pada akhirnya berimplikasi pada tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan pengampu kepada pihak terampu.
Mekanisme ini tentu saja sudah usang dan tidak lagi relevan untuk diterapkan berkaitan
dengan Indonesia telah meratifikasi CRPD dan sudah memiliki UU 8 tahun 2016, maka dari
itu sudah saatnya mekanisme ini diubah menjadi supporting decision making.
Konsep supporting decision making merupakan proses pengampuan yang memungkinkan
ODP memiliki otoritatif untuk membuat pilihan tentang kehidupan mereka sendiri yang
didukung secara langsung oleh lingkungannya.
Dukungan yang dimaksud dalam hal ini adalah dukungan secara afirmatif yang dilakukan
oleh keluarga psikolog, psikiater, praktisi hukum, maupun praktisi terkait lainnya.
Mekanisme supporting decision making mengedepankan adanya assesment komprehensif
dan pendampingan secara langsung kepada ODP sehingga ketika terjadi pengampaun, tidak
serta merta menghilangkan kedudukan ODP melainkan diberikan kesempatan lebih luas
untuk menentukan pilihannya.
Berdasarkan riset yang dilakukan Central For Public Representation di Amerika Serikat,
melibatkan Sembilan Penyandang Disabilitas berusia 25 hingga 80 tahun menemukan bahwa
pengambilan keputusan yang didukung (supporting decision making) adalah alternatif yang
efektif untuk pengampuan.
Dalam riset ini dijelaskan bahwa ODP yang didukung dengan mekanisme supporting
decision making cenderung mengalami peningkatan kebahagian, peningkatan rasa percaya
diri, mendapatkan pengalaman baru, dan rasa kebanggan yang meningkat.
Oleh karena itu, sebagaimana amanat Pasal 12 CRPD dan Pasal 32 UU 8 tahun 2016 sudah
saatnya Indonesia menghapus proses pengampuan yang selama ini masih terjebak dalam
pendekatan subsitution decision making, karena terbukti mekanisme ini hanya akan
memperpanjang diskriminasi bagi ODP.
Negara harus mulai merumuskan pendekatan supporting decision making sebagai mekanisme
yang sah dan wajib digunakan saat berhadapan dengan kasus pengampuan. Selain itu, upaya
untuk mewujudkan hal tersebut adalah merevisi Pasal 433 KUHPerdata dan turunannya agar
lebih humanis dan afirmatif terhadap Penyandang Disabilitas khususnya ODP.
Dengan demikian, harapan ODP untuk dapat duduk setera dengan masyarakat pada
umumnya dapat terwujud, serta memiliki kedudukan dan kesempatan yang sama sebagai
subjek hukum bukan isapan jempol belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H