Indonesia kemudian menyelaraskan Pasal 12 CRPD ini dalam Pasal 9 UU Nomor 8 tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal ini secara substantif tidak jauh berbeda. Yang
pada pokoknya memandang Penyandang Disabilitas merupakan insan yang wajib diberikan
kesempatan yang sama oleh negera untuk mendapatkan haknya sebagai subjek hukum.
Pengampuan
Pengakuan hukum yang didesain sedemikian rupa dalam kerangka hukum positif ternyata
tidak serta menjadikan Penyandang Disabilitas terutama disabilitas mental dan intelektual
atau biasa disebut Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) mendapatkan kesempatan
yang sama sebagai subjek hukum. Dalam beberapa kasus, terdapat sejumlah Penyandang
Disabilitas yang kemudian dianggap tidak cakap hukum dan tidak layak sebagai subjek
hukum.
Secara umum, ODP adalah orang yang mengalami gangguan mental. ODP memiliki
gangguan fungsi pikir, emosi dan prilaku yang membuat mereka terhambat dalam kehidupan
sehari-hari. Ragamnya dapat terdiri dari gangguan cemas, depresi, bipolar, skizofrenia, dan
lain sebagainya.
Gangguan yang dialami oleh ODP oleh negara diterjemahkan sebagai bentuk
ketikdaberdayaan dan ketidakmampuan untuk berdiri setara sebagai subjek hukum terutama
dalam hal-hal yang bersifat keperdataan. Untuk mengatasi hal tersebut diciptakanlah
mekanisme pengampuan.
Mengutip riset yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dalam
kurun waktu 2015-2018 ditemukan 49 kasus yang menetapkan OPD tidak cakap hukum,
hingga kemudian harus mendapatkan pengampuan.
Dalam hukum Indonesia tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai pengertian pengampuan,
hanya dijelaskan secara genaral dalam Pasal 433 Kitab Undang Hukum Perdata, yang
mengatakan, " Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau
mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap
menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan
karena keborosan.
Pasal inilah yang kemudian dianggap menjadi biang kerok dari praktik-praktik pengampuan
yang melukai hak Penyandang Disabilitas (ODP). Pasal ini terlalu prematur untuk
memutuskan ketidakberdayaan ODP sebagai subjek hukum.
Mengenai kapasitas legal (hukum) seseorang seharusnya tidak justikasi oleh sebuah regulasi
melainkan dibuktikan dalam proses peradilan di pengadilan. Pasal 433 KUHPerdata ini tidak
mampu secara jelas membedakan antara kapasitas hukum dan kapasitas mental.
Kedisabilitasan diterjemahkan secara keliru sehingga merasa hal tersebut sudah cukup untuk
menjadikan Penyandang Disabilitas dibawah pengampuan.
Proses ini jelas bertentangan dengan paragraf 28 komentar umum CPRD, bahwa setiap
orang, terlepas dari kondisi disabilitas atau kemampuannya dalam mengambil keputusan,
memiliki Kapasitas Hukum. Penjelasan dalam paragraf 28 inilah yang menegaskan bahwa
pelaksanaan kapasitas hukum bukanlah hasil dari penentuan kapasitas mental, sehingga
kedua konsep ini tidak boleh digabungkan.
Permasalahan krusial lainnya adalah Pasal ini memiliki inkonsistensi internal. Kriteria
pengampaun menjelaskan setiap orang yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau
mata gelap, namun tetap memberlakukan pengampuan yang dijelaskan dalam frasa
"sekalipun ia kadang-kadang tidak cakap menggunakan pikirannya."