Ketidakonsistenan ini menjadi celah yang mengakibatkan sering sekali ODP mendapatkan
pengampaun tanpa restu dan seijinnya, meskipun yang bersangkutan sedang tidak mengalami
kondisi relapse.
Pengampuan yang sebelumnya diharapkan membantu ODP ternyata tidak sesuai dengan
fakta empirik. Data yang dihimpun oleh LBH Masyarakat menemukan bahwa permohonan
pengampuan yang diajukan karena alasan finansial, seperti menjual aset, warisan dan
mengambil gaji yang secara gamblang ini justru merugikan ODP.
Hal ini mengindikasikan bahwa pengampuan yang meletakkan keluarga terdekat sebagai
pengampu (Pasal 434 KUHPerdata) tidak memberikan garansi bahwa pengampuan mampu
menjamin dan melindungi hak ODP.
Selain itu, proses pengampuan di pengadilan sering sekali dilakukan hanya seremonial
belaka. Surat keterangan sakit yang dijadikan sebagai landasan untuk pengampuan
dikabulkan begitu saja tanpa ada proses asesmen dan dukungan lebih lanjut. ODP tidak
benar-benar diberikan kesempatan untuk membela diri.
Pengampuan dengan proses seperti inilah yang kemudian menyebabkan kematian perdata.
ODP kehilangan haknya sebagai warga negara untuk bertindak sebagai subjek hukum
terutama dalam melakukan hal-hal yang bersifat keperdataan seperti jual beli, warisan,
perjanjian kerja, dan lain sebagainya.
Supporting Decision Making
Permasalahan fundamental pengampuan di Indonesia adalah mekanismenya yang masih
menggunakan prinsip substitute decision making. Menurut Titik Triwulan (2008), mekanisme
ini merupakan paradigma yang mengingkari hak ODP atas kapasitas hukum yang utuh dan
setara dengan yang lain.
Merujuk kepada Pasal 32 UU 8 tahun 2016, pengampuan seperti ini membuat relasi kuasa
yang timpang kerena menempatkan pengampu dan terampu dalam kedudukan hukum yang
tidak setara. Adanya relasi kuasa yang timpang pada akhirnya berimplikasi pada tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan pengampu kepada pihak terampu.
Mekanisme ini tentu saja sudah usang dan tidak lagi relevan untuk diterapkan berkaitan
dengan Indonesia telah meratifikasi CRPD dan sudah memiliki UU 8 tahun 2016, maka dari
itu sudah saatnya mekanisme ini diubah menjadi supporting decision making.
Konsep supporting decision making merupakan proses pengampuan yang memungkinkan
ODP memiliki otoritatif untuk membuat pilihan tentang kehidupan mereka sendiri yang
didukung secara langsung oleh lingkungannya.