Mohon tunggu...
Albalkh Ghassan Syaqiq
Albalkh Ghassan Syaqiq Mohon Tunggu... -

Pelajar yang berusia 14 tahun yang mempunyai tinggi 172 cm, berwajah mirip arab: berhidung mancung, bertelinga lebar, bermata sipit. Hobi bermain catur, bulutangkis, futsal, Online twitter, blog, menulis. Islam adalah segalanya dalam diri saya. Web : albalkh.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cowok Luar Biasa Keren

13 Juni 2012   13:12 Diperbarui: 4 April 2017   18:13 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen #2 saya.

Kunjungi juga website saya http://albalkh.com/?p=44

Brian, cowok paling keren dan paling cool sesekolahan, benar-benar orang yang resenya nggak ketolongan! Nyebelin! He is so annoying! Aku sebel sama dia! Banget! Seenaknya saja dia mau mainin aku? Cih!  Jangan harap aku bakal tertipu sama tampang dia!

Alright, aku tahu dia memang keren banget. Otaknya juga pintar, malah termasuk juara kelas. Olahraga? Weits, jangan salah. Dia jago main sepak bola. Oke, aku akui dia memang punya banyak kelebihan yang diidam-idamkan oleh banyak perempuan.

But, satu yang membuat dia mendapat nilai minus dariku. Playboy! Semua cewek cakep, stylish, gaul, dan mentel sudah pernah dia pacari! Yang kuper, rajin baca buku? Sebagian besar juga sudah. Malah aku ragu, mungkin semua sudah dia pacarin. Belum termasuk aku, tentunya. Aku sudah tahu se-playboy apa dirinya. Segala akal bulus dia buat ngerayu cewek juga sudah kudengar dari semua teman-temanku yang sayangnya juga sudah pernah berpacaran dengannya.

Rata-rata cewek yang pacaran sama dia nggak pernah lebih dari tiga bulan. Yang paling singkat hanya satu minggu lebih! Lihat? Tahu sendiri gimana playboynya dia? Dan sekarang dia nembak aku, minta aku jadi cewek dia? Jadi pacar dia? Gila aja kalau aku sampai mau terima. You wish!

Masih kuingat dengan jelas kejadian yang paling memalukan dalam hidupku tadi itu. Kejadian yang benar-benar akan menjadi peristiwa yang mungkin tidak akan pernah terhapus dari ingatanku.

* * *

Ra, aku mau kamu jadi pacarku. Kamu mau kan? Aku cinta sama kamu, Ra. Aku cinta banget sama kamu, dan aku yakin kamu bener-bener cinta sejati aku. True love aku. Aku yakin cuma kamu satu-satunya cewek yang pasti buat aku bertahan sama satu cewek aja! Aku yakin aku nggak bakal playboy lagi kalau jalan sama kamu. Trust me, will you?

Pengakuan Brian yang begitu terang-terangan di kelasku tadi saat istirahat benar-benar memalukan! Dia mengatakan kalimat seperti itu begitu dia memasuki kelasku? Ralat, bukan mengatakan. Melainkan meneriakkan! Dia ini beneran juara ngga sih? Sopan santunnya mana? Apa dia nggak tahu apa dampaknya sama aku kalau dia ngomong gitu? Cewek satu sekolahan bakal musuhin aku! Ya, Tuhan, satu sekolahan!

Gimana, Ra? Kamu mau? tanyanya sambil menatap kedua mataku dalam dengan posisi berlutut ala pangeran-pangeran dari negeri dongeng.

Aku hanya memandang ke kiri dan kanan, tempat kedua sahabatku duduk. Tapi, tidak ada gunanya. Mereka sedang memandang Brian dengan begitu seriusnya. Serius dalam arti terpesona ngeliat dia seperti biasanya juga, sebenarnya.

Aku menarik nafas yang dalam sambil memejamkan mata. Kutatap mata Brian tajam setelahnya.

Aku nggak mau. Kamu kira aku bakal percaya gitu aja sama kamu, setelah kamu pacarin semua cewek yang ada di sekolah kita?

Belum semua. Cleaning service belum pernah aku pacarin. Penjaga kantin juga belum. Dan kamu juga belum, jawabnya lancar dan tenang.

Aku hanya menggeram kesal. Sial!

Lalu, apa yang bisa buat aku percaya kamu nggak bakal playboy lagi? Ngga ada jaminan untuk itu kan? Kamu selalu bermulut manis sama semua cewek yang kamu pacarin, dan kamu pikir aku juga bakal jadi seperti mereka, percaya rayuan gombal kamu begitu saja? Aku nggak bakal segampang itu percaya sama kamu!

Oh my God! Di-dia Dia nyium aku di depan semua orang! Dasar kurang ajar! Apanya yang juara kelas? Sopan santun aja ngga tahu! Tata karma dan norma-norma pun dia tak tahu! Di bibir pula itu! Aku berusaha mendorong tubuhnya namun tak berhasil. Tenanganya lebih besar dariku. Wajar sebenarnya, karena dia cowok sedangkan aku cewek.

Cukupkah itu untuk sebuah bukti? tanyanya setelah melepas bibirku yang menempel dengan bibirnya selama sekitar dua-tiga detik.

Aku segera mengambil botol minumku, mencuci bibirku sebentar, kemudian membersihkannya dengan tanganku segera.

Nggak bakal. It will never be! Kamu kira aku bakal percaya hanya dengan kamu k-kamu ny-nyi-nyium aku? Mungkin saja semua cewek juga sudah kamu perlakukan begitu, malah mungkin lebih!

Aku segera berlari keluar kelas, melewatinya begitu saja. Teman-temannya yang berdiri di belakangnya semua terperangah melihatku berlari keluar. So what? Emangnya aku bakal peduli? Aku nggak peduli! Yang aku tahu, sekarang aku harus ke kamar mandi dan segera membersihkan bibirku yang sudah tercemar! Terkena berbagai macam virus dan bakteri!

* * *

Yah, kira-kira begitulah ceritanya. Dan sekarang aku masih berada di salah satu toilet yang ada. Aku malas untuk masuk ke kelas dan menghadapi semua orang.

Aku yakin semuanya akan membicarakanku sekarang. Ke mana pun aku melangkah, orang-orang pasti akan berbisik-bisik di belakangku. Dan kalaupun ada yang lebih parah, cewek-cewek yang sok berlagak model itu pasti akan menghinaku secara terang-terangan. Bagai lampu yang terus terang.

Aku segera berjalan menyusuri lorong sekolah dan melangkahkan kakiku ke arah perpustakaan tempatku untuk bolos dan bersembunyi, kalau aku sedang tidak ingin berada di kelas.

Segera aku melangkah ke rak buku cerita. Biarpun memakai bahasa Inggris, aku tetap suka membaca buku cerita di sekolahku ini. Semuanya menarik! Aku segera duduk di tempat biasa, tempat yang agak tersudut, dekat dengan jendela yang menghadap ke lapangan.

Kulihat anak-anak kelas 3 SMA sedang berlari keliling lapangan. Kenapa aku tahu itu kelas 3? Sebab pakaian olahraga kami itu berbeda tiap tingkatannya. Aneh kan? Tapi keren juga sih, hehehe. Ya, itulah sekolahku.

Sekilas Brian terlihat oleh mataku. Dia sedang berlari santai. Wajar sebenarnya mengetahui dia anak yang ikut ekskul sepak bola. Nggak heran dia nggak terlihat begitu lelah seperti yang lainnya. Sebenarnya, kalau kelakuan dia ngga minus, aku rasa aku sendiri mungkin bisa jatuh hati juga padanya, as all my friends do. Tapi sayang, dia terlanjur mendapat inilai minus itu dariku.

Brian terlihat tersenyum ke arahku. Dia memandangku dan tersenyum dengan lembut. Tangannya sedikit melambai padaku tadi. Aku segera duduk agak menjauh dari jendela. Takut cewek-cewek lain yang mungkin juga sedang memperhatikan Brian akan melihatku. Aku bisa mampus!

Dasar cowok gila! Tapi, apa bener dia cinta sama aku?

Sejujur-jujurnya, aku juga suka sama dia. Suka, bukan cinta. Atau mungkin lebih tepatnya belum. Mungkin karena aku tidak begitu dekat dengannya. Aku belum begitu mengenal dirinya.

Aku kembali sibuk dengan buku cerita yang ada di tanganku sekarang ini. Namun, tidak ada gunanya. Entah kenapa, terus terbayang senyum lembut yang tadi kuterima dari Brian. Aku segera menggeleng-geleng kepalaku. Cleora, jangan mudah percaya! Sudah banyak cewek yang jatuh ke pelukannya. Kamu jangan mau jadi seperti mereka semua!

Berkali-kali aku menasehati diriku sendiri. Dan berusaha kembali membaca buku yang tadi kuambil. Namun, bayang senyumannya tak juga mau menghilang dari pikiranku. Iiih jangan-jangan dia sampai pake pelet hanya karena aku nggak mau terima dia, ya? Tapi, nggak mungkin. Kalau memang iya, berarti itu juga udah merupakan salah satu alasan kuat aku ngga bakal menerimanya.

* * *

Seminggu sudah berlalu sejak kejadian memalukan itu. Namun, tidak ada tanda-tanda Brian akan menyerah untuk berusaha memacariku. Sebelum bel pertama berbunyi, bahkan sebelum aku datang, dia selalu sudah duduk menunggu di mejaku. Tentu saja, teman-teman sekelasku tidak ada yang mengusirnya. Mana mungkin ada yang mau! Bagi mereka, itu karunia di pagi hari. Pagi-pagi sudah dapat melihat Brian. But, not for me.

Setiap istirahat dia juga selalu mampir ke kelasku. Entah hanya untuk mengajakku ke kantin, atau menawariku jasanya. Maksudku dia mau mengajariku pelajaran-pelajaran yang tak kumengerti. Untuk yang satu ini aku tidak menolak. Sia-sia banget kalau ditolak! Ilmu itu berguna banget, tahu!

Terkadang, kalau aku ingin pergi ke toilet, tentu saja itu hanya alasanku untuk menghindarinya. Brian pasti memaksa ingin ikut. Tapi, dia hanya akan menungguku di depan toilet sambil bersandar di dinding. Pernah sekali langkah kakiku terhenti saat akan keluar toilet karena melihatnya sekilas. Jujur, saat itu jantungku benar-benar berdebar kencang. Dia terlihat begitu tampan saat dia bersandar di dinding dengan kedua tangannya berada di dalam saku celanaya. Biarpun sudah banyak kulihat gaya-gaya model seperti itu di majalah, tapi tetap saja ada yang kurasa berbeda pada dirinya. Entah apa itu.

Setiap pulang sekolah, dia juga selalu menawarkan diri untuk mengantarku pulang dengan motornya. Maklum, aku memang pulang sekolah naik angkot. Rumahku tidak berada begitu jauh dari rumah.

Once, aku merasa begitu sial. Tidak ada satupun angkot yang lewat. Bayangkan! Satu pun tak ada! Brian yang, as always, selalu menunggu sampai aku benar-benar naik ke dalam angkot, masih menungguiku. Tapi, tetap saja tidak ada angkot yang lewat. Aku benar-benar heran. Ngga mungkin nggak ada yang lewat! Pasti ada yang aneh! Mungkinkah ada kecelakaan yang menghambat jalan menuju sekolahku? Argh! Sial!

Saat aku memutuskan untuk berjalan kaki untuk pulang, Brian segera menarik tanganku, menahanku pergi.

Aku antar kamu pulang. Bahaya kalau cewek secantik dan semanis kamu pulang sendiri.

Terang saja aku menolak. Ogah! Gengsi! Tapi, dia tetap memaksa. Bahkan ketika aku tetap ngotot dengan niatku, dia tetap mengikutiku. Dia mengendarai motornya begitu pelan sehingga bisa mengimbangi langkahku. Segera saja lebih kupelankan lagi langkahku, agar motornya jadi berjalan lebih cepat ke depan sana. Namun, gagal. Ideku tak berjalan lancar. Dia malah mematikan mesin motornya dan turun dari motornya. Dia berdiri di sebelah motornya dan berjalan sambil mendorong motornya agar bisa mengimbangi langkahku.

Terus terang saja, aku, as a girl, pasti senang sekali ada cowok yang begitu demi aku. Tapi, dia itu Brian, playboy berat! I can’t fall in love with him! I can’t. Nggak boleh!

Sampai tengah jalan, kulihat dia terlihat begitu kelelahan. Wajar memang, sebab dia berjalan sambil mendorong motornya. Belum lagi ditambah teriknya matahari yang saat ini nggak bisa diajak kompromi. Sampai tengah jalan, aku sengaja singgah ke warteg-warteg yang ada di pinggir jalan. Setidaknya agar dia bisa beristirahat dulu. Minum, makan, atau apa kek. Terserah. Bahkan biar dia duduk semeja denganku, aku tak peduli. Aku tak berbicara padanya sama sekali. Aku ke sini hanya agar dia bisa beristirahat sejenak.

Ketika kulihat lelahnya sudah mulai hilang, aku segera berdiri dan menunggunya di motornya.

Ayo cepat! Aku mau pulang! seruku tak sabaran karena dia hanya berdiri bengong sekitar setengah meter dari motornya. Aku begini sebenarnya biar dia nggak kelelahan lagi. Kalau nggak, bisa-bisa anak orang pingsan sampai rumah.

Rumah kamu di mana? tanyanya yang sekarang sudah duduk di motornya dihadapanku.

Kujelaskan dimana letak rumahku secara rinci. Dia segera mengangguk dan menarik kedua tanganku, melingkarkan tanganku ke tubuhnya. Saat aku berusaha melepas tanganku, dia malah menahannya dengan sebelah tangan. Sial! Mentang-mentang cowok, jadi bisa seenaknya karena tenaganya lebih gede. Curang!

Kalau kamu nggak pegangan, aku nggak jamin kamu selamat sampai rumah. Jangan kamu kira aku nggak bakal ngebut, Ra. Itu bukan aku banget. Aku bukan tipe cowok yang tahan melaju pelan pakai motor.

Biarpun dia memakai helm dan kata-katanya tidak begitu keras, aku masih bisa mendengarnya. Karena wajahku berada tepat di belakangnya, di punggungnya.

Segera dia hidupkan motornya dan melaju kencang. Cepat banget, batinku. Jantungku sampai deg-degan. Karena takut tentunya. Mana mungkin karena aku sedang memeluk tubuhnya. Tubuhnya begitu bidang. Tapi aku yakin, aku bukan cewek pertama yang diboncenginya pulang. Jadi, aku juga bukan cewek pertama yang memeluk tubuhnya saat naik motor seperti ini kan? Rugi banget kalau aku berdebar-debar hanya karena memeluknya seperti ini. Remember, I’m not the first one.

Begitu sampai di depan rumahku, aku segera turun dari motornya. Air mataku sudah ada di pelupuk mataku, hanya saja belum mengalir jatuh menuruni kedua pipiku. Gila! Dia benar-benar gila! He’s out of his mind! Ngebutnya nggak tanggung-tanggung. Apa dia nggak tahu yang sedang berada di belakangnya itu seorang cewek, perempuan, gadis, wanita, lady? Segera kuusap kedua mataku.

Loh, kamu kok nangis, sih, Ra? tanyanya panik.

Dengan cepat kuusap air mataku. Aku tak ingin dia melihatku dalam keadaan begini. Tapi, air mataku tak bisa diajak kompromi. Air mataku malah mengalir tambah derasnya.

Kamu gila, ya? Kamu sadar nggak, sih, kalau kamu tadi ngebutnya sudah seperti orang gila! Orang yang sudah ngga waras! Kamu sadar nggak yang tadi ada di belakang kamu itu seorang cewek! Kamu nggak mikir ya, Yan?

Amarahku keluar semua. Kumaki-maki dia terus. Sampai akhirnya aku tak bisa lagi melanjutkan kalimat-kalimatku. Dia menghentikan. Dengan cara yang paling ampuh di dunia, yang bahkan tak terlintas di pikiranku. Dia menciumku! Lagi!

Setelah kira-kira lima detik hampir terlewati, baru dia memisahkan bibirku dan bibirnya. Segera kutampar pipinya. Namun, aku rasa tidak akan begitu terasa sakit baginya, aku yakin. Sebab, tenagaku tiba-tiba melayang entah kemana semua.

Aku belum gila, Ra. Aku tahu yang duduk di belakang aku itu seorang cewek. Seorang cewek yang aku sayangi, aku cintai.

Aku hanya memalingkan wajahku. Diam menyelimuti kami untuk beberapa lama. Sadar tak ada yang akan pergi sebelum salah satu dari kami bergerak, aku segera berbalik dan masuk ke rumahku. Kutinggalkan dia yang masih saja menatap ke arah pintu rumahku. Aku tak peduli. Aku tak mau lagi peduli padanya. Never.

* * *

Beberapa hari sejak kejadian itu, dia tak lagi mendatangiku. Sepertinya dia sudah menyerah.

“Baguslah”, gumamku pelan. Tapi, entah mengapa, aku merasa ada perasaan aneh yang menghampiri hatiku. Ada sedikit perasaan tak rela dan kehilangan. Tapi, tak kuambil pusing. Lama-lama juga pasti akan hilang sendiri.

Aku jalani hari-hariku seperti biasa. Seperti saat dia belum masuk ke dalam kehidupanku. Tapi, perasaan kehilangan itu masih tetap ada. Ke mana pun kakiku melangkah, kenangan antara aku dan dia tetap ada. Di kantin, di toilet, di perpustakaan. Seolah-olah dia membayangi langkahku ke mana pun kakiku hendak melangkah.

Aku berusaha untuk tetap menjalani semuanya seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Hari ini, aku bolos lagi. Kakiku membawaku ke perpustakaan, mengambil buku yang dulu belum sempat selesai kubaca dan duduk di tempat yang biasa. Tempat di mana Brian untuk pertama kalinya tersenyum padaku. Tersenyum dengan begitu lembut.

Tanpa sadar, setetes air mataku menuruni sebelah pipiku yang kemudian mulai membanjiri kedua pipiku. Tangisku tak mau berhenti, meski seberapa keras pun aku berusaha untuk menghentikannya.

Apa? Apa yang salah denganku? Apa yang terjadi padaku? Apa aku sudah jatuh cinta padanya? Apa aku sudah terlanjur memberikan hatiku ini padanya?

Segera kusingkirkan buku yang ada di tanganku, karena takut akan segera basah oleh air mataku yang tak henti-hentinya mengalir. Untung saja saat ini perpustakaan sedang sepi, ditambah lagi tempat kududuki begitu tersudut. Segera kutumpahkan semua air mataku yang berteriak ingin keluar.

Begitu kudengar ada langkah yang mulai mendekati tempatku sekarang, aku segera berusaha menghentikan tangisku. Segera kulap kedua pipiku yang begitu basah.

B-Br-Brian? gumamku tak percaya. Dia? Seorang Brian datang ke perpustakaan? Saat jam pelajaran pula.

Wajah kamu memang tetap cantik walaupun kamu sedang menangis, Ra, tapi senyum kamu tetap yang paling indah. Please, Ra. Jangan nangis lagi. Aku nggak tahan ngeliat kamu nangis, Ra. Aku juga menderita kalau melihat kamu nangis.

Kalimat-kalimat itu sukses membuatku membelalakan mataku. Siapa yang tidak akan kaget mendengarnya? Kalimat romantis gitu? Tapi, gengsiku sepertinya begitu tinggi.

Ya sudah, pergi aja biar kamu ngga ngeliat aku nangis, jawabku ketus.

Nggak ada gunanya, Ra. Di mana pun aku berada, kalau kamu lagi menangis, aku pasti menderita juga. Anytime. Anywhere.

Gombal.

Terserah kamu mau percaya atau nggak. Setidaknya, aku udah selalu berusaha untuk jujur di depan kamu, Ra. Hanya di depan kamu. Aku belum pernah kayak gini sama cewek lain sebelumnya, Ra. Baru sama kamu seorang, dan aku rasa hanya akan begini sama kamu. I’ve told you. You ARE my true love.

Tangis kembali mendatangi diriku. Kenapa aku jadi cengeng begini sih? Apa yang salah denganku? Apa ada masalah dengan kelenjar air mataku? Sepertinya aku harus segera check-up.

Kamu kenapa nangis, sih, Ra? Cerita sama aku, barangkali tangis kamu bakal berhenti. Brian sudah duduk di sebelahku dan mengusap sebelah pipiku dengan ibu jarinya. Tangisku semakin menjadi.

Ak-aku juga ng-nggak tahu, Yan. Se-sejak sejak kamu ngga pernah ngedatengin aku lagi, ada perasaan kehilangan di hati aku. Aku pikir lama-lama perasaan itu bakal menghilang begitu saja, tapi sampai sekarang perasaan itu ngga hilang-hilang juga, jelasku panjang lebar sambil menangis.

Samar-samar kulihat sebuah senyum dari bibir Brian. Anak ini benar-benar nggak waras! Orang lagi nangis begini malah senyum?

Itu masalah yang simpel banget, Ra. Itu tandanya kamu sayang sama aku, kamu cinta sama aku. Kamu ngga bisa jauh-jauh dari aku. Semua perasaan kamu itu sama kayak perasaan aku ke kamu. Dia membelai kepalaku pelan.

Tapi, kamu pasti bakal mainin aku juga seperti cewek-cewek kamu semua. Kamu ngga serius sama aku. Kamu Cuma mau mainin aku.

Kamu salah besar, Ra. Aku cinta sama kamu. Aku bener-bener cinta sama kamu. Sudah lama banget! Cuma, susah nyari info tentang kamu, Ra. Aku usaha keras banget cuma buat nyari tahu di mana kelas kamu.

Aku hanya bisa melongo. Tak kusangka dia berbuat begitu. Tapi, aku melarang hatiku untuk percaya begitu saja padanya. Dan, seolah dapat membaca pikiranku, dia menjawab,

Sebenarnya ceritanya panjang banget, tapi aku rasa kalau aku ngga cerita semuanya kamu nggak bakal percaya sama aku, ya kan?

Aku segera mengangguk pelan. Dia menarik nafas panjang, mengubah posisi duduknya menghadap meja, dan mulai bercerita.

Pertama kali aku ngeliat kamu itu di perpus ini juga, di tempat kamu duduk sekarang ini. Aku disuruh Pak Sinaga ngambil buku. Saat itu kamu lagi tidur, dan aku datang. Pertama kali ngeliat, aku langsung kaget sama penglihatanku. Gila! Malaikat dari mana yang datang? begitu pikirku. Tapi, setelahnya aku sadar. Mungkin itu hanya efek dari sinar matahari dari arah jendela, makanya kamu bisa kelihatan begitu bercahaya di mataku. Tapi, setelah aku datang berkali-kali, bahkan di saat sinar matahari ngga mengenai kamu, kamu benar-benar terlihat seperti seorang bidadari di mataku. Sejak saat itu, sebisa mungkin aku cari info tentang kamu. Kamu kelas berapa, nama kamu, dan lain sebagainya. Sering aku datang ke perpus, ke tempat ini, karena aku pikir aku mungkin bisa ketemu sama kamu, tapi kamu nggak pernah ada. Aku putus asa banget, padahal aku pikir aku bisa kenal kamu lebih jauh kalau aku bisa ketemu sama kamu. Akhirnya, setelah usaha keras aku selama seminggu lebih, aku dapet info yang aku mau. Nama kamu, kelas kamu, kamu tuh orangnya gimana aja, dan aku sadar. Kamu ngga seperti cewek-cewek yang lain, yang aku pacarin selama ini. Kamu berbeda sama mereka. Aku sendiri ngga tahu apa yang beda, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam diri kamu.

Dia berhenti sejenak. Mengambil nafas dan menundukkan sedikit kepalanya. Kemudian, dia kembali melanjutkan ceritanya.

Setelah agak lama, aku beraniin diri nembak kamu, walaupun aku yakin, kemungkinan besar, kamu ngga mungkin mau nerima aku. Tapi, aku tetep nekat, dan ternyata dugaan aku nggak salah. Well, aku minta maaf soal kesan pertama yang kamu dapet dari aku. Aku menatapnya bingung, tak mengerti maksud kesan pertamanya yang mana, yang aku, aku nyium kamu waktu itu.

Aku menunduk, malu. Tapi, sudah dua kali dia melakukan hal itu padaku. Tentu saja aku kesal berat padanya kan? Itu hal yang sangat wajar.

Aku minta maaf, Ra. Maaf banget! Yang pertama kali itu karena aku sudah ngga tahan banget ngeliat kamu di depan aku terus. Kamu ngga pernah ada di depan aku selama itu sebelumnya, juga sebagai bukti yang kamu minta. Dan, akhirnya aku ngga berhasil nahan diri aku untuk nyium cewek yang aku cintai banget. Yang kedua karena aku bener-bener nggak tahan ngeliat kamu nangis, Ra. Seperti yang aku bilang tadi. Kamu mau maafin aku kan?

Setelah menimbang-nimbang, aku mengangguk kecil. Entah apa yang mendorong kepalaku untuk mengangguk saat itu. Aku sendiri pun tak mengerti. Akhir-akhir ini tubuhku tidak pernah mau mendengarkan perintahku.

Makasih banget, Ra. Aku ngga mau kamu benci sama aku. Ngeliat kamu nangis emang buat aku menderita, Ra. Tapi, kalau melihat kamu yang benci sama aku, aku lebih baik mati, Ra. Aku ngga sanggup.

Oh my Gott! Itu kalimat paling romantis yang pernah aku terima dalam hidupku! In my whole life!

So, gimana, Ra? Kamu mau nerima aku? Nerima cinta aku ke kamu? tanyanya yang sudah membetulkan letak duduknya dan menghadap ke arahku. Dia menatap langsung kedua mataku. Saat aku mau memalingkan wajah, dia segera menahannya dengan sebelah tangan.

Kalau kamu bener-bener ngga mau jadi pacarku, aku yakin kamu bisa ngejawab itu tanpa memalingkan tatapan mata kamu dari aku.

Sial! Aku tak bisa apa-apa lagi, sebab tangannya tetap menahan wajahku. Kutatap matanya takut-takut. Biarpun matanya memandangku langsung, matanya tetap terlihat begitu lembut saat menatapku.

A-ak-aku aku ng-nggak b-bi-bisa, Yan. A-aku nggak bis-bisa. Brian menaruh jari telunjukknya di bibirku, menyuruhku diam.

Hening.

Diam menyelimuti.

Alright, kata Brian dengan begitu putus asa sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Aku juga ngga bisa maksa kamu, tapi at least kamu bisa ngebiarin aku tetep berada di dekat kamu kan? Ada di sekitar kamu?

Heh! Kalimat aku belum selesai, kamu udah main motong aja! Ya udah! Aku pura-pura ngembek.

Loh? Tapi intinya kan kamu nolak aku juga kan?

Aku nggak bisa nolak kamu, Yan. Aku sadar, sepertinya kamu udah berhasil ngebuat aku jatuh cinta sama kamu. Tapi, karena kamu udah berasumsi lain, apa daya. Aku cuek aja, deh! Aku segera berdiri untuk melangkah pergi tapi dia langsung menahanku. Dia meraih pergelangan tanganku dan menarikku duduk ke pangkuannya. Spontan wajahku memerah. Aku duduk di pangkuannya! Wajahnya berada tidak sampai lima senti dariku!

Tanpa ba-bi-bu lagi, dia langsung menciumku! Ugh! Biarpun aku cinta sama dia, bukan berarti dia boleh selalu nyium aku sesuka hati dia, kan?!

Tangannya yang lebar memelukku dengan begitu erat. Takut-takut tanganku juga meluk dia. Aku bener-bener pengen meluk dia, sejak aku naik motor dia. Badannya sungguh bidang.

Bukannya merenggangkan pelukannya, eh dia malah semakin menguatkannya. Bisa-bisa tulangku remuk, nih!

Lima detik sudah berlalu. Tapi, dia belum melepaskan bibirku. Barulah setelah sekitar delapan detik terlewati, dia melepaskan bibirku dari bibirnya. Sekilas kulihat wajahnya yang memerah, tapi dia segera menutupinya dengan memelukku, sehingga aku tak bisa melihat wajahnya yang kini bertengger di bahuku.

Sorry, tapi aku bener-bener nggak bisa nahan diri, ucapnya pelan di telingaku. Aku hanya tersenyum kecil mendengarnya.

Biarpun kesal, aku tetap tak bisa marah padanya. Ternyata pepatah itu selalu benar. Kalau udah jatuh cinta, waktu paling lama untuk kita marah sama orang yang kita cintai cuman satu menit! Nggak lebih!

Well, setidaknya aku sudah menemukan cintaku. Sekarang aku benar-benar bahagia. Hei, tahukah kalian arti dari sebuah kebahagiaan? Aku pernah membacanya dari sebuah buku. Kebahagiaan itu adalah pertemuan dua hati yang saling mencintai. Dan, sekarang kebahagiaan itu sudah kutemukan. Bahkan, mungkin kebahagiaanku ini melebih semua cewek-cewek yang pernah dipacarinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun