Kamu gila, ya? Kamu sadar nggak, sih, kalau kamu tadi ngebutnya sudah seperti orang gila! Orang yang sudah ngga waras! Kamu sadar nggak yang tadi ada di belakang kamu itu seorang cewek! Kamu nggak mikir ya, Yan?
Amarahku keluar semua. Kumaki-maki dia terus. Sampai akhirnya aku tak bisa lagi melanjutkan kalimat-kalimatku. Dia menghentikan. Dengan cara yang paling ampuh di dunia, yang bahkan tak terlintas di pikiranku. Dia menciumku! Lagi!
Setelah kira-kira lima detik hampir terlewati, baru dia memisahkan bibirku dan bibirnya. Segera kutampar pipinya. Namun, aku rasa tidak akan begitu terasa sakit baginya, aku yakin. Sebab, tenagaku tiba-tiba melayang entah kemana semua.
Aku belum gila, Ra. Aku tahu yang duduk di belakang aku itu seorang cewek. Seorang cewek yang aku sayangi, aku cintai.
Aku hanya memalingkan wajahku. Diam menyelimuti kami untuk beberapa lama. Sadar tak ada yang akan pergi sebelum salah satu dari kami bergerak, aku segera berbalik dan masuk ke rumahku. Kutinggalkan dia yang masih saja menatap ke arah pintu rumahku. Aku tak peduli. Aku tak mau lagi peduli padanya. Never.
* * *
Beberapa hari sejak kejadian itu, dia tak lagi mendatangiku. Sepertinya dia sudah menyerah.
“Baguslah”, gumamku pelan. Tapi, entah mengapa, aku merasa ada perasaan aneh yang menghampiri hatiku. Ada sedikit perasaan tak rela dan kehilangan. Tapi, tak kuambil pusing. Lama-lama juga pasti akan hilang sendiri.
Aku jalani hari-hariku seperti biasa. Seperti saat dia belum masuk ke dalam kehidupanku. Tapi, perasaan kehilangan itu masih tetap ada. Ke mana pun kakiku melangkah, kenangan antara aku dan dia tetap ada. Di kantin, di toilet, di perpustakaan. Seolah-olah dia membayangi langkahku ke mana pun kakiku hendak melangkah.
Aku berusaha untuk tetap menjalani semuanya seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Hari ini, aku bolos lagi. Kakiku membawaku ke perpustakaan, mengambil buku yang dulu belum sempat selesai kubaca dan duduk di tempat yang biasa. Tempat di mana Brian untuk pertama kalinya tersenyum padaku. Tersenyum dengan begitu lembut.
Tanpa sadar, setetes air mataku menuruni sebelah pipiku yang kemudian mulai membanjiri kedua pipiku. Tangisku tak mau berhenti, meski seberapa keras pun aku berusaha untuk menghentikannya.