Mohon tunggu...
Al-Azhar Peduli Ummat
Al-Azhar Peduli Ummat Mohon Tunggu... -

Al-Azhar Peduli Ummat adalah lembaga nirlaba yang dibentuk Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dhuafa, berbasis pendidikan dan dakwah dengan mendayagunakan sumber daya dan partisipasi publik, dan bukan berorientasi pada pengumpulan profit bagi pengurus organisasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

(Bukan) Berobat ke Singapura

25 April 2012   03:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:08 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buat para pejabat atau pengusaha Indonesia yang duitnya ‘’tidak berseri’’ alias buanyak banget, berobat ke Singapura mah seperti saya aja. Maksudnya, seperti saya berobat ke Puskesmas alias perkara mudah bagi mereka[1].

Lha kalau manusia bukan ber-uang macam saya mau berobat ke Singapura, opo tumon? Ketemu dari mana? Udah mikirin jauh tempatnya, apalagi mahalnya. Bukannya sembuh, malah nambah sakit mikirinitu semua.

Penyakit orang kecil seperti kita ini, cukuplah puyeng. Saya juga ada penyakit pusing tujuh kelilingmendadak, yang bahasa keren-nya vertigo[2].

Syahdan, suatu sore saya dan kawan-kawan bermaksud naik pesawat dari Padang menuju Jakarta. Sebelumnya, di Padang kami melakoni aktivitas nan cukup melelahkan dan dibawah teriknya sinar mentari yang begitu menyengat.

Sore dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Minangkabau, saya merasa badan mulai nggakenak.  Seperti masuk angin, dan kepala agak pusing.

Ndilalah, sampai di Bandara, ternyata pesawat yang akan kami tumpangi, delay. Padahal, saya dan rombongan sudah sepakat untuk menunda makan hingga tiba di Jakarta. Jika pesawat ontime,  insya Allah sekitar waktu maghrib kita sudah akan sampai, lalu makan malam di warung sate langganan di Jakarta.

Innalillahi… ternyata pesawat ngaret sampai hampir 2 jam. Begitupun, kami menahan diri untuk tidak makan di bandara. Komitmen kami tetap pada Plan A: makan sate di Jakarta. Ya sudah, judulnya jadi telat makan deh. Badan saya makin nggak karuan aja rasanya, meski tetap mencoba ceria bersama kawan-kawan.

Akhirnya, sekitar 2 jam kemudian, kami dipersilakan naik pesawat menuju Jakarta. Di dalam perut pesawat yang dingin bukan main, perut kosong penumpang macam saya tetap saja telantar. Maklum, ini kelas ekonomi, nggak dapet menu nasi timbel kecuali sekadar air minum.

Burung besi baru take off 15 menit, masya Allah, kepala ini mendadak rasanya muter-muter. Pesawat terasa seperti melakukan manuver spin-off terbang berputar-putar.

Ternyata, saya terserang vertigo. Ya Allah, penyakit ini datang di saat saya sedang di atas awan. Saya menunduk, memejamkan mata, membayangkan harus menunggu sekitar satu jam lagi sampai pesawat landing.

Saat itu, masya Allah deh rasanya; Mual, pingin muntah, pusing tujuh keliling.... Alhamdulillah, teman-teman di samping kanan-kiri mijitin tengkuk saya. Saat itu saya bener-bener pengen muntah. Tapi saya tahan sekuat tenaga, takut dikira mabok udara seperti wong ndeso baru kali pertama naik montor mabur.

Turun di Bandara Soetta Jakarta, begitu menginjak aspal, saya langsung hoekkk… muntah. Sesudahnya badan lemeees sekali, nggak sanggup berdiri. Dalam keadaan sadar, saya dibopong 2 orang teman. Kawan lain langsung mengontak tim penjemput agar segera siaga di pintu kedatangan.

Masya Allah, dunia bagai berputar, demikian juga seisinya. Putarannya terasa makin dahsyat, sehingga dalam perjalanan menuju pintu keluar bandara, saya muntah sampai 3 kali.

Dengan sigap dan sabar, sahabat saya Mas Naryo membopong saya. Terima kasih Mas Naryo, I’ll never forget.

Jelang masuk mobil  jemputan, saya muntah sekali lagi, sebelum kemudian dilarikan ke rumah sakit. Selama perjalanan di mobil pun, saya muntah beberapa kali.

Dengan berbagai pertimbangan kawan-kawan, terutama agar tak terlalu jauh dari rumah, maka saya dirujuk ke RS Pondok Indah, Jakarta Selatan. Masuk ruang emergency hampir tengah malam, saya langsung ditangani dokter jaga. Muntah lagi saya sebelum masuk Ruang ICU.

Setelah memeriksa, dokter menawari saya untuk opname. Apa boleh buat.

Alhamdulillah, saya ada kartu asuransi medis. Namun kata petugas, ruang kelas 1 dan 2 penuh semua. Padahal, asuransi saya hanya untuk kelas 2. Yang tersisa hanya ruang VIP.

Masya Allah, saya merasa kalau harus masuk ruang VIP, terlalu mewah. Nggak pantes rasanya saya dirawat di sana. Saya merasa saya ini bukan orang penting-penting amat.

Tapi dengan pertimbangan kondisi darurat, saya pasrah masuk ruang rawat VIP. Soal biaya, urusan belakangan dah. Itu pun dengan catatan, jika sudah ada bed kosong di kelas 1 atau 2, saya mintadipindahin ke sana.

Akhirnya, jadilah saya dirawat di VIP. Di sini, pasien serasa menginap di kamar hotel berbintang. Ruangannya mewah, full AC, dengan furniture dan berbagai fasilitas berkelas. Makanannya pun enak-enak, andai saja tidak sedang sakit. Pelayanan cepat, ramah, dan rapi. Subhanallah, seumur-umurbaru kali ini saya ngerasainyang beginian.

Malam itu, setelah disuntik obat analgitik pengurang rasa sakit, alhamdulillah saya bisa tidur selepas tengah malam.

Paginya, bangun untuk sholat subuh sambil berbaring di tempat tidur. Usai sholat subuh, tidur lagi sampai terbangun sekitar jam 8 pagi.

Begitu terjaga, saya disambut senyum damai Ustadz Buchori Muslim, Imam Rawatib Masjid Agung Al-Azhar. Rupanya, beliau sudah agak beberapa lama menunggui saya yang masih tertidur.

Dengan suara sejuk, beliau memberi motivasi serta mendoakan saya. Masya Allah, hati rasanyaadeeem banget. Gimana nggak, pembesuk pertama di hari pertama adalah imam masjid nan mulia.

Setelah ngobrol sekitar setengah jam, Ustadz Bukhori pamitan. Selanjutnya, seperti laron keluar dari sarangnya, bergantian rombongan demi rombongan pembesuk lainnya berdatangan.

Akibatnya, bukan saja ruang rawat yang penuh, meja kecil di ruangan pun jadi sesak dengan berbagai buah dan makanan enak bawaan mereka. Padahal, dari rumah sakit sendiri sudah banyak makanan dengan menu yummy. Sekali lagi, kalau kita sehat lho.

Subhanallah, ruang rawat juga jadi ajang reuni dan perkenalan para pengunjung. Saya turut berbahagia, menjadi koneksi penyambung silaturahim kawan-kawan, baik yang senior maupun yunior.

Setiap pagi, siang, dan sore, ruang rawat dibersihkan. Saya mempersilakan para petugas kebersihan untuk mengambil semua makanan dan buah-buahan yang terhidang di meja saya. ‘’Bagi juga kawan-kawan yang lainnya ya, sambil doakan saya,’’ pesan saya pada petugas cleaning service.

Dengan suka cita, mereka berucap terima kasih kepada saya maupun istri yang menunggui. Buat mereka, pemberian itu luar biasa makna maupun harganya. Alhamdulillah, hati jadi makin adem melihat binar bahagia di wajah mereka.

Anehnya, meja makan tak lama kosong. Setiap kali sajiannya habis dibawa oleh petugas cleaning service, tak lama kemudian terisi lagi dengan berbagai roti dan buah bawaan pembesuk. Alhamdulillah, rejeki buat kami dan para petugas seperti tak pernah berhenti mengalir. Ada terus.

Yang membuat saya terharu, para tetangga, sahabat, dan teman kantor yang membesuk, juga banyak yang nyelipin amplop ke tangan saya. Bukan amsong (amplop kosong), tapi amsi. Termasuk tetangga saya yang orang-orang kampung di Parung, Bogor, juga datang membawakan buah dan memberi amplop.

Ha ha ha... saya tertawa dalam hati mensyukuri ketulusan mereka. Allah bener-bener menghadirkan banyak hiburan buat saya. Selain kunjungan, juga doa dan berbagai bawaan dari para pembesuk.

Siang di hari kedua di Rumah sakit, saya menjalani pemeriksaan laboratorium untuk tes darah dan MRA guna melihat kondisi kepala; Apakah ada kelainan atau sesuatu yang menjadi pemicu pusing dan vertigo. Pemeriksaan selesai, saya dengan kursi roda diantar istri kembali ke kamar inap.

Alhamdulillah, di kamar inap sudah menunggu Ibu Nurhayati dan Ibu Rusydi beserta jamaah Majelis Ta’lim Al-Azhar.

Beliau memberikan motivasi untuk bersabar atas karunia sakit dari Allah SWT. Subahanllah ini menjadi tambahan kesejukan hati atas perhatian dari ibu-ibu.

Dalam perbincangan, Bu Nurhayati mengatakan, ‘’Pak Sani, jika nanti sudah keluar dari RS ini, biar saya minta sopir saya jemput Bapak. Saya akan bawa Bapak ke tempat pijit urut tuna netra langganan saya di Santa (daerah Blok M Jakarta Selatan). Di sana ada salah satu tukang urut ahli nanganinvertigo. Saya juga dulu kena vertigo, dan sembuh setelah diurut di sana.’’

‘’Ah, jangan repot-repot menjemput saya, Bu,’’ jawab saya.

‘’Ya, iya lah. Masak lagi sakit Bapak mau nyetir sendiri, nanti malahan bahaya!’’ Keluar deh naluri keibuannya.

‘’Baik Bu, baik, Insya Allah, seneng banget saya dapet tawaran Ibu. Dijemput dan diantar lagi, kayakbos aja.’’

‘’Emang situ kan bos, he he he,’’ canda Bu Nurhayati.

‘’Saya ini hanya pelayan ummat, Bu.’’

‘’Ya sudah, pokoknya nanti kalau sudah boleh pulang, biar dijemput sopir saya.’’

‘’Baik Bu. Terima kasih ya.’’ Kami sama-sama bahagia.

Tak lama setelah rombongan Bu Nurhayati pulang, datang tamu pembesuk lain. Beliau seorang pensiunan yang sangat bersemangat dalam kegiatan keislaman dan dakwah. Selain motivasi dan do’a, ia juga membawakan kue-kue yang enak banget buat saya.

Ya Allah, terima kasih, Engkau telah menghadirkan hamba-hambaMu untuk menghiburku.

Sebelum pamit pulang, tamu satu ini menawarkan sesuatu ke saya. ‘’Pak Sani,’’ katanya. ‘’Nanti kalau sudah keluar dari RS, saya beri referensi untuk berobat ke dokter langganan saya. Ini nomor kontaknya. Kalau sudah ketemu dia, bilang dari saya ya.’’

‘’Terima kasih, Pak. Kenapa begitu Pak?’’ Saya penasaran.

‘’Maklumlah, pasien beliau banyak sekali, jika tidak ada layanan khusus, maka pasien harus ngantri panjang sekali. Saya nanti akan telepon beliau sebelum Pak Sani datang, biar nanti langsung dilayani secara privat.’’

‘’Alhamdulillah,  terima kasih banyak Pak,’’ hanya itu yang bisa saya sampaikan. Ternyata, pertolongannya belum berhenti sampai di situ. ‘’Nanti jangan bayar ya, biar saya saja yang menaggung biayanya.’’

Subhanallah....

Saya tidak heran juga atas sikapnya. Beliau ini memang ringan tangan dalam membantu orang. Pernah ada sahabatnya masuk rumah sakit, beliau yang tanggung biayanya karena persahabatan mereka.

Masya Allah, tatkala berpamitan, tamu saya ini memberikan cek senilai Rp 5 juta. ‘’Ini dari saya pribadi untuk Pak Sani pribadi ya,’’ bisiknya sambil memberikan cek tersebut.

Masya Allah, nikmat mana lagi yang bisa saya dustakan dari karunia Allah selama saya dirawat 3 hari di rumah sakit.

Hari terakhir dirawat, kondisi badan saya semakin stabil. Tapi, masih perlu kontrol untuk memantau kondisi kesehatan. Dokter sudah membolehkan rawat jalan alias pulang.

Di saat kita bersiap untuk pulang, ada SMS masuk. ‘’Apa kabar Pak? Semoga sudah sehat. Jika Bapak keluar dari RS ini belum sembuh juga, biar nanti Bapak saya bawa ke Singapura untuk berobat. Semua akomodasi dan biaya saya yang akan tanggung,’’ demikian bunyi SMS dari seorang sahabat itu.

Masya Allah! Sebelumnya nggak pernah mimpi saya berobat ke Singapura, tapi ternyata mungkin kalau saya mau. Hmm, inilah kuasa Ilahi, Kunfayakun, apa saja bisa!

Dengan berseloroh saya jawab SMS tersebut: ‘’Alhamdulillah, sudah sehat Pak, terima kasih atas tawarannya. Kalaupun saya jadi ke Singapura, mudah-mudahan bukan dalam kondisi sakit dan berobat di sana, tapi untuk jalan-jalan saja. He he he.’’

Alhamdulillah, setelah itu saya akhirnya berkesempatan ke Singapura dua kali. Bukan untuk berobat. Yang pertama bersama keluarga pada saat ada undangan memberikan motivasi di Batam, Kepulauan Riau, sekaligus nyebrang menengok Singapura. Yang kedua, diundang mengisi acara di Kedutaan Besar Indonesia di Singapura.

Alhamdulillah, kesampaian juga. Terima kasih ya Allah.

-----------------

Catatan Kaki:

[1] Menurut Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, berdasarkan data National Health Care Group International Business Dev Unit (NHG-IBDU) Singapura, tercatat 50 persen pasien internasional yang berobat di Singapura adalah warga Indonesia. (http://nasional.vivanews.com/news, 15/02/2012). Kementrian Kesehatan juga mengungkapkan, belanja pasien Indonesia di luar negeri, mayoritas di Singapura, mencapai Rp 100 Trilyun! Menurut Syamsu Nur, wartawan senior Fajar Online yang pernah merasakan jadi pasien penyakit jantung di Mount Elizabeth Hospital, Singapura, tiga alasan yang sering mengemuka mengapa orang berobat ke Negeri Singa adalah: transparan, profesional, dan disiplin (http://www.fajar.co.id/22/6/2011). Kata orang, rumah sakit Mount Elizabeth milik orang Indonesia. Bukan sahamnya yang dimiliki orang Indonesia, tapi saking banyaknya pasien Indonesia yang dirawat di sana, sehingga rumah sakit itu disebut milik orang Indonesia. Memang, 80 persen pasien rumah sakit itu adalah orang Indonesia.

[2] Vertigo, atau vestibulars disorders, adalah sebuah kondisi ketika penderita merasa dunianya berputar sehingga ia hilang keseimbangan bahkan saat mereka tidak sedang bergerak. Penderita vertigo merasa pusing luar biasa. Seorang yang menderita vertigo perasaannya seolah-olah dunia sekeliling berputar (vertigo objektif) atau penderita sendiri merasa berputar dalam ruangan (vertigo subjektif). Perasaan pusing ini selain disertai rasa berputar kadang-kadang disertai mual dan muntah. Bila gangguan ini berat, penderita bahkan tak mampu berdiri atau bahkan terjatuh, akibat gangguan keseimbangan syaraf otak kecil.

Ada beberapa jenis vertigo berdasarkan penyebabnya. Vertigo epileptica yaitu pusing yang mengiringi atau terjadi sesudah serangan ayan, vertigo laryngea yaitu pusing karena serangan batuk, vertigo nocturna yaitu rasa seolah-olah akan terjatuh pada permulaan tidur, vertigo ocularis yaitu pusing karena penyakit mata khususnya karena kelumpuhan atau ketidakseimbangan kegiatan otot-otot bola mata, vertigo rotatoria yaitu pusing seolah-olah semua di sekitar badan berputar-putar. adalah perasaan seolah-olah penderita bergerak atau berputar, atau seolah-olah benda di sekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai dengan mual dan kehilangan keseimbangan. Vertigo bisa berlangsung hanya beberapa saat atau bisa berlanjut sampai beberapa jam bahkan hari. Penderita kadang merasa lebih baik jika berbaring diam, tetapi vertigo bisa terus berlanjut meskipun penderita tidak bergerak sama sekali (disarikan dari berbagai sumber).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun