Kisah Sukses Teman LGBT
Sabtu, 23 Juli 2022. Sejumlah aktivis dan penulis menyatu bersama dinginnya kota Tomohon, dalam sekolah menulis 'Media dan Keragaman' yang dilaksanakan di sekretariat Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat), Jalan Kalutay, Kakaskasen, Tomohon Utara. Agenda yang dihelat Pukkat dan Komunitas Penulis Mapatik ini mengumpulkan jurnalis-jurnalis muda dari berbagai media, aktivis dari beragam organisasi, komunitas, agama dan kepercayaan, beragam gender.
Para peserta sangat antusias menjemput pengetahuan dan mengasah kemampuan dari tokoh-tokoh intelektual senior Sulawesi Utara. Ruth Wangkai, Denni Pinontoan, Rikson Karundeng, Riane Elean, Greenhill Weol, Nedine Sulu, hadir meluangkan waktu demi mencerahkan pemikiran para jurnalis dan aktivis, agar tidak terjebak dengan cara menulis yang kaku, bias, apalagi diskriminatif.
Malam minggu kian larut. Kopi panas ditambah pisang goreng di atas piring, cukup meredam dinginnya Tomohon. Di tengah suasana hangat dalam obrolan seru para peserta sekolah menulis, Marcelo dan Oping berbagi kisah mereka sebagai seorang LGBT.Â
Bagaimana mereka hidup dan meraih impian yang dicita-citakan. Kelompok yang dianggap berbeda di khalayak umum ini secara terbuka dan tidak ragu-ragu menyampaikan apa yang mereka rasakan sebagai seorang LGBT dalam memperoleh kesuksesan.
Kisah Transman dalam Menempuh Pendidikan
Oping, sebagai transman dengan orientasi seksual menyukai perempuan atau lebih dikenal sebutan lesbian. Itu ia sadari sejak Sekolah Dasar (SD), kelas lima menuju kelas enam. Di usianya yang ke-8 tahun, ia mulai menyukai pakaian-pakaian yang sering dipakai laki-laki pada umumnya.
"Kita sadari, seingat kita mulai SD, sekitar kita kelas lima atau enam. Sekitar umur delapan tahun, kita sudah tau memilih cara berpakaian. Kita lebih suka memakai pakaian cowok," ujar Oping sembari menikmati sebatang rokok.
Dalam lingkungan keluraganya, Oping belum mengungkapkan bahwa ia adalah seorang homoseksual atau menyukai sesama jenis. Walaupun keluarganya sudah tahu kalau ia memiliki perbedaan itu, tanpa Oping ceritakan kepada mereka. Keluarganya yang pura-pura tidak tahu atau hanya memilih diam ketimbang menegur atau bertanya ke Oping kalau ia adalah lesbian.Â
Makanya sampai sekarang dirinya memilih belum coming out pada keluarga, tapi lebih ke coming in, bagaimana ia bisa menerima dirinya saja dulu.
"Untuk sekarang, keluarga mereka so tau kita seperti ini. Menyukai sesame jenis. Tapi mereka diam saja, mungkin karena mereka takut berbicara atau apa. Jadi untuk coming out ke keluarga itu kita masih belum, tapi untuk coming in ke diri sendiri, menerima diri sendiri itu kita sudah," tandas Oping.
Di sisi pertemanan, ketika teman-temannya tau ia termasuk kelompok LGBT, ada beberapa yang masih ragu-ragu untuk berteman dengannya. Tapi ada beberapabahkan lebih banyak yang mau menerima berteman dengannya.
Oping ingin sekali coming out kepada keluarga, teman dan lainnya. Ingin coming out agar dirinya lebih leluasa dalam bersosial dan tidak sembunyi-sembunyi dengan identitas dirinya. Tapi ketika ia mempertimbangkannya lagi, hal itu tidak terlalu penting dan yang penting baginya sekarang bisa menerima dirinya dengan rasa nyaman.
"Memang ada suka coming out, ke keluarga, teman dan lainnya. Cuma kita rasa itu tidak terlalu penting, asal bagaimana kita so coming in kan diri," ungkap Oping.
Saat sekolah dirinya harus melawan apa yang ia sukai. Seharusnya ia ingin memakai pakaian lelaki, itu kemudian dibatasi dengan aturan sekolah, di mana perempuan harus memakai rok dan laki-laki harus memakai celana. Dengan penuh rasa keterpaksaan, ia mengikuti aturan sekolah. Ia harus menyesuaikan dengan aturan tersebut dan memakai rok ketika sekolah.
Walaupun Oping telah menyadari dirinya mempunyai ketertarikan pada lawan jenis sudah dari SD, tapi dirinya baru memberanikan diri menjalani hubungan pertama kali dengan seorang perempuan sejak duduk di bangku kelas tiga SMA. Di waktu itu, hubungannya diketahui oleh orang tua dari pasangannya.Â
Merek kemudian dilaporkan pada pihak sekolah dan Oping dipanggil ke ruangan Bimbingan Konseling (BK). Nasehat guru BK ini yang kemudian menyudutkan Oping sebagai transman, padahal guru BK ini adalah wali kelasnya.
"Nasihat BK pun menyalahkan kita, padahal kita pe wali kelas sendiri. Guru BK bilang begini, 'kyapa so musti bagitu, kyapa ngoni dua sampe bagitu dang'. Kita di situ cuma ba diam. Dia kase nasehat, tapi menyudutkan sekali pa kita," kenang Oping.
Semenjak kejadian itu, ia dan pasangannya mendapat larangan dari guru, orang tua pasangannya, dan kaka kandungnya. Mereka diminta untuk tidak lagi bertemu, saling kontak, apalagi menjalani hubungan percintaan.
Karena banyak larangan, sampai pada suatu ketika pasangannya mengajak keluar dari rumah mereka dan pergi ke kos teman pasangannya. Itu terjadi saat Oping belum lama tamat SMA. Tanpa berpikir panjang lebar, ia pun mengikuti ajakan pasangannya.
Pada akhirnya mereka ketahuan oleh orang tua pasangannya. Oping mendapat tuduhan membawa lari anak orang. Dilaporkan ke pihak polisi, polisi menemukan mereka di kos-kosan area Kembang, Manado. Kemudian mereka mendapat penanganan. Karena masih tergolong anak di bawah umur jadi tidak ada sanksi baginya.
Semenjak kejadian itu Oping merasa tertekan dan frustasi. Psikisnya terganggu sampai membuat dirinya stres, tidak tau mau berbuat apa saat itu. Terjadi penolakan dari semua pihak. Mulai keluarga selain ibunya, teman-temannya, ditambah lagi sahabat-sahabatnya mulai menjauhi dirinya ketika mengetahui kejadian itu.Â
Ibu Oping yang kemudian mampu membuat ia sedikit tenang, Ibu satu-satunya orang yang mengurangi beban pikiran dan yang selalu memberi penguatan kepadanya. Sang iba membujuknya dengan kelembutan, dengan segala upaya agar Oping balik ke rumah.
"Kita pe orang tua nda tambah bekeng beban. Sebaliknya kasih penguatan. Mama ba pangge 'Mari jo pulang, ada beking makanan ngana pe makanan kesukaan'. Mama telpon, 'Mari jo pulang, mama mo datang ambe jo.' Mama buju  baik-baik. Dari keluarga inti, dapa penolakan skali, cuman dari mama yang ba buju," ucap Oping yang makin serius menceritakan kisahnya.
Pasca tamat SMA, dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, dirinya kemudian dianggap beda sama teman-temannya. Itu berdampak pada ikatan pertemanan mereka. Teman-temannya sudah tidak lagi menegur, apalagi berteman dengannya. Saat reuni sekolah, Oping tak pernah diajak.Â
Padahal ia dan teman-temannya masih berteman di media sosial seperti Instagram dan Facebook. Tapi tiap kali teman-temannya berkumpul atau ada pertemuan alumni, tak ada satu pesan ajakan yang masuk dalam Facebook dan Instagramnya.
"Mulai dari situ, dan kalo mo bilang sampe skarang. Kita pe sahabat dari sekolah sampe skarang, dorang so nd pernah tegur pa kita. Jadi dorang adakan pertemuan reuni, yang ada cuman dorang. Kita dorang so nda pangge walaupun ada baku simpan nomor, ada berteman di Facebook, Instagram."
Oping lulus 2010. Ayahnya meninggal dunia pada tahun 2011. Dua tahun menganggur setelah tamat SMA, tahun 2012 ia lanjut ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Mendaftar kuliah di Fakultas Pertanian yang ada di salah satu universitas di Sulawesi Utara. Perjuangan ibunya yang membuat Oping memberanikan diri untuk kuliah.
Awal masuk kuliah rasanya menyenangkan. Mendapat teman baru, bertemu dengan orang dari berbagai latar belakang agama, suku, dan lainnya. Tapi Oping merasakan hal yang beda ketika dalam masa orientasi kampus atau ospek. Ia mendapat diskriminasi gender pertama kali dalam kampus. Mendapat penekanan pertanyaan yang memojokan dari salah satu dosen. Ia ditanya soal pilihan kelamin, laki-laki atau perempuan.
Waktu ospek, bagi jenis kelamin perempuan itu harus mengikat rambut, laki-laki kepalanya harus botak. Oping saat itu terlihat berbeda dengan yang lain. Saat itu rambutnya masih pendek dan susah untuk diikat seperti yang diharapkan dalam ospek, perempuan harus mengikat rambutnya dengan dua ikatan. Melihat Oping yang tidak mengikat rambut dan kepalanya tidak digunting botak, salah satu dosen kemudian menariknya ke belakang kerumunan mahasiswa baru.
Dosen itu menanyakan kenapa rambutnya tidak dipangkas botak. Berarti dosen ini menyangka Oping adalah seorang laki-laki. Tapi dosen itu menanyakan lagi apakah jenis kelaminnya perempuan atau laki-laki, dengan nada yang tinggi. Saat itu ia terdiam sejenak, tak bisa besuara karena tertekan dengan pertanyaan dosen itu. Tak lama kemudian, Oping dengan keterpaksaan dan grogi menjawab dirinya adalah perempuan. Tapi ia masih saja dibentak, karena tak mengikat rambutnya.
"Sini dulu ngana! Kyapa ngana nda sebotak ngana pe rambu? Ngana ini laki-laki atau perempuan?" kata Oping menirukan ucapan si dosen.
"Kita perempuan, Pak."
"Oh, kyapa ngana nda ika ngana pe rambu dang?"
Akhirnya Oping mengikat rambutnya kecil-kecil dalam banyak ikatan. Saat itu ia merasa terpukul. Hal yang tak perlu ditanyakan tapi ditanyakan ke Oping yang jelas-jelas bisa terlihat dari fisiknya.
Dalam proses kuliah, pada semester satu dan dua, Oping mendapat piagam mahasiswa berprestasi dari fakultas. Nilai hasil studinya pada semester tersebut yang paling tinggi. Itu terjadi sampai dua semester berturut-turut. Akan tetapi dalam lingkungan keluarga kemudian ia lagi-lagi medapat cemooh dari kakak iparnya yang tinggal serumah dengannya. Oping merasakan ini bentuk  diskriminasi verbal yang akan memengaruhi mental dan semangatnya dalam berkuliah.
Sempat kejadian ketika kakak iparnya lagi adu mulut dengan kakak kandungnya, kebetulan Oping berada di area mereka dan tanpa sengaja mendengarkan kata-kata yang tak pantas keluar dari keluarganya.
"Kita pe ipar leh pernah bilang bagini pa kita pe kaka yang jadi depe istri, 'Da kemana itu doi-doi ja kase ini, kypa pe cepat abis bagitu'," ucap Oping, menceritakan kisah dalam ingatannya.
Kata-kata itu memang tak tertuju kepadanya, tapi Oping merasa itu menyindir dirinya yang merasa sebagai salah satu orang yang membuat uang mereka terkuras. Karena selain Ibunya yang membiayai kuliahnya, kaka kandungnya yang tinggal bersama di rumah itu juga sedikit-sedikit membantu keperluan kuliah Oping.
"Ta pe ipar bilang, 'Mo jadi apa so kwa dia itu, kalo dia nanti mo jadi sarjana dia mo bantu so kwa pa torang. Dia mo  lia so kwa pa torang?' Itu lagi kata-kata yang kita nda mo lupa," kenang Oping dengan wajah sedih.
Keluarga yang harusnya mendukung dirinya untuk tetap berkuliah malah membuat dirinya mendapat tekanan mental di rumahnya sendiri. Saat itu Oping merasa kecewa dan terpukul. Tak terpikir, Â sebegitunya kaka ipar yang masih tergolong keluarga terdekatnya berkata-kata yang tak patut terucap.
"Jadi saat itu kita merasa terpukul. Segitunya keluarga inti yang seharusnya mendukung salah satu dorang pe keluarga yang sementara kuliah," keluh Oping.
Seiring berjalannya proses kuliah, semester demi semester yang dilalui Oping, nilai akhir semesternya mengalami penurunan. Sampai pada tahap selesai seminar proposal dan mau melakukan penelitian skripsi, kuliahnya mengalami kemandekan. Ada banyak hal kemudian yang memengaruhi kuliahnya terbengkalai, salah satunya adalah masalah finansial.
Kaka kandungnya yang tinggal di Merauke termasuk salah satu orang yang paling banyak membantu membiayainya kuliah, saat itu belum bisa membantu Oping untuk menyiapkan keperluan penelitian. Karena saat itu bertepatan dengan istri kakanya lanjut studi dan anak kakanya mau masuk sekolah, jadi belum bisa mengirim biaya tambahan untuk Oping.
Tak ada jalan keluar untuk melanjutkan kuliah. Oping sempat buntu memikirkan bagaimana ia bisa penelitian untuk kelanjutan penyelesaian tugas akhir.Â
Tiba di mana Oping di fase putus asa dan menyampaikan kepada ibunya kalau ia tak akan melanjutkan kuliahnya. Bagi Oping, jika ia lanjut kuliah pun akan memakan biaya banyak. Apalagi ini mau penelitian dan penelitian butuh anggaran lebih juga. Kemudian Oping menyampaikan ke ibunya, ia akan mencari kerja.
"Kita bilang pa mama, Ma sudah jo kita mo setrus kuliah. Kita mo lanjut kuliah pun akan kaluar biaya banyak, jadi sampe sini jo kita kuliah. Depe selanjutnya kita mo cari kerja," tutur Oping.
Sayang, ibunya bersikeras akan tetap berusaha membiayai kuliahnya. "Biar mama yang mo banting tulang, asal ngana tetap lanjut kuliah. Begitu kita pe mama pe jawaban sampe dia manangis" tambah Oping.
Ibunya berusaha membujuknya, tapi Oping tetap memilih berhenti kuliah dan mencari kerja. Tahun 2018, dirinya menjadi pengawas TPS. Kemudian di tahun 2019-2020 jadi Panitia Pemungutan Suara saat pemilu.
Jelang dua tahun mengalami kemandekan kuliah, Oping akhirnya dapat motivasi lagi untuk melanjutkan kuliah. Kakanya yang di Merauke menelpon Oping, memberi nasehat-nasehat dan memotivasi Oping agar melanjutkan kuliah lagi. Di antara tiga kakak beradik, hanya Opinglah yang berkesempatan untuk kuliah, maka itu menjadi alasan bagi kakaknya membangkitkan lagi semangat kuliahnya yang sempat terhambat.
"Kita pe kaka ba telfon kong dia bilang, 'Di antara torang pe kaka ade, sapa yang ada kuliah? Sapa  yang ada sekolah tinggi? Cuman ngana yang ada skolah sampe kuliah'. Bagitu dia bilang pa kita," ujar Oping.
Karena dorongan dari kakaknya dan harapan dari ibunya, Oping termotivasi lagi dan berusaha lagi untuk menyelesaikan kuliahnya walaupun akan ada banyak tantangan nantinya.
Pada akhirnya di tahun 2020, Oping mampu menyelesaikan studi strata satunya dan ditahun itu ia diwisuda dengan gelar Sarjana Teknologi Pertanian (STP). Pihak keluarga pun merasa bangga dengan capaiannya, terutama ibunya yang paling mengerti dengan keadaan dan perjuangan yang dilewati Oping. Sampai Ibunya tidak menyangka kalau dia bisa melewati semua tantangan yang menghampiri dan boleh berhasil seperti ini.
"Mama, dia sangat bangga. Sampe dia bilang, 'Mama nda kira ternyata ngana kote boleh berhasil'."
Setelah lulus kuliah, Oping memilih cepat bekerja. Ia bekerja di salah satu perusahaan di Manado. Saat itu ada beberapa orang di sekelilingnya yang awalnya tidak menerima Oping, kemudian perlahan mulai bersikap baik kepadanya.
Gay Sang Pemimpin
Di sekolah menulis Pukkat dan Mapatik, Marcelo dapat giliran bicara. Marcelo Sparkling, begitu panggilan paling nyaman menurutnya. Ia sekarang berusia 33 tahun dengan orientasi seksual homoseksual atau tertarik kepada laki-laki.
"Saya laki-laki, ketertarikan saya kepada laki-laki, gay," ucapnya.
Saat di bangku SD dan SMP, Marcelo mengaku belum menyadari kalau dirinya mengalami ketertarikan pada laki-laki. Masih dalam keragu-raguan karena konteks ketika masih kanak-kanak, pengetahuan masih diadopsi dari orang tua dan guru, yang kemudian memandang orientasi seksual yang katanya normal itu hetero (menyukai lawan jenis).Â
Ia menyadari sepenuhnya bahwa ia memiliki ketertarikan pada laki-laki di saat mengenyam pendidikan SMA. Kurangnya informasi soal SOGIESC (konsep pemahaman mengenai ketubuhan, orientasi seksual, dan gender) di bangku sekolah membuat ia merasa takut dengan keadaan, bertanya-tanya apa yang akan ia lakukan ketika menyadari hal tersebut.
"Sebenarnya kalo menyadari secara penuh itu ketika SMA. Tapi kalo dari SD sampe SMP itu, ada ketertarikan tapi karna pengetahuan belum terlalu cukup jadi saya belum tau kalau itu dang. Deng belum terpapar informasi, tantu masih bertanya-tanya dan merasa takut," tandasnya.
Seiring berjalannya waktu, Marcelo menyadari bahwa dirinya adalah seorang gay. Ia tidak buru-buru untuk menyampaikan ke orang-orang kalau dirinya seorang gay. Menurutnya, memberi tahu kepada orang lain itu tidak perlu dan tidak menjadi suatu keharusan untuk diberi tahu. Terpenting bagaimana ia nyaman dulu dengan apa yang ia alami, ia menerima dirinya dulu diri sebelum orang lain tahu kalau dirinya berbeda dengan kebanyakan orang.
"Saya mengcoming in kan diri saya, saya menerima diri saya dulu. Ngomong ke orang lain, speak up pada orang lain itu nda perlu dan tidak harus. Terpenting terima diri saya dulu."
Sampai sekarang Marcelo tidak pernah coming out (tindakan seseorang yang mengungkapkan orientasi seksual mereka pada orang lain), menyatakan diri pada banyak orang baginya tidak penting. Tapi ia sudah menyampaikannya kepada orang-orang khusus yang menurutnya pantas untuk tahu.Â
Orang-orang terdekat yang memang perlu tahu tentang dirinya seperti keluarga dan keluarga terdekatnya, Marcelo telah mengungkapkan bahwa dirinya berbeda. Walaupun pada awal-awal ia memberitahukan pada keluarganya sempat tertolak atau keluarganya belum menerima kalau ia berbeda, namun dengan usaha-usaha yang dilakukan untuk menjelaskan, sesuai proses akhirnya diterima secara baik di lingkungan keluarga.
"Kalau menyatakan diri coming out sih saya tidak menyatakan diri coming out, tapi untuk keluarga dan teman dekat sudah, dan untuk banyak orang saya rasa tidak penting. Keluarga pertama tidak terima tapi ketika dijelaskan, diterima sesuai proses."
Marcelo sampai di posisi menerima apa yang diputuskan teman-temannya. Kalaupun tidak ada yang mau berteman dengan dirinya juga tidak jadi masalah. Dengan menyatakan diri pada teman-temannya, Marcelo yang sudah berusaha menjelaskan secara baik-baik, secara komprehensif, tahap per tahap untuk memberi pemahaman pada temannya, pesoalan diterima atau tidak itu urusan temannya.Â
Pastinya Marcelo akan tetap berteman baik dengan mereka. Meskipun ada yang tidak mau berteman dengannya, tidak menjadi persoalan.
"Itu urusan mereka, kalau mo jelaskan secara komprehensif dan secara baik-baik, persoalan mereka trima itu urusan mereka. Yang pasti tetap berteman dengan baik, walaupun mereka tidak berteman dengan saya tidak apa-apa."
Ada yang hebat dalam diri seorang Marcelo, ini yang membuktikan dirinya sama dengan yang lain. Ia sangat aktif dalam berorganisasi, dari organisasi kepemudaan, organisasi gereja dan organisasi lainnya.Â
Sempat menjadi Bendahara Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Minahasa Utara, Ketua Pemuda dan Remaja di gerejanya, Ketua Komunitas Sanubari Sulut, Komisi Pemuda Sinode Am yang meliputi tiga provinsi yakni, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah.
Keaktifan Marcelo dalam berorganisasi kemudian membawa dirinya terbentuk dengan proses hingga bisa menyelesaikan studi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra pada tahun 2010. Kemudian tahun 2017 ia menyelesaikan progam magisternya di jurusan Kepemimpinan Kristen, dan menyelesaikan studi S2 yang kedua kalinya di jurusan Pastoral Konseling tahun 2019.
Pencapaian yang Marcelo lakukan sangat luar biasa. Ia berhasil diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari 12 tahun yang lalu.
"Jadi saat ini memang kalau mo bilang sukses masih jauh. Karena saya menjadi seorang pegawai negeri sipil dari dua belas tahun yang lalu. Hanya satu kali tes langsung masuk."
Dalam bersosial di masyarakat ia dikenal dengan pengetahuan dan pendidikanya, sehingga ia dipercayakan masyarakat untuk memimpin sebuah desa yang ada di Minahasa Utara.Â
Sekarang Marcelo adalah PNS yang diangkat menjabat menjabat sebagai Hukum Tua (Kepala Desa). Â Sebelumnya ia juga pernah jadi Plt Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dinas P3A Minahasa Utara pada tahun 2018 dan Sekretaris Kelurahan di tahun 2019.
Upaya Marcelo dalam mencapai keberhasilan tak terlalu banyak tantangan. Menurutnya tantangan yang sesunggunya berada dalam diri seseorang. Bagaimana ia bisa menerima dirinya dulu agar bisa menjadi diri sendiri, itu yang utama. Karena mengambil jabatan yang dipercayakan itu tentu akan berkoordinasi dengan hati sendiri agar tidak sakit hati dengan tekanan-tekanan dari luar.Â
Berhubung ini berkaitan dengan karir dan pekerjaannya, ia harus kuat sebab memengaruhi masa depannya.
Marcelo berpesan kepada teman-teman LGBT yang ada di Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara, "Jadilah diri sendiri, jangan takut berkarya, coming out itu tidak terlalu penting yang penting itu coming in. Coming in itu bagaimana kalian menyadari itu seperti apa adanya. Kalian diciptakan unik, berbeda, bukan kelainan, tapi unik dan berbeda. Dan kalian memiliki kekhasan masing-masing, keunikan masing-masing, dan batas kemampuan masing-masing. Jangan malu atau  jangan takut karena kita berbeda tapi malulah karena selalu terlihat sama."
Marcelo juga berharap masyarakat umum memahami bahwa LGBT juga manusia. "Karena kami juga bagian dari anda, mungkin anak anda, keponakan anda, saudara anda, tetangga anda.Â
Kami juga manusia, makan makanan yang sama, kami menghirup udara yang sama, kami tinggal di lingkungan yang sama, kami memiliki rasa sayang yang sama, kami butuh dicintai, dikasihi dan dilindungi sama seperti anda. Kami juga bisa berkarya, bekerja dengan profesional seperti anda. So, kenapa harus dibeda-bedakan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H