Ibu Oping yang kemudian mampu membuat ia sedikit tenang, Ibu satu-satunya orang yang mengurangi beban pikiran dan yang selalu memberi penguatan kepadanya. Sang iba membujuknya dengan kelembutan, dengan segala upaya agar Oping balik ke rumah.
"Kita pe orang tua nda tambah bekeng beban. Sebaliknya kasih penguatan. Mama ba pangge 'Mari jo pulang, ada beking makanan ngana pe makanan kesukaan'. Mama telpon, 'Mari jo pulang, mama mo datang ambe jo.' Mama buju  baik-baik. Dari keluarga inti, dapa penolakan skali, cuman dari mama yang ba buju," ucap Oping yang makin serius menceritakan kisahnya.
Pasca tamat SMA, dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, dirinya kemudian dianggap beda sama teman-temannya. Itu berdampak pada ikatan pertemanan mereka. Teman-temannya sudah tidak lagi menegur, apalagi berteman dengannya. Saat reuni sekolah, Oping tak pernah diajak.Â
Padahal ia dan teman-temannya masih berteman di media sosial seperti Instagram dan Facebook. Tapi tiap kali teman-temannya berkumpul atau ada pertemuan alumni, tak ada satu pesan ajakan yang masuk dalam Facebook dan Instagramnya.
"Mulai dari situ, dan kalo mo bilang sampe skarang. Kita pe sahabat dari sekolah sampe skarang, dorang so nd pernah tegur pa kita. Jadi dorang adakan pertemuan reuni, yang ada cuman dorang. Kita dorang so nda pangge walaupun ada baku simpan nomor, ada berteman di Facebook, Instagram."
Oping lulus 2010. Ayahnya meninggal dunia pada tahun 2011. Dua tahun menganggur setelah tamat SMA, tahun 2012 ia lanjut ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Mendaftar kuliah di Fakultas Pertanian yang ada di salah satu universitas di Sulawesi Utara. Perjuangan ibunya yang membuat Oping memberanikan diri untuk kuliah.
Awal masuk kuliah rasanya menyenangkan. Mendapat teman baru, bertemu dengan orang dari berbagai latar belakang agama, suku, dan lainnya. Tapi Oping merasakan hal yang beda ketika dalam masa orientasi kampus atau ospek. Ia mendapat diskriminasi gender pertama kali dalam kampus. Mendapat penekanan pertanyaan yang memojokan dari salah satu dosen. Ia ditanya soal pilihan kelamin, laki-laki atau perempuan.
Waktu ospek, bagi jenis kelamin perempuan itu harus mengikat rambut, laki-laki kepalanya harus botak. Oping saat itu terlihat berbeda dengan yang lain. Saat itu rambutnya masih pendek dan susah untuk diikat seperti yang diharapkan dalam ospek, perempuan harus mengikat rambutnya dengan dua ikatan. Melihat Oping yang tidak mengikat rambut dan kepalanya tidak digunting botak, salah satu dosen kemudian menariknya ke belakang kerumunan mahasiswa baru.
Dosen itu menanyakan kenapa rambutnya tidak dipangkas botak. Berarti dosen ini menyangka Oping adalah seorang laki-laki. Tapi dosen itu menanyakan lagi apakah jenis kelaminnya perempuan atau laki-laki, dengan nada yang tinggi. Saat itu ia terdiam sejenak, tak bisa besuara karena tertekan dengan pertanyaan dosen itu. Tak lama kemudian, Oping dengan keterpaksaan dan grogi menjawab dirinya adalah perempuan. Tapi ia masih saja dibentak, karena tak mengikat rambutnya.
"Sini dulu ngana! Kyapa ngana nda sebotak ngana pe rambu? Ngana ini laki-laki atau perempuan?" kata Oping menirukan ucapan si dosen.
"Kita perempuan, Pak."