Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Alan Budiman Kompasianer, Bukan Blogger

4 November 2015   22:28 Diperbarui: 4 November 2015   23:10 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kemarin saat ada kesempatan untuk bertemu dengan Bu Risma, saya coba ajukan satu pertanyaan yang sangat ingin saya ketahui, ini tentang APBD Surabaya yang cukup besar: 7.6 triliun.

"Setau saya, APBD Surabaya itu sekitar 7 triliun. Dengan dana sebesar itu, Ibu bisa melakukan apa saja untuk kota ini. Saya kagum dan salut melihat taman kota yang bersih dan asri, tapi mungkin itu hanya membutuhkan ratusan milyar. Pertanyaan saya, program atau proyek apa yang ingin Ibu lakukan tapi tidak bisa dilaksanakan karena banyak halangan misal politik dan birokrasi."

Setelah itu Bu Risma menjawab cukup detail alokasi APBD Surabaya, baik itu pendidikan, kesehatan dan sosial. Taman itu hanya yang bisa dilihat oleh masyarakat luas, namun di luar itu ada banyak lembaga sosial dan aktifitasnya yang disupport oleh Pemkot. Contoh saja seniman yang sengaja dibayar untuk tampil di taman kota, begitu juga dengan pengamen cilik yang dilarang mengamen di bus Surabaya tapi diminta tampil di taman kota tanpa meminta langsung pada pengunjung.

Setelah itu Bu Risma menjelaskan bahwa hal-hal yang ingin dilakukan seringkali terkendala birokrasi dan wewenang. Karena bagaimanapun beliau hanya Walikota yang kewenangannya terbatas, banyak area yang sebenarnya masih di Surabaya juga namun tidak bisa dieksekusi proyek karena masih jalan nasional.

Mendengar jawaban seperti itu langsung saya kejar untuk menyebut lebih detail.

"Saya tidak mau saling serang Mas, nanti kalau saya bicara bisa menggelinding semakin besar. Saya ga mau seperti itu. Nanti saya diserang, yang ruginya rakyat Mas, kasian ntar banyak yang ga bisa kita lakukan." Jawab Bu Risma

Sebelum saya kembali menanggapi, ada seorang peserta yang berdiri dan memotong. "Mohon maaf kita ini tujuannya silaturrahim, bukan ngomongin politik. Jangan sampai nama baik blogger tercemar gara-gara acara ini."

Bu Risma yang sejak datang nampaknya lelah dan habis marah-marah hanya menatap kosong. "Mas, saya ngomongin politik ya?" 

Saya jawab "nggak." Sementara Mas Nuzulul juga menjawab "nggak Bu." Namun Bu Risma mengulanginya lagi hingga seorang yang tadi memotong pembicaraan itu mau menjawab "nggak. Tapi ada yang memancing-mancing"

"Lho dia ini bukan memancing Mas, dia bertanya karena ingin tau. Makanya dari pertanyaan awal saya coba jelaskan tanpa nada politis." Jawab Bu Risma. Kemudian malanjutkan bahasan soal alokasi APBD.

Saat saya mendengar jawaban dari Bu Risma, seseorang tadi mendatangi saya dan membisiki dari belakang "jangan diterusin Mas."

Mendengar jawaban Bu Risma sebenarnya tidak ada masalah atau halangan politik, saya langsung saja masuk ke bahasan yang lebih sensisif, yakni donatur Pilkada. "Dalam Pilkada itu biasanya ada donatur kampanye, nah apakah ada keputusan yang mengganggu selama ini?"

Bu Risma nampak agak kurang nyaman dengan pertanyaan tersebut, namun tetap menjawab bahwa selama ini tidak ada seperti itu. Termasuk pertanyaan apakah ada mahar politik, fee dan sebagainya. Semua dijawab bahwa selama ini partai politik yang mengusungnya sama sekali tidak menagih mahar atau yang lain-lain.

Di tengah-tengah penjelasannya, Bu Risma tiba-tiba berhenti "Mas ga suka sama saya?" Tanyanya ke arah seseorang yang tadi sempat memotong pembicaraan. Dia terus meremas botol air mineral dan ngedumel dengan temannya di sebelah, di luar tempat duduk formasi melingkar.

"Saya hanya mengingatkan dan mewanti-wanti agar pertemuan ini tidak bermuatan politis sehingga merusak nama baik blogger. Kita mau silaturrahim"

Saya yang melihat Bu Risma nampak semakin tidak nyaman dan merasa takut dimanfaatkan sehigga membuat konflik politik, sayapun mengangkat tangan. Setelah melihat sinyal 'dipersilahkan' saya langsung jelaskan.

"Saya di sini datang bukan sebagai anggota parpol manapun dan bukan simpatisan siapapun. Saya bertanya karena ingin tau apa yang perlu diperbaiki di negara ini. Saya tidak meminta Bu Risma frontal dan menyerang pihak lain. Mohon maaf kalau teman-teman yang hadir di sini tidak sepakat dengan saya, tapi jujur saya sangat ingin tau apa yang sebenarnya sangat perlu diperbaiki dari sistem negara ini sehingga pemerintah nampak berjalan lambat? Dan menurut saya masyarakat perlu tau soal ini. Kalaupun nanti Bu Risma menyebutkan detail, saya tetap akan menjaga nama Bu Risma agar tidak terjadi konflik politik yang merugikan Ibu. Pasti saya tulis dengan cara berputar."

Barulah setelah itu Bu Risma jadi sedikit lebih cair dan tidak terlalu tegang. "Banyak hal Mas, tapi orang kayak sampean ini kalau mau memperbaiki ya harus masuk sistem, jadi anggota DPR." Jawabnya yang membuat riuh teman-teman dengan tepuk tangan.

Dalam keadaan seperti itu, saya memanfaatkan momentum. "Ya mungkin itu jangka panjang ya Bu," teman-teman tertawa "tapi yang bisa saya lakukan saat ini adalah memberi informasi yang jelas tentang kondisi negara ini."

Pernyataan saya memang hanya formalitas sebab Bu Risma sudah menjawab bahwa ada batasan kewenangan dan fungsi, harus ikut sistem dan aturan perizinan yang ada di tingkat provinsi dan nasional.

Dalam kondisi yang lumayan cair, Bu Risma akhirnya bercerita bahwa dirinya tidak memikirkan politik dan kekuasaan. "Saya turun ya turun Mas, makanya ini bingung mau ngapain ga ada uang. Ya udah jualan kaos lah. Ada yang satu kaos harganya 1 juta, itu ada tanda tangan saya. Ada yang 250 ribu, dapat gelang. Ada juga yang 60 ribu cuma gulungan gini" ucapnya sambil memegang kaos warna merah bertuliskan SURA BAYA format menurun.

"Itu yang 60 ribu ada tanda tangannya juga Bu?"

"Yo ndak, yang ada tanda tangannya 1 juta" hehe.

Sejauh ini sudah ada 200 pcs kaos bertanda tangan yang nantinya akan dijual secara terbuka dan ada website resminya. "Ya tapi sekarang sudah mulai saya jualin, sama orang Jakarta juga saya jual hehe."

Hal ini (mungkin) sedikit menjawab untuk dana kampanye yang dipersiapkan nanti saat bertanding di Pilwali.

Saya menjadi penanya terakhir yang kemudian terlibat komunikasi dua arah untuk menjelaskan yang kurang jelas. Setelah itu kami yang hadir berfoto bersama dengan beliau. Saat itulah Bu Risma melihat saya dan bertanya "orang itu siapa?" Karena seseorang tadi tidak ikut berfoto.

"Itu teman kami juga Bu, cuma kurang paham aja." Padahal terus terang saya tidak tau orang yang tadi memotong pembicaraan dan bertindak tidak etis seperti itu. Tapi untuk menenangkan Bu Risma, maka saya jawab saja begitu.

Tepat setelah Bu Risma keluar, teman-teman blogger lanjut makan siang. Sementara saya menghampiri seseorang yang tadi sempat memotong dan membisiki saya. Berikut ini hasil pembicaraan saya dengan orang tersebut.

Saya : saya minta maaf kalau tadi kurang pas, tapi salahnya di mana ya?

Dia : ya sudah, sudah selesai, mau gimana lagi? 

Saya: lho iya ini penting untuk saya jelaskan, saya bertanya karena ingin tau. Ga ada kepentingan apa-apa.

Dia: anda blogger di mana?

Saya: saya nulis di Kompasiana

Dia: mungkin Kompasiana beda ya sama titik-titik dot com

Saya: Oo saya sih nulis ya nulis aja Pak, Kompasiana hanya platform. Oia anda Kompasianer bukan?

Dia: Tergantung, saya bisa Kompasianer bisa di titik-titik dot com

Saya: Oo...Bapak siapa ya, kemaren kita pernah ketemu sih di acara titik-titik

Dia: anda ga update berarti kalo ga tau saya hehe (temen di sebelahnya ketawa)

Saya: Oh iya sih saya emang jarang merhatiin, abis nulis ya tinggalin. Maksud saya tadi nama sampean siapa?

Dia: saya titik-titik

Ada satu kalimat yang cukup menohok dan membuat saya berpikir keras. "Banyak kita itu cuma lihat luarnya tapi tidak mengerti. Saya dari semalam sudah diwanti-wanti untuk ga perlu hadir di acara ini, eh ternyata benar kan?"

Dia juga bertanya ke saya "tau ga apa yang sedang rame sekarang?"

"Foto? SE?"

"Tau ga tujuan SE itu apa?"

"Ya artinya kita tidak boleh sembarangan menulis berita hoax, fitnah dan sebagainya"

Dia hanya geleng-geleng kepala meremehkan penjelasan saya. Teman di sebelahnya juga tersenyum absurd. "Wes makanya sampean datang nanti malam ada acara."

"Oh saya nggak bisa, harus langsung pulang setelah ini"

Hal lucu yang membuat saya gemes adalah karena dia ini mengeluhkan bahwa pertanyaan didominasi oleh Kompasianer, sementara teman-temannya tidak mendapat kesempatan. Kenapa lucu? Karena saat itu saya juga sama-sama peserta, saat moderator memberi kesempatan bertanya teman-teman dia ini tidak mengacungkan tangan, dan memang dari 4 orang penanya semuanya adalah Kompasianer. Nah kalau seperti ini apa salah saya? Lah saya berinteraksi membuat cair suasana karena memang teman-temannya hanya diam saja.

Sampai di sini saya bingung, kenapa mengeluhkan kesempatan bertanya? Sebab kesempatan dibuat terbuka dan saya diam saja sejak awal tidak mengacungkan tangan. Barulah terakhir saat semua diam saya mengajukan diri.

Saya juga tidak mengerti mengapa blogger tidak boleh membahas atau bertanya seperti itu? Apakah maksud silaturrahim adalah menanyakan apa kabar anaknya? Pagi tadi masak apa? Atau bagaimana? Entahlah!

Dia juga menganggap saya kurang mengerti, malah disuruh gabung ke blogdetik dan membaca komentar-komentarnya. Lha apa urusannya?

Tapi ini menarik. Saya jadi semakin yakin bahwa Alan Budiman bukan blogger dan tidak terikat dengan aturan seorang blogger (jika ada). Saya menulis dan bertanggung jawab sendiri dengan apa yang saya tulis. Bahwa saya Kompasianer itu memang otomatis iya sebab menjadi member Kompasiana.

Setiap tulisan yang saya posting biasanya adalah sesuatu yang menurut saya punya manfaat bagi orang lain. Belum pernah saya mereview hotel karena mengajukan diri, sempat diberi paket acara dengan syarat menulis review tapi waktu itu digantikan oleh orang lain sementara saya memilih menginap di rumah teman. Kalaupun pernah ikut lomba menulis di Kompasiana dan luar, sering kali isinya terlalu sederhana dan di luar jalur menjadi pemenang. Sebab tujuan saya menulis adalah seperti bercerita,membuat orang mengerti dengan mudah dan mendapat sesuatu dari yang saya tuliskan.

Inilah kenapa saya mau menulis gratis review tentang The Remix milik Netmediatama, yang kemudian mendapat respon dari ownernya, Pak Wishnutama. Saya juga menulis tentang Pak Jokowi tanpa mengharap imbalan materi. Kalaupun sempat diundang ke Istana, itu hanya konsekuensi, bukan tujuan, dan itupun atas inisiatif serta urusannya Pak Jokowi.

Jadi kalau ada orang yang khawatir acara jumpa politisi akan mencemarkan nama baik blogger, mungkin ada benarnya. Tapi saya bukan blogger. Selama menjadi Kompasianer saya menulis banyak hal mulai dari olahraga, TKI, wisata, politik, sosial budaya, cerpen, puisi dan sebagainya. Saya merasa tidak bersalah menulis politik. Saya tidak merasa bersalah dengan menghadiri undangan Presiden Jokowi. Saya juga tidak merasa bersalah bertemu dengan banyak pejabat serta politisi, untuk membicarakan apapun. Saya juga pernah ikut kampanye dan sebagainya.

Bahkan sekalipun pada acara jumpa Bu Risma itu adalah kampanye, saya tetap akan datang sebab memang mengagumi sosok beliau. Saya ingin berinteraksi dan melihat dari dekat. Kalau hal seperti itu dinilai mencemarkan nama baik blogger, mulai saat ini saya tidak mau disebut blogger. Toh dalam banyak acara saya datang atas nama sendiri , tidak pernah mengatasnamakan Kompasiana apalagi blogger. Apapun yang orang nilai tentang Alan Budiman, itu bukan urusan saya.

Karena masih kesal dengan tingkah kekanak-kanakan orang yang saya hampiri tadi, lebih kesal lagi karena dia sangat sombong mengatakan "kalau anda ga tau saya berarti kurang update," saya pun mencari akun Kompasiananya dan akun di blogdetik. Di Kompasiana dia hanya menulis 1 postingan dan di blogdetik sekitar 50 postingan. Mungkin dia memang tokoh blogger, entahlah, tapi dari tulisannya saya jadi tau siapa pribadi yang mengatakan "kalau anda ga tau saya berarti kurang update" lengkap dengan senyum ngenyeknya.

Alan Budiman punya viewer di atas sejuta, dia hanya di bawah seribu dan banyak berisi review produk.

Ibaratnya kalau cuma punya motor matic ga usah sombong sama yang punya Audi R8.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun