Ayah membaca isi wasiat Kakek dari masing-masing sobekan kain bendera Belanda itu. Warna merah ternyata mendapatkan warisan rumah yang berdiri di atas tanah luas, rumah Kakek yang kami datangi hari ini. Warna putih ternyata mendapatkan warisan sawah dari Kakek. Sawah yang luasnya dua kali lebih besar dibandingkan luas tanah rumah kakek. Sedangkan warna biru, warna pilihan adikku yang kemudian aku tukar karena adik lebih senang dengan warna putih, hanya sebuah warisan mantra, mungkin lebih tepatnya doa.
Kakak begitu senang dengan pilihannya, begitu juga adikku. Lalu aku sendiri, ya merasakan sedikit bahagia, meskipun sebenarnya aku kecewa karena hanya mendapatkan warisan doa saja. Doa yang harus selalu aku panjatkan setiap selesai sholat wajib dan sholat Sunnah dini hari ketika para malaikat turun ke bumi mengembangkan sayapnya untuk menampung doa para manusia yang suka mengungkapkan keluhannya, masalah, keinginan dan kebutuhannya di sepertiga malam tersisa.
Namun pada akhirnya, setelah beberapa tahun berselang, berkat doa yang aku panjatkan setiap malam pada Tuhan, aku bisa memiliki semua yang aku ingini. Memiliki lahan pertanian dan perkebunan yang luas, mempunyai mall, toko retail, dan deler sendiri. Bahkan hal yang membuatku bahagia adalah aku bisa membangun sekolah gratis untuk anak yatim piatu dan fakir miskin, dari TK hingga SMA, serta membangun fasilitas kesehatan (Rumah Sakit) untuk fakir miskin dan anak yatim piatu.
Jadi, semenjak itu aku menyadari dan sangat bersyukur, bahwa warisan terbaik itu bukan tentang harta benda, melainkan ilmu yang bisa mendatangkan banyak kebaikan dan kemanfaatan untuk sesama, termasuk mendatangka harta yang melimpah.
Lantas Kakak dan Adikku, bagaimana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H