Badai itu sudah menghantam.
Hendak merobohkan keteguhan kita.
Ya sejak awal kita bertemu, badai sudah besar.
Hantamannya membuat kita goyah dan hendak menyerah.
Tapi tidak bisa begitu.
Badai ini harus dibereskan dan kita harus tetap teguh.
Badai permulaan bisa dijinakkan dan aku bisa berijab kabul denganmu.
"Aku terima nikahnya fulanah binti fulan dengan seperangkat alat shalat dibayar tunai".
Sah.
Kita jalani hari hari bersama beriringan.
Sesuai irama dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Namun dalam samudera yang sedang kita arungi.
Badai kembali menghantam yang kini ia datang lebih keras.
Nahkoda oleng kapten.
Kapal yang sedang kita tumpangi bocor.
Harus cari sekoci jika tidak kita akan tenggelam.
Rumah tangga kita hampir berantakan gara gara badai itu.
Didalam sekoci lamat lamat kita merajut asa kembali.
Saling meneguhkan ditengah rapuhnya keimanan.
Perjalanan masih jauh dan mungkin badai masih akan menyapa dengan hantamannya.
Tidak apa sayang, walau dalam sekoci kita hadapi bersama.
Kita mendayung penuh juang.
Perlahan ketengah samudera dalam harap dan kecemasan.
Ditengah samudera didalam sekoci kembali berjumpa badai.
Kecemasan menggelayuti.
Bagaimana mungkin sekoci kecil mampu menahan badai sementara kapal besar oleng?.
Namun kita mengerti tidak ada jalan kembali.
Menyerah dengan melompat kedalam samudera atau menghadapi badai?.
Karena pilihannya hanya tenggelam atau selamat.
Namun kita memilih.
Jika nanti sama sama tenggelam ya sudah kita hadapi.
Seperti goliath dan david kita bertarung melawan badai.
Sekoci kecil melawan badai besar.
Kita terhantam, terjatuh, terlempar hingga berdarah darah.
Badai ini sungguh tangguh.
Hingga kini didalam sekoci kita masih bertarung.
Badai masih menghantam dengan segala kekuatannya.
Pun kita masih melawannya dengan segenap kemampuan.
Pertarungan ini masih berlangsung dengan sengit.
Wahai cintaku, kita jangan kalah.
Jangan menyerah pada badai.
Perjalanan kita masih panjang.
Tatap tujuan kita yang masih terlihat sejauh mata memandang itu.
Apakah kita akan menyerah?.
Jika tidak, ini tanganku genggamlah dengan kuat.
Yakinlah kita bisa mengalahkan badai itu.
Yakinlah setelah badai pasti ada pelangi.
Wahai cintaku engkau selalu menantang badai sehingga kita sudah sampai sekarang ini.
Puisi ini tentang perjuangan saya bersama istri saya.
Sindangkerta, 15-05-23
Alan Reis (AR)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI