Usai lari pagi aku melangkah ke warung kopi yang tidak jauh dari alun-alun kota. Warung kopi ini tempat favoritku untuk memanjakan lidah di pagi hari. Rasa dan aroma kopi di tempat ini cukup untuk membuat tubuh lepas dari ketegangan.
Aku mengambil tempat duduk yang menghadap langsung ke taman kota. Aku berharap bisa melihat hilir mudik orang-orang di sekitar alun-alun.
"Ini pesanannya, Bang!" Seorang pelayan menyapaku sambil tersenyum. Dia meletakkan secangkir kopi hangat dan beberapa potong roti bakar dalam piring di atas meja.
"Terimakasih...!" balasku sambil membalas senyum pelayan itu.
Aku memasukkan sepotong roti bakar ke mulutku. Rasa lapar yang menyerang perutku sejak tadi, perlahan mulai sirna.
Tiba-tiba seorang wanita menghampiri dan mengulurkan tangannya kepadaku. Aku tidak kenal dengan wanita di hadapanku itu. Â Aku pun merasa baru sekali bertemu dengan wanita itu.
Aku balas jabat tangan wanita itu sambil tersenyum. Aku pikir dia ingin berkenalan denganku. Tentu tidak ada salahnya menerima perkenalan dari seseorang. Apalagi dia seorang wanita. Siapa tahu di kemudian hari bisa menjadi teman hidup. Selama ini aku pun masih melajang, karena belum menemukan wanita pendamping.
Tanpa aku persilahkan duduk, perempuan itu sudah duduk di sampingku. Kemudian tanpa malu-malu, tangannya langsung mencomot roti bakar di atas meja.
"Apakah Abang mau kawin dengan aku?" Wanita itu tiba-tiba bertanya dengan senyum yang menurutku kelihatan aneh.
"Apaaaa...? Kawiiiin...?" Mata dan mulutku membulat. Aku tidak menyangka perempuan itu akan bertutur seperti itu.
"Apa jiwa kamu masih sehat? Kenal saja belum, sudah mau ngajak kawin!"
"Ya, tidak apa-apa toh, Bang!" Kan tidak ada aturan harus kenal lama dulu baru menikah.
Aku pikir cukup pintar juga orang ini mencari alasan.
"Ya betul. Tapi setidaknya kita harus saling tahu nama masing-masing dulu. Latar belakang kehidupan masing-masing juga kita harus tahu!" jelasku tegas.
"Namaku Sari, Bang!" katanya. Dia menatapku dengan senyum, tapi sorot matanya tajam sedikit aneh. Tapi tidak menutup aura kecantikan yang memancar dari wajahnya.
Aku pikir nama perempuan itu cukup indah. Wajah dan bentuk tubuhnya pun tidak jelek-jelek amat. Kulitnya putih, seirama dengan baju kaos ketat warna pink yang melekat di tubuhnya. Rambutnya tidak bisa aku pastikan panjang atau pendek, karena ditutup oleh kerudung.
Dia cukup sepadan dengan diriku yang hanya memiliki tampang pas-pasan. Namun hatiku tetap merasa aneh dengan Sari, karena tiba-tiba mengajak aku kawin. Seperti ada yang janggal dengan Sari, pikirku.
"Apa kamu mau kawin dengan laki-laki pengangguran?" tanyaku, sambil menyeruput kopi yang masih terasa hangat di ujung lidah. Aku berbohong, padahal penghasilanku cukuplah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
"Bagi aku tidak masalah, Bang! Soal rejeki kan bisa kita  cari bersama!" katanya. Tangannya meraih segelas kopi yang sudah aku minum. Dia menegak sisa kopi yang aku minum tanpa risih.
Aku memesan secangkir kopi lagi untuk Sari. Aku tidak suka melihat dia menyeruput kopi yang sudah aku minum.
Tak lama pelayan datang mengantar kopi ke atas meja.
Aku tidak mau lagi minum kopi yang sudah diminum oleh  Sari tadi. Aku pikir Sari seorang wanita yang jorok.
"Baiklah kalau begitu, setiap hari Sabtu dan Minggu pagi kita bertemu di sini!" ajakku. Aku menunjukkan wajah jengkel di hadapannya.
"Oke, Bang. Tidak masalah, asal Abang mau kawin dengan aku!" katanya. Mulutnya tersenyum lebar.
"Dasar perempuan aneh!" gumamku. Aku meninggalkan warung kopi tanpa menoleh kepada Sari.
Walaupun aku sudah mengajak Sari bertemu setiap Sabtu dan Minggu pagi, tapi itu hanya basa-basi. Aku berharap tidak pernah bertemu lagi dengan Sari yang aneh itu. Lebih baik aku melajang dari punya istri perempuan aneh.
Namun aku tidak menyangka, ternyata pertemuan kami terus berlanjut. Aku mencoba untuk menghindari pertemuan itu. Tapi semakin aku ingin menghindar, justru perasaan ingin bertemu semakin kuat.
Semua hal yang aku anggap aneh tentang Sari, justru membuat aku tertantang untuk lebih dekat dengannya. Aku pikir dia berbeda dengan wanita yang pernah aku temui.
Setiap kali kami bertemu, Sari selalu mengajak aku menikah. Akhirnya aku putuskan untuk membiarkan takdir berjalan secara alami.
Seiring dengan berjalannya waktu, aku dan Sari menikah. Pernikahan kami hanya dirayakan dengan sederhana. Resepsi hanya dihadiri Saudara dan tetangga serta teman-teman dekat.
Selama sebulan kami menikah tingkah aneh sari semakin menjadi-jadi. Dia sering tertawa sendiri. Terkadang dia ngomel sendiri. Bahkan dia sering marah-marah tak jelas penyebabnya.
Sebelum kami menikah, keanehan tingkah lakunya tidak separah setelah menikah. Aku semakin bingung karena tidak tahu apa yang terjadi dengan Sari.
"Praaaak!" Sari melempar piring yang ada di atas rak, hingga pecah berkeping-keping di atas lantai dapur. Padahal dia sendiri yang menyusun piring itu setelah dicuci usai makan malam tadi.
Aku buru-buru pergi ke dapur untuk memastikan apa yang terjadi. Aku lihat Sari menangis sambil duduk menyender di dinding dapur. Tangannya ditumpangkan di atas lutut
"Ada apa sih, Dek? Kok kamu menangis?" tanyaku. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan Sari.
"Uhu..uhu...uhu...!" Sari hanya menangis, namun tidak ada air yang ke luar dari matanya. Dia menatapku tajam.
Aku semakin bingung. Karena bukan sekali itu Sari berbuat seperti itu. Selama satu bulan kami menikah sudah tiga kali dia memecahkan piring dan menangis tanpa air mata.
Pernah suatu malam dia menangkap seekor kucing yang naik ke atas tempat tidur. Kucing itu ditangkapnya, lalu dia masukkan ke dalam kulkas. Seekor kucing itu mati membeku keesokan harinya.
Namun aku masih bersyukur dalam hal hubungan ranjang, Sari tidak pernah berbuat aneh. Dia sama saja dengan wanita lain pada umumnya. Hanya saja dia tidak menunjukkan reaksi yang binal. Tapi aku memakluminya, aku pun tidak menuntut yang macam-macam kepada Sari dalam hal hubungan ranjang.
Karena melihat kejanggalan yang ada pada diri Sari, aku putuskan untuk bertemu dengan orang tuanya.
Selama satu bulan aku menikah dengan Sari, aku memang jarang berbicara dengan mertuaku. Aku berbicara dengan mertuaku hanya saat menjelang aku menikah dengan Sari. Karena sehari-hari aku disibukkan untuk meneruskan usaha toko sembako grosir  peninggalan orang tuaku.
Selama sebulan aku menikah belum ada waktu untuk bertemu dengan mertuaku. Kebetulan rumah kami dengan mertua memang lumayan jauh.
"Pak, kenapa Sari sering berlaku aneh, Ya?" tanyaku kepada mertuaku pada suatu sore.
"Aneh seperti apa ya, Sani?" Mertuaku balik bertanya.
Aku menatap wajah mertuaku yang rambut dan kumisnya sudah memutih. Kemudian aku menceritakan kelakuan yang tak wajar dari Sari selama kami menikah.
Mertuaku menghela nafas. Kemudian dia hembuskan bersama asap rokok yang baru dia hisap. "Maafkan Bapak ya, Nak Sani, Bapak tidak mengatakannya kepadamu sebelum kalian menikah. Bapak takut Nak Sani membatalkan pernikahan jika Bapak mengatakannya. Bapak tidak ingin sedikit kebahagian yang dirasakan Sari hilang jika pernikahan kalian dibatalkan." Mertuaku menatap kepadaku dengan malu-malu dan wajah tuanya bersemu merah. Ada kesedihan bergelayut di wajahnya yang sudah berkedut
Aku mengernyitkan kening. Aku semakin penasaran ada masalah apa dengan Sari.
"Katakan saja, Pak! Tidak usah ragu-ragu! Aku siap menerima apapun yang Bapak katakan. Dan seburuk apapun tentang Sari, dia tetaplah akan menjadi istriku selamanya!" ujarku sambil menatap wajah mertuaku dengan serius.
Raut kesedihan di wajah mertuaku tampak mulai berganti dengan kebahagiaan, setelah dia mendengar perkataanku tadi.
"Enam bulan sebelum kalian menikah, Sari baru keluar dari rumah sakit jiwa, Nak Sani," ujar mertuaku lirih.
Bola mataku hampir melompat. Kerongkonganku seperti tercekat mendengar apa yang diucapkan mertuaku. Namun dengan cepat aku mengontrol rasa terkejutku di hadapan mertua. Aku tidak ingin hati mertuaku semakin sedih.
"Kenapa Sari dibawa ke rumah sakit jiwa, Pak?"
Mertuaku kembali menghela nafas. Matanya tampak berkaca-kaca. "Setahun yang lalu ibunya meninggal karena kecelakaan. Kecelakaan itu terjadi di hadapan mata Sari."
"Sari dan ibunya hendak menyebrang jalan ketika keluar dari pasar sehabis berbelanja kebutuhan sehari-hari. Tiba-tiba ada anak muda ugal-ugalan mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Kecelakaan pun tidak terelakkan. Pelaku sampai saat ini masih dikenai proses hukum."
"Sejak saat itu Sari langsung syok. Â Dia sering marah-marah sendiri, kemudian menangis. Segala macam usaha sudah Bapak lakukan, tapi tidak menyembuhkan gangguan yang terjadi pada kejiwaan Sari. Atas saran dari psikiater, Sari dibawa ke rumah sakit jiwa saja. Â Dan dia dinyatakan sembuh enam bulan sebelum kalian menikah."
Aku ikut sedih mendengar penuturan mertuaku itu. Aku berjanji kepada mertua dan diriku sendiri. Aku tidak akan menceraikan Sari, walaupun gangguan kejiwaannya terkadang suka kambuh. Aku terus berusaha mencari pengobatan alternatif untuk Sari. Terkadang dibantu dengan do'a agar Allah berkenan memberi kesembuhan untuk istriku. Aamiin.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H