"Ada apa sih, Dek? Kok kamu menangis?" tanyaku. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan Sari.
"Uhu..uhu...uhu...!" Sari hanya menangis, namun tidak ada air yang ke luar dari matanya. Dia menatapku tajam.
Aku semakin bingung. Karena bukan sekali itu Sari berbuat seperti itu. Selama satu bulan kami menikah sudah tiga kali dia memecahkan piring dan menangis tanpa air mata.
Pernah suatu malam dia menangkap seekor kucing yang naik ke atas tempat tidur. Kucing itu ditangkapnya, lalu dia masukkan ke dalam kulkas. Seekor kucing itu mati membeku keesokan harinya.
Namun aku masih bersyukur dalam hal hubungan ranjang, Sari tidak pernah berbuat aneh. Dia sama saja dengan wanita lain pada umumnya. Hanya saja dia tidak menunjukkan reaksi yang binal. Tapi aku memakluminya, aku pun tidak menuntut yang macam-macam kepada Sari dalam hal hubungan ranjang.
Karena melihat kejanggalan yang ada pada diri Sari, aku putuskan untuk bertemu dengan orang tuanya.
Selama satu bulan aku menikah dengan Sari, aku memang jarang berbicara dengan mertuaku. Aku berbicara dengan mertuaku hanya saat menjelang aku menikah dengan Sari. Karena sehari-hari aku disibukkan untuk meneruskan usaha toko sembako grosir  peninggalan orang tuaku.
Selama sebulan aku menikah belum ada waktu untuk bertemu dengan mertuaku. Kebetulan rumah kami dengan mertua memang lumayan jauh.
"Pak, kenapa Sari sering berlaku aneh, Ya?" tanyaku kepada mertuaku pada suatu sore.
"Aneh seperti apa ya, Sani?" Mertuaku balik bertanya.
Aku menatap wajah mertuaku yang rambut dan kumisnya sudah memutih. Kemudian aku menceritakan kelakuan yang tak wajar dari Sari selama kami menikah.