Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membedakan Dunia Entertaiment Dengan PMII (Refleksi PMII dan Teater Tranformasi)

1 Juli 2016   19:12 Diperbarui: 1 Juli 2016   19:19 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[3] lebih detailnya penulis teringat oleh tokoh filosof bahasa Jacques Derrida (1930-2004) ketika meragukan kesepakatan-kespakatan makna teks (regim of truth).Konteks ini sejarah merupakan mata rantai pertautan ruang dan waktu yang dimaknai dan dipahami oleh subyek, disana bertarung tarian makna dari sebuah perjalanan sejarah, namun kerap kali penangkapan kita (subyek)mengenai makna sering kali ambigu dan sectarian alias sektoral. Mana suka dan mana yang mayoritas orang gunakan itulah yang digunakan referensi kebenaran, maka tokoh ini dalam strategi menjaga keutuhan makna yang menari-nari tanpa kontrol mengunakan metode “dekontruksi”. Yaitu strategi tekstual yang hanya bias diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu mempermainkannya dalam parodi-parodi. Lihat keterangan selanjutnya Al-Fayyad, Muhammad, Derrida,2005. Hlm., 8. maka ketika dikaitkan dengan khasanah historitas PMII diatas dibutuhkan strategi dekontruksi dalam membaca makna yang tak terakomodasi dalam pemahaman kita, menurut penulis salah satunya ialah “proses” perjalanan awal sampai akhir  tersebut. Oleh sebab itu, bukan lantas hasil akirnya yang digunakan sebagai justifikasi fenomena PMII saat ini akan tetapi makna dan kandungan dalam term “proses” kesejarahan tersebut.

[4] Freire membagi mengklasifikasikan kesadaran masyarakat menjadi tiga. (1) Kesadaran Magis,yaitu kesadarna yang dimiliki tidak disertai kemampuan melihat kaitan antar satu factor dengan factor lainnya. Orang lebih melihat suatu kondisi dalam hubungannnya dengan factor diluar manusia (natural atau supra-natural); akibatnya muncul sikap tidak berdaya, cenderung menyalahkan takdir tanpa ada usaha. (2) Kesadaran Naïf,yaitu kesadaran memahami kondisi yang hanya dihubungkan dengan hanya factor manusianya. Segala sesuatu yang menjadi akar penyebab suatu masaalah adalah manusia sendiri. (3) Kesadaran Kritis,orang memahami persoalan atau suatu kondisi ndalam kaitannya dengan factor system dan struktur sebagai akar penyebab masalah dalam kehidupan social.

[5] Meminjam bahasa Hasan Hanafi, term praksis pembebasan acap kali digunakan sebagai formulasi pembebasan kemiskinan, keterasingan, dan kapitalisme, ataupun imprealisme. Lihat Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, pemikiran Hasan Hanafi tentang reaktualisasi tradisi keilmuan islam,Jogjakarka: ITTAQA Press. 1998, hal. 8

[6] terminology PMII dibangun dari kata “Pergerakan”, “Mahasiswa”dan “Islam Indonesia”. Ketika term tersebut dalam memaknai PMII tak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, karena dapat mengurangi makna filosofis dan karakter gerakannya. Kebetulan ilmu tersebut penulis serap ketika ikut Evaluasi Kaderisasi Nasional di Jakarta (1-6 Juni 2006).

[7] Sebuah upaya untuk melakukan perubahan ditanah air, tanpa mengaitkan dengan struktur kapitalisme/imprealisme global, tentu akan menemui jalan buntu. Baca (Hasyim Wahid, telikungan kapitalisme global dalam sejarah kebangsaan Indonesia: 1999)., demikian pula ketika membaca posisi serta peran PMII kekinian, komponen kesejarahan terutama konstelasi global sangat menentukan dalam mengkaji perubahan.

[8] Hasyim Wahid,: 1999. hlm. 44

[9] Anderson, Benedict, imajined communities; komunitas-komunitas  terbayang,(jogyakarta: INSIST, 2001)., hlm. 9

[10] Ruang publik merupakan apa yang telah dijelaskan oleh Jurgen Habermas dalam The Theory of Communicative Action(1970),lebih lanjutnya posisi ruang tersebut selalu tidak netral, kecenderungan ada ideology yang mendominasi telah menghiasi ruang yang dianggap Habermas netral tersebut. Kekuatan ideology, dominasi, dan represifitas menjadi mata rantai dari wajah sosiologis tersebut. Bahasa sederhananya, ruang publik selalu tidak bebas nilai, kepentingan dan ideology. Maka sebagai alternative ketidaknetralan ruang publik adalah dengan “communicative action” yang disinyalir dapat meminimalisir kekuatan dominan, ideology yang represif. Selanjutnya baca F. Budi Hardiman, menuju Masyarakat Komunikatif(1993)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun