Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membedakan Dunia Entertaiment Dengan PMII (Refleksi PMII dan Teater Tranformasi)

1 Juli 2016   19:12 Diperbarui: 1 Juli 2016   19:19 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Maka dalam sebuah renungan malam penulis, idealnya, pembagian dalam komunitas imajinasi PMII ada dua. (1) komunitas imajiner intelektual. (2) komunitas imajiner gerakan ektra parlementariat. Kenapa harus dua, tentu ini tak luput dari latar epistemology. Pertama,ada adagium, pembeda antara hewan dan manusia terletak pada otak. Maka ketika manusia bergerak tak memakai otak, berarti tipikal manusia demikian tergolong hewan. Dalam makna, bangunan gerakan harus ditopang oleh nalar intelektualitas, analisis dan responbilitas.  Dan yang kedua,setelah disokong oleh gagasan intelektual, analisis dan responbitiy maka yang melengkapi ialah gerak. Tatkala demikian, gerakan yang dibangun PMII merefleksikan sebuah analisa dan kepekaan. Bukan sebagai sikap reaksioner dan latah.

Menyoal dua Entertaiment Community

            Berawal dari diskusi kecil, saling tatap muka, larut dan terbuai dengan pembicaraan, lantas tema diskusi mulai menapaki hal-hal yang lebih spesifik ketimbang awal kata. Disanalah muncul gagasan, langkah, dan formulasi persoalan yang berlumuran mengguyur tubuh manakala kita menjalin hubungan intersubyektif. Sikap acuh dan cuek kadang mewarnai dalam hubungan tersebut, malah kadang kala hal-hal yang tidak rasional kerap kali kita lakukan dan ironisnya kita mengamini ketika ada orang lain mengalaminya.

            Deskripsi yang amat singkat diatas kiranya cukup  menjadi hantaran dalam diskusi berkenaan eksistensi manusia, terlebih dalam tataran hidup jalin menjalin (intersubyektif) atau berorganisasi. Kalau boleh jujur, organisasi ialah sebuah entitas yang terdiri dari beberapa komponen individu yang memiliki cita-cita sama. Maka tugas berat organisasi ialah mengakomodasi berbagai tipologi individu agar tidak terjadi pertarungan yang ujung-ujungnya kalah dan menang. Nah hidup berorganisasi merupakan sebuah tumpuan dan tempat mengumpulnya beberapa persoalan dan kegelisahan anggota yang ada didalamnya, salah satu strategi penyelesainnya adalah apa yang telah diuraikan diatas.

            Hal-hal yang menghiasi hidup berorganisasi, menurut hemat penulis kira-kira yang menghambat ada dua. Pertama, maraknya tayangan entertaiment ditelevisi ternyata memiliki pengaruh besar dalam kehidupan, salah satunya KISS (Kisah Seputar Selebritis) dan masih banyak yang memiliki motif sama “biyangnya Gosip” lainnya. Terbukti, tesis sementaranya: penyelesaian persoalan tidak harus melalui jalur komukasi aktif,[10] lebih dari padanya enak dengan hanya ngerasani (jawa.red). Paling tidak tipikal demikian amat tidak dapat menyelesaikan persoalan, malahan hanya menambah daftar panjang kemoloran persoalan.

            Kedua, kalau kenyataan lapangan proses penyelesaian persoalan terkesan sektoral bahkan terfragmentasi, maka saat itu pula jebakan selanjutnya ialah “aliran kebatinan”. Inilah ironi dan musibah besar dalam kehidupan berorganisasi, akhirnya dalam menyelesaikan masalah keterlibatan proses komunikasi antar subyek tidak sinergis dan komprehensip. Akibatnya segudang persoalan tak mampu diselesaikan karena tidak ada upaya penyelesaian sacara komunikatif, dan ironisnya, ibarat setelah lepas dari cengkerama buaya disambut dengan mulut singa, yaitu aliran kebatinan.

Kendati absennya nilai tranformasi-komunikatif dalam penyelesaian maka dorongan emosional, perasaan dan kenaifan yang mendorong pada larut dalam kesadaran naïf, padahal kesadaran naïf adalah kesadaran memahami kondisi yang hanya dihubungkan dengan hanya factor manusianya. Segala sesuatu yang menjadi akar penyebab suatu masaalah adalah manusia sendiri. Kesadaran demikian tidak memahami konstelasi realitas dengan system, struktur dan rekayasa. Akhirnya, eksklusifitas penyikapan tak mampu menerjemahkan system, struktur dan rekayasa persoalan -realitas- dalam bentuk penyelesaian (formulation actions).  Lantas pertanyaannya bedanya apa organisasi dengan tayangan entertaiment? Yang Cuma hanya ngomongin tetapi tidak memeberi jalan keluar.

Kekacauan dan jebakan demikian merupakan musibah besar dalam proses organisasi, mustahil persoalan dapat terselesaikan dan cita-cita organisasi dapat tercapai. Pendek kata, jawaban-jawaban dari uraian diatas yang mampu menjawab adalah ente-ente BOSS!!!!!


[1] Yang Terhormat “Pak dan Mak” yang selama ini selalu sabar dan memberi supportatas apa yang menjadi pilihan, Pesanmu akan selalu kuingat “kegoblokanku ojo sampek nular neng anakku & Mbesok aku lek wis mati, aku ora butuh mbok kirimi bondo, tapi  do’a”.Adikku (Eko dan Lisa) tercinta, jangan pernah putus asa dan merasa gagal dalam belajar, saya yakin kalian bisa!!

[2] Pada fase inilah pertarungan NU menuai babak baru, kiprah dalam dunia politik oleh ulama’ ketika itu dirasakan tidak memberi kontribusi besar dalam malakukan gugatan structural dan sosiologis apalagi kehidupan religius. Minimnya kontribusi dalam kehidupan berorganisasi inilah yang pada gilirannya melahirkan deklarasi khittahNU sebagai jawaban kejumudan kiprahnya, yakni dengan mengembalikan NU pada orbitnya sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Pada saat yang sama, munculnya karakter dan tipologi gerakan NU mulai muncul dan selanjutnya berciri khas tradisional.Lihat Lukman Hakim, pelawanan Islam cultural: Relasi Asosiatif pertumbuhan Civil Siciety dan Doktrin Aswaja NU…..Hlm., 17-20. Istilah civil societydalam perjalanan sosiologis memiliki penerjemahan amat dinamis, konsep ini berasal dari proses sejarah masyarakat barat. Akar perkembangannnya dapat dirunut mulai Cicero bahkan, menurut Manfred Riedel, lebih kebelakang samapai Ariestoteles. Yang jelas, Cicerolah yang menggunakan istilah societes civilisdalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18 pengertian civil societydianggap sama dengan pengertian negara (the state),yakni suatu kelompok yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat. Namun kemudian sekitar paruh abad ke-18, terminology civil societydimngerti sebagai dua entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan social (social formation)dan perubahan-perubahan struktur politik di Eropa akibat pencerahan (enlightenment)dan modernisasi dalam menghadapai duniawi, yang kedua turut mendorong tergusurnya rezim absolut. Dari pengertian konsep civil societydiatas dapat disimpulkan dalam wilayah kehidupan social yang terorganisasi dan bercirikan, anatara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadan (self generating), dan keswasembadaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan kerterikatan dengan nilai hokum dan norma yang diikuti oelh masyarakat. AS Hikam, demokrasi dan civil society(Jakarta: LP3ES, 1999)., hlm. 2-3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun