Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membedakan Dunia Entertaiment Dengan PMII (Refleksi PMII dan Teater Tranformasi)

1 Juli 2016   19:12 Diperbarui: 1 Juli 2016   19:19 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Aries F. As'ad (CAK ASEP) [1]

Memeras otak demi orang lain sama halnya dengan jihad, demi kemaslahatan dan keadilan. Padahal, Islam secara tegas mengutuk orang yang bertindak dhalim antar sesama, baik yang berlatar belakang agama, suku, dan budaya berbeda. Menafsiri sesuatu dengan menoleh satu refrensi berarti telah melanggengkan kebodohan, yakni orang yang berpikir a historis, parsial, reaksioner dan apatis.

Sejarah begitu singkat untuk kita apresiasi, sedikit. Maka jalan satu-satunya kita mencuri sejarah dari  kain putih yang dicoret oleh pena keserakahan, kebengisan dan kebiadaban..(Aries F. As’ad)

Bayangan Awal

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau biasanya disingkat dengan PMII, lahir ditengah pergolakan politik di Indonesia awal kemerdekaan, hadirnya PMII diawali dari sebuah geliat generasi muda dalam upaya revitalisasi kemerdekaan bangsa dari berbagai model penjajahan. Tampilan situasi yang mewarnai kelahiran PMII salah satunya pertarungan gagasan ideologi Indonesia, mulai dari gagasan negara Islam, Nasionalis, sampai Komunisme.

Ditengan tarik ulur situasi politik di Indonesia, PMII hadir sebagai penengah dan penjembatan alternative pertarungan gagasan diatas. Orientasinya, selain sebagai kantong kaderisasi kekuatan underground NU yang pada saat itu menjadi partai politik, juga merupakan refleksi atas kosongnya konsolidator ditingkat kaum mahasiswa lantaran ketika itu NU hanya memiliki IPNU dan IPPNU itupun dikalangan pelajar bukan mahasiswa. Jelasnya, PMII merupakan kekuatan organisir dan konsolidasi politik ditingkat mahasiswa dibawah garis kordinasi partai NU.

Kemudian selang waktu dalam perjalanannya, halaqoh ulama’ kemudian melahirkan produk ijtihad reorientasi gerakan NU, dengan bahasan NU kembali ke khittah-nya sebagai organisasi social kemasyarakatan, dari partai politik keruang pertarungan kemasyarakatan (civil society)[2]. Keperpindahan dalam orientasi dan paradigma NU praktis mempengaruhi perjalanan PMII selanjutnya, akibatnya PMII mengubah sikap perjuangan politik kebangsaan, dan bukan lagi sebagai kekuatan underground partai politik secara 180 derajat. Yakni menjadi organisasi kemahasiswaan yang concern sebagai tranformator dengan melakukan pembelaan terhadap kaum mustad’afien, hingga saat ini jargon “mustad’afien” kerap kali kita dengar bahkan dielu-elukan sebagai spirit walaupun menyesuikan ruang dan waktu.

Demikianlah historitas singkat perjalanan PMII, mula-mula sebagai kekuatan konsolidasi politik ditingkat mahasiswa kemudian menghadirkan orientasi pembelaan kaum mustad’afien sebagai program strategis sekaligur platform-nya. Patut dipahami, proses perjalanan menuju organisasi pembelaan masyarakat (civil society) tentunya tak semudah membalikkan telapak tangan dan kelak pada gilirannya mendapat hasil. Tidak demikian. Jerih payah serta pengorbanan dalam upaya mengembalikan PMII ke orbitnya memang patut kita bayar mahal, terlihat jelas, mulai dari deklarasi Murnajadi sebagai sikap independensi, kemudian sampai pada proses deklarasi interdependensi yang merupakan langkah strategis kejumudan pada waktu itu.

Membaca Patahan Sejarah PMII

Telaah khazanah historitas perjuangan PMII diatas bukan “awalan” dan “akhiran” dari perjalanan, namun yang perlu diapresiasi ialah “proses”[3] perjalanannya. Karena proses perjalanan tersebutlah yang menjadi pelajaran berharga dalam menentukan karakter dan paradigma gerakan dikemudian hari. Karena dari proses tersebut ada analisa –pembacaan-sejarah dan pergolakan yang amat cermat, bukan asal melangkah. Lantas senantiasa yang terjadi adalah fenomena mengadili kondisi PMII dengan parameter hasil akhir -baik dan jeleknya-, penulis rasa ini salah kaprah dan termasuk golongan orang sesat pikir. Karena gaya berfikir demikian terlalu sektoral, fragmentatif dan parsial, kepala dan ekor yang dinilai sedangkan ke-konfigurasi dan gairah tubuh tidak mendapat porsi dalam penilaian.

Relasi pergulatan kesejarahan PMII tak luput dari pembangunan nilai gerakan, yang mewarnai dinamikan gerakan mahasiswa. Kelak pada gilirannya melahirkan karakter gerakan, maka senantiasa karakter inilah yang membedakan antara PMII dan organ gerakan lainnya. Namun persoalannya adalah, pembangunan karakter dan nilai gerakan PMII ditelaah lebih cermat, panjang dan lebar. Tidak lantas menilai karakter, nilai gerakan dari hasil perjalanan kesejarahan. Namun alangkah lebih bijaknya, sekali lagi, penilaian ada pada proses pembangunan tipikal gerakan PMII yang selama ini terkesan terselubung dalam lipatan sejarah.

Untuk sementara penulis memaknai proses tersebut berselubung dalam dua muara besar dan saling berkaitan erat. Pertama, asumsi paradigmatic, yakni PMII sebagai organisasi gerakan yang tetap mengunggulkan makna “tranformasi, penyadaran dan pendampingan” terhadap kaum mustad’afien.[4] Argumentasi ini muncul tatkala penulis mencermati peralihan orientasi dan tipikal gerakan PMII setelah deklarasi Murnajati, sikap bermi si kerakyatan merupakan wujud nyata cita-cita pengabdian kemasyarakatan dan keterikatan structural menjadi godaan pragmatis dalam perjuangan. 

Kedua, civil society buldhing, kehadiran asumsi paradigmatic diatas sekaligus sebagai praksis lapangan dalam membangun masyarakat. Karena peralihan orientasi sebagai konsolidator politik ditingkat mahasiswa, ejahwantah dari transisi paradigma tersebut menjadi organisasi bermisi kerakyatan, merupakan kenyataan atas kebutuhan makna yang dikaburkan dalam proses perjalanan dan pergulatan panggung sandiwara sejarah.

Pendeknya, ada paradoks dalam kesejarahan didirikannya PMII dengan perjalanan dikemudian hari. Maksud paradok dalam makna disini ialah, Pertama,tujuan awal didirikan PMII sebagai konsolidator diranah politik. Kedua,berangkat dari perjalanan sejarah, nilai filosofi didirikannya PMII pun tak luput dari pergeseran. Transisi inilah termanifestasikan dalam ruang praksis pembebasan[5] diranah intelektual, civil society,dan agama. Istilah transisi paradigmatik yang terjadi dalam perjuangan PMII disini menjadi porsi perjuangan, dalam konteks ini, tentunya ini sesuai dengan relevansi ruang dan waktu. Paradok “tujuan awal” dan “kondisi akhir” ini, hemat penulis, tidak tercerabut dari subtansi didirikannya PMII. Malahan ini adalah langkah kritis-analitis membaca sejarah, faktor pembacaan kesejarahan dengan konstelasi nasional dan memiliki relasi dengan kebutuhan (needs acesment)

Kedua pemaknaan penulis diatas adalah bagian terkecil dan upaya coba-coba mengakomodasi makna yang kabur dari orbit kesejarahan, namun tidak menutup kemungkinan kehadirannya dapat dipersoalkan bahkan digugat akurasinya. Memang terkesan apologis, akan tetapi dari sinilah dimulai belajar memahami secara secara konprehensip dan tidak parsial. Maka sebenarnya tidak ada argumentasi rasional manakala kondisi PMII saat ini merupakan representasi ending kesejarahan organisasi wong alit ini.

Karena dulu dengan sekarang jelas berbeda, maqo’idu al sar’i-nya jelas berbeda. Namun kondisi sekarang tak luput dari peran masa lalu, keberbedaan atau peralihan inilah, boleh dikata, upaya kritik terhadap titik sejarah yang relevan. Maka kita butuh mengkaji ulang kembali. Disinilah terjadi proses klasivikasi, pemilahan mana yang patut digunakan dan mana yang tak lagi berguna. Dalam konteks perkembangan, relasi sosiologis ikut menyumbang dalam pembangunan sikap sejarah. Malahan latar historie inilah yang menjadi faktor deterministik, karena pengaruh kesejarahan tak dapat dipisahkan. Kalapun lepas dari faktor kesejarahan, biasanya akan tercerabut dari makna subtansial dan tradisi.

Minimal ini hasil analisis melalui tahap renungan tiap malam, dari warung kewarung kopi, dan forum diskusi cultural dengan sahabat selama ini. Kurang lebihnya senantiasa mewujudkan harapan kritikan dan masukan dari pembaca, hal senada juga merupakan upaya kita dalam menyikapi pergulatan kesadaran dalam ruang organisasi.

PMII Sebagai Aktor Teater Tranformasi

            Sementara itu kepanjangan PMII kerap kali dimaknai sebagai upaya dialog nilai perjuangan dengan pijakan kearifan local (localwisdom), kendati senantiasa dalam gerakan mahasiswa ada kesan paradoks manakala dihadapkan pada realitas. Namun PMII dalam konteks ini berhasil mengasosiasikan nilai gerakan dengan nilai local yang pada gilirannya menjadi sebuah perpaduan yang agak progresif. Cermat melihat tradisi (tsurat’)sebagai pijakan menghadirkan kenyataan modernitas (tajdid),kalau demikian, maka PMII tidak akan tercerabut dari akan tradisi meskipun diatas langit modernisasi, global.

            Diakui ataupun tidak, kesadaran gerakan, dan apapun nama gerakan itu, mayoritas menggunakan paradigma konflik atau pertentangan kelas yang memiliki mata rantai dengan gagasan besar Marxisme. Kekuatan mahasiswa (pressure group) secara vis a vis berhadapan dengan negara (the state), akhibatnya mahasiswa kerap kali tak pernah bertemu dengan pemerintah dalam rangka tranformasi gagasan, padahal mempengaruhi penguasaan, dengan melakukan tranformasi dan konsolidasi, berdampak pada kebijakan karena ini adalah area sentral kebijakan. Kalaupun masih menggunakan metode klasik dalam gerakan, dengan pendekatan binary oposisition,dengan turun jalan atau demontrasi. Model gerakan demikian senantiasa melahirkan apresiasi negatif dimasyarakat terutama ketika melihat tipikal perjuangannya.

Berbeda dengan PMII, bermula dari sebuah ijtihad’ gerakan organisasi ini mampu mengkulturisasi nilai gerakan tradisi barat dengan nilai local (localwisdom). Relevansi paradigma binary oposisitionsama dengan proses menentukan ideologi bangsa. Memang kontraproduksi dengan gagasan para foundhing father mengenai karakter Indonesia, yang mayoritas menghadirkan wajah Islam persis sesuai dengan apa dan ada di negara asalnya, yakni arab. Karena dari padanya, ketika dihadapkan pada multicultural, multi-ras dan pluralitas masyarakat Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai negara islam sama dengan meniscayakan hidup diskriminasi dan merupakan satu hal yang salah kaprah. Akibatnya nilai kebangsaan (nasionalism) yang secara politis tertuang dalam bingkai Indonesia mengalami disintregasi, karena disana hanya ada satu ras, agama, bahasa, dan budaya.  Paradoksal kedua gagasan antara kaum nasionalism dan Islam inilah yang menjembatani -kembali lagi secara etimologis kebahasan penamaan PMII-nilai gerakan dengan program strategis melalui tranformasi yang berdasarkan spirit Islam ala Indonesia.[6]

            Membaca posisi PMII saat ini tidak cukup dengan intrument dalam skup nasional, namun berbagi dengan konstelasi politik internasional juga memberi kontribusi besar dalam menetukan strategi gerakan. Pembacaan demikian memang jarang sekali dilakukan oleh mayoritas pekerja sosial, namun ini menjadi sebuah kenyataan –politik internasional-yang harus dihadirkan dalam menerjemahkan posisi PMII.[7] Yang memiliki andil besar dalam membentuk PMII dalam kontek pembahasan ini ada tiga, baik ditingkat nasional maupun internasional –global.

            Pertama, kekuatan ekonomi yang bermuara pada kapitalisme global. Penulis mengajak pembaca ber-romantisasi dengan sejarah. Masuknya penjajah asing di Indonesia pada tahun 1596 merupakan babak awal tertanamnnya pengaruh barat di bumi pertiwi. Berdirinya VOC pada tahun 1602 merupakan tonggak monumental jatuhnya nusantara pada belanda baik ekonomi maupun politis. Era inilah yang kerap kali disebut sebagai awal mula kehadiran system imprealis-kapitalistik, penguasaan disektor ekonomi dan politik oleh penjajah belanda merupakan tamparan keras bangsa Indonesia. Model penguasaan kaum kapitalis pada saat itu represif bahkan genosid.


Baru pada tahun 1939-1945 bingkai penguasaan terbingkai dengan rapi, hal ini ditandai dengan konsolidasi untuk merealisasikan konsep Negara-bangsa (nation-state). Pada saat itu pula, komitment politik etis menjadi konsensus negara-negara penjajah. Ejahwantah politik etis tersebut termanifestasi sekitar tahun 1944 ada pertemuan Bretton Woods yang menghasilkan kesepakatan dibentuknya PBB, World Bank, IMF, IBRD, dan GATT. Lembaga ini dibentuk sebagai antisipasi atas kemerdekaan negara-negara jajahan. Kebijakan inilah yang menjadi pemicu tumbuhnya perusahaan-perusahaan besar dinegara maju dan mulai merambah ke negara berkembang. Muncullah yang disebut dengan MNC (Multi National Coorporation) dan TNCs (Trans Nation Coorporations). Sampai sekarang penguasaan disektor ekonomi Indonesia oleh negara kapitalis menggunakan strategi demikian: yakni ekploitatif, totaliter dan bahkan represif.[8]

            Keterikatan ruang gerak PMII dilingkari oleh kekuatan ekonomi inilah yang sering kali menjadi perdebatan, baik sikap kritis maupun tranformasi praksis. Kungkungan kapitalisme global memang bagaikan gurita yang menjerembak, terlebih cobaan kalangan organisatoris, biasanya lemah dalam persoalan ini atau bahkan tidak mampu memberi solusi atas kejumudan.

            Sederhana kata, pembacaan dimana dan apa yang harus dilakukan oleh PMII seyogianya menilik konstelasi pasar (economic), baik pada tingkat nasional maupun internasional-global. Oleh sebab itu, keperpihakan PMII pada kapitalisme global berarti organisasi ini tidak ada bedanya dengan MNC (Multi Nation Coorporation) dan TNCs (Trans Nation Coorporation). Yakni: melakukan ekploitasi, penindasan terhadapa masyarakat dengan motif penguasaan pasar.

            Kedua, negara (the state). Mula-mula negara dibentuk dari kebutuhan atas suatu lembaga yang dapat melindungi, menjaga dan memberi jaminan keamanan, oleh masyarakat. Namun, kenyataan dalam perjalanan konsepsi negara; negara justru direpresentasikan sebagai kepentingan bersama yang berhak melakukan penguasaan, bahkan penjajahan terhadap bangsa sendiri. Lebih lanjut pembahasan tentang state, kemunculan sebuah negara dibangun diatas bangsa (nation). Bangsa atau nation: ia adalah komunitas politis dan dibanyangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus kedaulatan.[9]

            Ketika komunitas politik yang senantiasa dibanyangkan sebagai perekat, maka tatanan struktur yang ada didalam bangsa merupakan sisi representasi. Artinya, negara didirikan oleh sekelompok politis yang senantiasa melahirkan tatanan, struktur dan kebijakan yang dianggap sesuai dengan kepentingan.

            Maka negara senantiasa dikonsepsikan sebagai wadah komunitas atau golongan, yang secara politis menguasai komponen, struktur, ekonomi dan budaya bangsa (nation). Komponen bangsa dalam suatu negara ini memiliki cita-cita akan masa depan, biasanya disebut dengan nasionalisme, sebuah term yang dibanyangkan sebagai cita-cita masa depan dan telah menjadi narasi kolektif. Jelas kata, negara adalah komunitas politis yang kebetulan memimpin dan berdiri diatas bangsa yang senantiasa, dalam proses bernegara, melahirkan konsep jargon nasionalisme.

            Kembali lagi pada persoalan Negara. Dalam tatanan Negara terdiri dari struktur, kebijakan dan masyarakat (bangsa). Nah, dalam tahap yang sedemikian rapi dan sistemik, Negara -dengan komponen struktur dan kebijakannya- acap kali tidak memihak kepada masyarakat. Ini hal yang lumrah, karena kebengisan dan represifitas selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara, sejarah pun berbicara demikian, kedigdayaan Hitler berdiri di atas berjuta mayat-mayat dan orde baru mengangkangi kekeuasaannya diatas jutaan mayat yang saat itu diberi stereotip PKI.

            Dari rentetan sejarah kebiadapan kemanusiaan tersebut dilahirkan oleh kedua strukturisasi narasi terbentuknya konsep Negara diatas, yaitu struktur dan kebijakan (policy). Kekacauan serta kemiskinan yang berkepanjangan terus mengiringi kebengisan Negara demi tahta kekuasaan. Singkat kata, konteks kebijakan, Negara selalu saja tidak ada keberpihakan terhadap masyarakat. Lebih dari itu, biang kerok dari kemiskinan, krisis, dan kebodohan pantas dialamatkan, bahwa ini adalah kelakuan Negara. Dalam posisi demikian, gerakan mahasiswa berada dimana?

            Ketiga, Civil Society.   Jelas, struktur masyarakat kita memiliki relasi dengan ekonomi dan Negara. Hubungan Negara dan ekonomi menciptakan pola sistemik dalam berbangsa, bersosial, beragama, berpendapat dan berekonomi. Istilahnya, keduanya memiliki keterikan dalam jalinan hubungan manakala berdiri. Asosiasi kerangka tersebut –ekonomi, negara, dan masyarakat-pada gilirannya melahirkan kesadaran. Pada saat yang sama pula, tertindas dan tidak tertindas senyatanya jalinan hubungan tersebut, yakni relasi ekonomi dan negara.

            Lantas gerakan mahasiswa memiliki peran penting dalam melakukan penyadaran atau tranformasi relasi diatas. Keterpurukan ekonomi, yang harus mengisi pembendaharaan agenda tranformasi penyadaran, bahwa ketertindasan merupakan akibat sistem yang tak pernah memihak terhadap kepentingan rakyat. Kalau boleh ektrim, policyselalu hanya untuk perut para penguasa, dan orang kaya.

            Idealnya, gerakan mahasiswa tidak terpakut dalam ruang political structuralataupun economic oriented,oleh sebab itu, gerakan mahasiswa dapat menjadi bangunan yang menaungi sekaligus melindungi dari penindasan kedua domain diatas. Keberpihakan inilah yang menegaskan peran dan posisi mahasiswa sebagai agent of change,dan agent of control sicial. Nahdalam perjalanan selanjutnya, angan yang menjadi cita yaitu, dapat menciptakan masyarakat yang memiliki kesadaran kritis terhadap segala macam persoalan. Masyarakat tidak lagi menjadi korban kebijakan, bahkan momok pembangunan dan globalisasi.

            Maka dalam sebuah renungan malam penulis, idealnya, pembagian dalam komunitas imajinasi PMII ada dua. (1) komunitas imajiner intelektual. (2) komunitas imajiner gerakan ektra parlementariat. Kenapa harus dua, tentu ini tak luput dari latar epistemology. Pertama,ada adagium, pembeda antara hewan dan manusia terletak pada otak. Maka ketika manusia bergerak tak memakai otak, berarti tipikal manusia demikian tergolong hewan. Dalam makna, bangunan gerakan harus ditopang oleh nalar intelektualitas, analisis dan responbilitas.  Dan yang kedua,setelah disokong oleh gagasan intelektual, analisis dan responbitiy maka yang melengkapi ialah gerak. Tatkala demikian, gerakan yang dibangun PMII merefleksikan sebuah analisa dan kepekaan. Bukan sebagai sikap reaksioner dan latah.

Menyoal dua Entertaiment Community

            Berawal dari diskusi kecil, saling tatap muka, larut dan terbuai dengan pembicaraan, lantas tema diskusi mulai menapaki hal-hal yang lebih spesifik ketimbang awal kata. Disanalah muncul gagasan, langkah, dan formulasi persoalan yang berlumuran mengguyur tubuh manakala kita menjalin hubungan intersubyektif. Sikap acuh dan cuek kadang mewarnai dalam hubungan tersebut, malah kadang kala hal-hal yang tidak rasional kerap kali kita lakukan dan ironisnya kita mengamini ketika ada orang lain mengalaminya.

            Deskripsi yang amat singkat diatas kiranya cukup  menjadi hantaran dalam diskusi berkenaan eksistensi manusia, terlebih dalam tataran hidup jalin menjalin (intersubyektif) atau berorganisasi. Kalau boleh jujur, organisasi ialah sebuah entitas yang terdiri dari beberapa komponen individu yang memiliki cita-cita sama. Maka tugas berat organisasi ialah mengakomodasi berbagai tipologi individu agar tidak terjadi pertarungan yang ujung-ujungnya kalah dan menang. Nah hidup berorganisasi merupakan sebuah tumpuan dan tempat mengumpulnya beberapa persoalan dan kegelisahan anggota yang ada didalamnya, salah satu strategi penyelesainnya adalah apa yang telah diuraikan diatas.

            Hal-hal yang menghiasi hidup berorganisasi, menurut hemat penulis kira-kira yang menghambat ada dua. Pertama, maraknya tayangan entertaiment ditelevisi ternyata memiliki pengaruh besar dalam kehidupan, salah satunya KISS (Kisah Seputar Selebritis) dan masih banyak yang memiliki motif sama “biyangnya Gosip” lainnya. Terbukti, tesis sementaranya: penyelesaian persoalan tidak harus melalui jalur komukasi aktif,[10] lebih dari padanya enak dengan hanya ngerasani (jawa.red). Paling tidak tipikal demikian amat tidak dapat menyelesaikan persoalan, malahan hanya menambah daftar panjang kemoloran persoalan.

            Kedua, kalau kenyataan lapangan proses penyelesaian persoalan terkesan sektoral bahkan terfragmentasi, maka saat itu pula jebakan selanjutnya ialah “aliran kebatinan”. Inilah ironi dan musibah besar dalam kehidupan berorganisasi, akhirnya dalam menyelesaikan masalah keterlibatan proses komunikasi antar subyek tidak sinergis dan komprehensip. Akibatnya segudang persoalan tak mampu diselesaikan karena tidak ada upaya penyelesaian sacara komunikatif, dan ironisnya, ibarat setelah lepas dari cengkerama buaya disambut dengan mulut singa, yaitu aliran kebatinan.

Kendati absennya nilai tranformasi-komunikatif dalam penyelesaian maka dorongan emosional, perasaan dan kenaifan yang mendorong pada larut dalam kesadaran naïf, padahal kesadaran naïf adalah kesadaran memahami kondisi yang hanya dihubungkan dengan hanya factor manusianya. Segala sesuatu yang menjadi akar penyebab suatu masaalah adalah manusia sendiri. Kesadaran demikian tidak memahami konstelasi realitas dengan system, struktur dan rekayasa. Akhirnya, eksklusifitas penyikapan tak mampu menerjemahkan system, struktur dan rekayasa persoalan -realitas- dalam bentuk penyelesaian (formulation actions).  Lantas pertanyaannya bedanya apa organisasi dengan tayangan entertaiment? Yang Cuma hanya ngomongin tetapi tidak memeberi jalan keluar.

Kekacauan dan jebakan demikian merupakan musibah besar dalam proses organisasi, mustahil persoalan dapat terselesaikan dan cita-cita organisasi dapat tercapai. Pendek kata, jawaban-jawaban dari uraian diatas yang mampu menjawab adalah ente-ente BOSS!!!!!


[1] Yang Terhormat “Pak dan Mak” yang selama ini selalu sabar dan memberi supportatas apa yang menjadi pilihan, Pesanmu akan selalu kuingat “kegoblokanku ojo sampek nular neng anakku & Mbesok aku lek wis mati, aku ora butuh mbok kirimi bondo, tapi  do’a”.Adikku (Eko dan Lisa) tercinta, jangan pernah putus asa dan merasa gagal dalam belajar, saya yakin kalian bisa!!

[2] Pada fase inilah pertarungan NU menuai babak baru, kiprah dalam dunia politik oleh ulama’ ketika itu dirasakan tidak memberi kontribusi besar dalam malakukan gugatan structural dan sosiologis apalagi kehidupan religius. Minimnya kontribusi dalam kehidupan berorganisasi inilah yang pada gilirannya melahirkan deklarasi khittahNU sebagai jawaban kejumudan kiprahnya, yakni dengan mengembalikan NU pada orbitnya sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Pada saat yang sama, munculnya karakter dan tipologi gerakan NU mulai muncul dan selanjutnya berciri khas tradisional.Lihat Lukman Hakim, pelawanan Islam cultural: Relasi Asosiatif pertumbuhan Civil Siciety dan Doktrin Aswaja NU…..Hlm., 17-20. Istilah civil societydalam perjalanan sosiologis memiliki penerjemahan amat dinamis, konsep ini berasal dari proses sejarah masyarakat barat. Akar perkembangannnya dapat dirunut mulai Cicero bahkan, menurut Manfred Riedel, lebih kebelakang samapai Ariestoteles. Yang jelas, Cicerolah yang menggunakan istilah societes civilisdalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18 pengertian civil societydianggap sama dengan pengertian negara (the state),yakni suatu kelompok yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat. Namun kemudian sekitar paruh abad ke-18, terminology civil societydimngerti sebagai dua entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan social (social formation)dan perubahan-perubahan struktur politik di Eropa akibat pencerahan (enlightenment)dan modernisasi dalam menghadapai duniawi, yang kedua turut mendorong tergusurnya rezim absolut. Dari pengertian konsep civil societydiatas dapat disimpulkan dalam wilayah kehidupan social yang terorganisasi dan bercirikan, anatara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadan (self generating), dan keswasembadaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan kerterikatan dengan nilai hokum dan norma yang diikuti oelh masyarakat. AS Hikam, demokrasi dan civil society(Jakarta: LP3ES, 1999)., hlm. 2-3

[3] lebih detailnya penulis teringat oleh tokoh filosof bahasa Jacques Derrida (1930-2004) ketika meragukan kesepakatan-kespakatan makna teks (regim of truth).Konteks ini sejarah merupakan mata rantai pertautan ruang dan waktu yang dimaknai dan dipahami oleh subyek, disana bertarung tarian makna dari sebuah perjalanan sejarah, namun kerap kali penangkapan kita (subyek)mengenai makna sering kali ambigu dan sectarian alias sektoral. Mana suka dan mana yang mayoritas orang gunakan itulah yang digunakan referensi kebenaran, maka tokoh ini dalam strategi menjaga keutuhan makna yang menari-nari tanpa kontrol mengunakan metode “dekontruksi”. Yaitu strategi tekstual yang hanya bias diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu mempermainkannya dalam parodi-parodi. Lihat keterangan selanjutnya Al-Fayyad, Muhammad, Derrida,2005. Hlm., 8. maka ketika dikaitkan dengan khasanah historitas PMII diatas dibutuhkan strategi dekontruksi dalam membaca makna yang tak terakomodasi dalam pemahaman kita, menurut penulis salah satunya ialah “proses” perjalanan awal sampai akhir  tersebut. Oleh sebab itu, bukan lantas hasil akirnya yang digunakan sebagai justifikasi fenomena PMII saat ini akan tetapi makna dan kandungan dalam term “proses” kesejarahan tersebut.

[4] Freire membagi mengklasifikasikan kesadaran masyarakat menjadi tiga. (1) Kesadaran Magis,yaitu kesadarna yang dimiliki tidak disertai kemampuan melihat kaitan antar satu factor dengan factor lainnya. Orang lebih melihat suatu kondisi dalam hubungannnya dengan factor diluar manusia (natural atau supra-natural); akibatnya muncul sikap tidak berdaya, cenderung menyalahkan takdir tanpa ada usaha. (2) Kesadaran Naïf,yaitu kesadaran memahami kondisi yang hanya dihubungkan dengan hanya factor manusianya. Segala sesuatu yang menjadi akar penyebab suatu masaalah adalah manusia sendiri. (3) Kesadaran Kritis,orang memahami persoalan atau suatu kondisi ndalam kaitannya dengan factor system dan struktur sebagai akar penyebab masalah dalam kehidupan social.

[5] Meminjam bahasa Hasan Hanafi, term praksis pembebasan acap kali digunakan sebagai formulasi pembebasan kemiskinan, keterasingan, dan kapitalisme, ataupun imprealisme. Lihat Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, pemikiran Hasan Hanafi tentang reaktualisasi tradisi keilmuan islam,Jogjakarka: ITTAQA Press. 1998, hal. 8

[6] terminology PMII dibangun dari kata “Pergerakan”, “Mahasiswa”dan “Islam Indonesia”. Ketika term tersebut dalam memaknai PMII tak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, karena dapat mengurangi makna filosofis dan karakter gerakannya. Kebetulan ilmu tersebut penulis serap ketika ikut Evaluasi Kaderisasi Nasional di Jakarta (1-6 Juni 2006).

[7] Sebuah upaya untuk melakukan perubahan ditanah air, tanpa mengaitkan dengan struktur kapitalisme/imprealisme global, tentu akan menemui jalan buntu. Baca (Hasyim Wahid, telikungan kapitalisme global dalam sejarah kebangsaan Indonesia: 1999)., demikian pula ketika membaca posisi serta peran PMII kekinian, komponen kesejarahan terutama konstelasi global sangat menentukan dalam mengkaji perubahan.

[8] Hasyim Wahid,: 1999. hlm. 44

[9] Anderson, Benedict, imajined communities; komunitas-komunitas  terbayang,(jogyakarta: INSIST, 2001)., hlm. 9

[10] Ruang publik merupakan apa yang telah dijelaskan oleh Jurgen Habermas dalam The Theory of Communicative Action(1970),lebih lanjutnya posisi ruang tersebut selalu tidak netral, kecenderungan ada ideology yang mendominasi telah menghiasi ruang yang dianggap Habermas netral tersebut. Kekuatan ideology, dominasi, dan represifitas menjadi mata rantai dari wajah sosiologis tersebut. Bahasa sederhananya, ruang publik selalu tidak bebas nilai, kepentingan dan ideology. Maka sebagai alternative ketidaknetralan ruang publik adalah dengan “communicative action” yang disinyalir dapat meminimalisir kekuatan dominan, ideology yang represif. Selanjutnya baca F. Budi Hardiman, menuju Masyarakat Komunikatif(1993)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun