Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka itu Harum

30 Juni 2016   00:15 Diperbarui: 30 Juni 2016   00:39 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Al Mufti Bhutasvara –Langit terasa pecah, dan kerikil-kerikil berjatuhan mengenai kepalaku, ubun-ubunku, pening kurasa. Apalagi ketika rintikan itu bersuara riuh sekali, hatiku berasa munek-munekingin menyingkrih segera dari keadaan. Petir juga tak kehilangan saling sambar-menyambar. Sambaran dari dua kutub berlawanan, ya! Kutub yang tak mungkin dipersatukan. Mereka kedua orang tua, saling bertengkar, dan aku di tengah-tengah mereka, menjadi perebutan, sikut-menyikut, tarik-menarik, seakan aku ingin berteriak dengan sekeraskerasnya, sayang tak sampai.

...suaraku hanya sampai pada kerongkongan...

Umurku masih tigabelas tahun, seumuran anak-anak Sekolah Dasar (SD) pada umumnya. Sebagaimana anak-anak SD biasanya, hidup dipenuhi boneka, bunga, permen, warna, kemerlap, harum-wangi, cerah, terang, dan hari-hari diisi hanya bermain, hanya bermain (hanya... ilusi). Betapa nikmat dan bahagianya menjadi anak-anak seperti aku, kadang orang dewasa mencemburui kami yang tak pernah merasa ada beban apapun, dan kadang (sebaliknya) kami yang mencemburui mereka yang serba-serbi bebas, bebas kemana-mana, pulang ke rumah kapan saja, berteman dengan siapa saja, berkendara. Ah! Rasanya ingin cepat-cepat saja dewasa, dan segera memiliki keluarga sendiri dan tidak lagi diatur-atur oleh orang tua. Sebal sekali aku mendengar kata ‘atur’, seakan berkuasa sekali, sampai tiada batasnya kekuasaan itu mengatur-atur seperti robot. Apalah daya, tak mampu ku mengelak.

 Entah sejak hari apa, tanggal berapa, dan tahun berapa, dan memang aku tak peduli dengan hari, tanggal dan tahun, kupikir setiap hari adalah sama. Sama-sama muram. Muram dan gulita, karena orang yang mengatur-atur aku itu terbelah jadi dua. Kutub satu itu Bapak dan kutub lainnya adalah Ibu. Aku benar-benar tak tahu kapan terbelah, dua jenderal yang mengkomandoi aku. Jelasnya, sejak kudengar dari ruang bermainku bersama boneka-boneka kesayangan, barbie!Terutama, aku sayang sekali padanya. Kudengar dari situ bunyi pecahan beling, entah itu piring, gelas, mangkuk, aku tak tahu, aku tak bisa membedakan ini itu. 0rang tua hanya memakai telunjuk-telunjuk jari komando mereka untuk mengisyaratkan mengambil sesuatu, jadi tak tahu apa namanya itu. Memang begitu irit mereka bicara.

Tiba-tiba ada yang menggebrak pintu kamar, dan terlihat hitam, sosoknya jangkung, ketika ia mendekat kuketahui itu Bapak. Ditariknya tanganku dengan kasar, barbie-kujatuh!, terkulai di lantai, badanku terhuyung tak mampu melawan kekasaran tangan raksasa. Aku sedih karena diganggu bermain dengan barbie-kusayang. Telunjuk Bapak menutup bibirnya, tandanya aku disuru berhenti tersedan, dan diam saja. Aku tak peduli, malah melawan, sekeras-kerasnya aku menangis, dan terus berteriak: “Kembalikan Barbie-ku, kembalikan barbie-ku, lepaskan pak, lepaskan, aku masih mau bermain sama Barbie”.

“Sudah, diam! Ikut aku, manut saja”dan semakin tangan-tanganku dicengkeram kuat oleh tangan-tangan besar Bapak.

Ibu berhamburan dari belakang, yang tiada kukira kedatangannya yang begitu mendadak, sangat mendadak. Tangan kiriku direbut Ibu dari jeratan Bapak. Bapak kehilangan kontrol dan terhuyung miring. Ibu menyerobot seluruh tubuhku, didekapnya dengan kedua tangannya, dan menyembunyikan aku dibalik tubuh rampingnya. Di dekat Ibu aku seperti mendapat perlindungan tapi sementara, Bapak mencoba mengambil aku, Ibu mengelak, dan terus. Sampai akhirnya perang, dan petir yang saling sambar-menyambar itu terjadi, dari dua kutub yang tak mungkin di satukan. Perang lidah, silat lidah, aku tidak jelas mendengar mereka berucap-ucap apa, karena saking kerasnya, saking cepatnya

“.....Kamu Melawan....Turunkan Harum....Sini...” Kata Bapak, kasar

“...Tidak!,” Ibu memegangi aku erat-erat, “Harum masih kecil...kamu kasar padanya...butuh perhatian...butuh cinta...kasih”.

“Ikut Bapak saja pak, Bapak bisa membelikan kamu boneka Barbiesebanyak mungkin,” Hampir aku terbujuk, tapi Ibu menarik aku, “Ibumu tak punya uang, tak punya harta apa-apa, Bapak semua yang punya, ikut Ibumu kamu miskin, ikut Bapak kamu kaya, enak nak!, sini” Tangannya menggerayangi Ibuku untuk merebut aku di baliknya. Aku tidak bisa melihat jelas, hanya melihat di balik tubuh Ibu.

“Siapa yang merawat Harum kalau ikut kamu. Pasti nelangsa, dan disia-siakan. Kepada wanita pelancong dari Jepara itu kau berharap cinta dan perhatiannya kepada Harum. Bohong mas, tidak mungkin itu, mana ada perempuan Jepara itu peduli pada Harum. Hanya di depanmu saja wanita Jepara itu nampak sayang dan perhatian padamu dan Harum, tapi di balik semuanya itu kedok belaka”.

“Tahu apa kamu tentang Surti, kamu!” Bapak menuding sampai menjenggung kepala Ibu. Ibu terhuyung ke belakang dan aku terdorong mundur.

“Bapak! Kau lupa semua janji manismu padaku, sekarang kasar padaku, hampir tak ada bedanya perlakuanmu padaku seperti majikan kepada pembantu, tega kau!”.

“Hanya satu kalimat buat menjawab tuduhanmu, bungaku yang kini layu, kau mandul!, Harum bukan anakmu juga anakku, dia adopsi. Cukup beralasan aku lebih memilih wanita Jepara itu. Tak peduli aku pada bualan siang bolongmu itu, Oetari!” Sekali ini Bapak tidak menyertai ‘dek’ sebelum nama Ibu: Oetari, sebelumnya ‘dek Oetari’.

Dan Bapak menghilang dan pergi dengan motornya setelah kata-katanya tadi. Digasnya keras, sampai menyisakan beledug dan asap yang mengepul.

*

Hari-hari selanjutnya kuketahui Bapak sering membawa wanita yang jauh lebih muda dari pada umur Bapak. Kulitnya langsat, tubuhnya padat dan berisi dan kencang, mulus, dan halus. Ditambah pakaiannya yang menawan. Bibirnya yang dibiarkan alami tanpa lipstik membuat kecantikannya semakin alami. Kehadiran dan kedatangan pertamanya di rumah membuatku terpesona. Aku terbayang esok ketika aku besar akan tumbuh cantik, anggun, dan menawan seperti dia.

Baik sekali wanita muda itu padaku. Sampai kuketahui namanya Mbak Bunga. Tapi ia enggan kupanggil Mbak Bunga, padahal kukira sepadan kusebut ‘mbak’. Ia malah sering mengulang-ulang agar aku terbiasa dengannya menyebut: mama.Siapa dia hingga aku diminta ia memanggilnya mama.Tak sudi, aku!.Mama berarti Ibu, Ibuku Cuma satu ya Oetari itu. Telaten dan sabar menyayangi aku. Dibanding ia yang bermanis-manis dan mengumbar perhatian padaku hanya di depan Bapak. Lalu kemudian meletakan aku dan membiarkan aku sembarangan. Dan ia repot dengan dandanannya kembali. Tidak jarang menggerutu padaku karena aku acak-acak rambutnya. Ih!Mana bisa kusebut mama, kalau kelakuannya seperti setan.

Setiap kali ia datang bersama Bapak. Dan menyerahkan hadiah, yang ketika kubuka selalu berisi Barbie,boneka kesayanganku. Walau aku tahu, bukan dia yang membelikan aku tapi Bapak. Aku ingat, Bapak pernah janji bilang ‘akan membelikan boneka Barbiesebanyak dan semauku’. Walau kamarku dipenuhi oleh boneka kesayanganku tadi, tapi tidak juga hatiku ini dipenuhi oleh kasih dan sayangnya. Hanya kebencian yang dibalut dengan renda-renda, manis-manis, senyam-senyum kepadaku. Dan setiap setelah ia menyerahkan Barbie,selalu, ia membujuk aku untuk ikut bersamanya dan Bapak. Entah darimana ada dorongan sihir yang membuatku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk tidak ikut, karena aku masih ingin bersama Ibu. Rasa nyamanku bersama Ibu.

*

Ketok palu pengadilan begitu kerasnya, tidak hanya menggema di ruangan, tapi juga hatiku. Diputuskan oleh hakim bahwa Bapak-Ibu resmi bercerai. Artinya mereka tak akan satu rumah lagi.

Aku sadar sebagai anak adopsi. Sedih sekali aku pertama kali mendengar. Bahwa aku bukanlah bagian dari keluarga mereka, bukan pula sedarah. Hanya seorang anak yang dipungut, diangkat, dilabeli sebagai anak sendiri. Sekedar untuk menjadi pelengkap dalam kehidupan mereka. Sedih sekali aku merasakan kenyataan itu. Pedih sekali. Tapi kesedihan dan kepedihanku tadi tidak seberapa pahitnya dibanding perpisahan kedua orang yang berjasa memungut aku dan bebaskan aku dari yayasan yatim-piatu itu. Dan tak lagi aku ingat dimana aku dipungut, karena memori dan penglihatanku belum bekerja dengan baik.

Bagaimana dengan nasibku selanjutnya, aku tak peduli. Aku menjerit sekencang-kencangnya, mengharap mereka, orang-orang yang aku kasihi kembali rukun dan bersatu seperti semula. Sependek inikah rasanya memiliki orang tua. Dan kini aku nyaris menjadi yatim-piatu lagu. Aku menangis. Ibu menenangkan aku. Menegaskan statusku yang tidak yatim-piatu, karena aku masih memiliki Ibu, dan ia mendekapku erat, kurasai kehangatannya sampai membuat aku jadi tenang dan terlelap di pelukannya karena saking lelahnya aku menangis.

Bapak dan si wanita Jepara itu, Mbak Bunga, tanpa embel-embel mama.Pergi begitu saja menyelonong keluar tanpa basa-basi.

Hakim, saksi, pengacara, dan audien pergi tunggang-langgang setelah proses sidang pengadilan yang singkat. Dan tersisa aku dan Ibu. Aku telah terlelap dan Ibu masih saja mendekap aku. Kurasai tetesan-tetesan air dari atas berjatuhan dan membasahi pipi, rambut, dan jidatku. airmataku juga turut merembes dari kedua mata, tanpa Ibu sadari.

*

Akibat dari perceraian Bapak dan Ibu. Akhirnya tiada kewajiban apapun pada Bapak untuk memberikan nafkah pada Ibu. Tapi terkadang, minimal sebulan satu kali, Bapak mengirim uang lewat surat yang diamplopi. Itu lah yang menghidupi kami berdua. Soal status anak tentu ikut Ibu, siapa sudi ikut Bapak dengan wanita Jepara yang punya cinta bertopeng itu. Aku masih anak-anak, lebih peka merasai mana yang tulus mencintai. Walau sempat ditentang Bapak beberapa kali di depan pengadilan, dan Ibu yang mempertahankan aku, sampai akhirnya aku menangis dan minta terus bersama Ibu, alhasil Hakim memutuskan aku bersama Ibu.

Ibu, Oetari, mulai menyadari bahwa satu bulan tiada dikirim lagi oleh Bapak. Ibu mengakali dengan cara menghutang kepada sanak saudara dan tetangga. Hingga berbulan-bulan tiada dikirim oleh Bapak, hutang terus bertambah dan bertumpuk sampai tiada sanggup membayar dan selalu tidak enak hati ketika tetangga dan sanak saudara menanyakan dan meminta hutangnya segera ditebusi. Dengan alasan hutang dan tagihan, lalu kebutuhan pokok: makan sehari-hari, listrik, air, dan sebagainya, diputuskanlah oleh Ibu untuk mencari pekerjaan.

Ibu mengatakan padaku agar lebih bersabar selama Ibu tinggalkan berkerja, dan:

“Cuman sebentar kok nak, tidak lama, dari jam enam pagi sampai enam sore, lalu Ibu sudah pulang lagi” Kata Ibu, memandangku lekat-lekat, kuatnya pandangannya membuatku merunduk sendu, “Senyum dongnak”, kuangkat pelan-pelan kepalu, kugiriskan senyum, “Nah, gitu dongnak, jadi makin cantik seperti Barbie”. Senyumku semakin menyeringai.

“Jangan lama-lama pergi ya Bu, aku tidak bisa sendiri di rumah”.

“Iya nak, maaf Ibu juga tidak bisa menjemput kamu pulang dari sekolah seperti biasanya, bisa kan pulang sendiri”.

“Iya Bu, tapi jangan lama-lama ya”

“Iya nak,” Ia cium jidatku, juga berkali-kali pada pipiku, “Anakku manis”, dan aku digiring ke ranjang, dan menyelimuti aku. Dan menempatkan Barbiedisisiku pas.

*

Di rumah sendiri, memang tidak terbiasa bagi aku. Ketika semua dilakukan serba berdua dengan Ibu maka sekarang aku lakukan sendiri: menyapu rumah, mengepel, mengelap. Waktuku bermain dengan Barbieyang biasanya jauh lebih lama kini berkurang dan semakin sedikit. Tidak seperti nasib anak-anak seusiaku pada umumnya yang kebanyakan memiliki jatah waktu bermain lebih banyak bahkan masih menuntut lebih. Aku seperti mencampakan Barbietapi bukan itu maksudku, andai ia mampu berbicara, mungkin ia akan menggaruk-garuk kepalaku menuntut aku untuk bermain dengannya. Tapi ia hanya menggaruk sebatas pada fikiranku saja dan itu sulit kulepaskan.

Ketika ditanya Ibu bekerja apa, ia selalu mengelak dan menjuntai senyum. Aku sendiri tidak tahu maksud dari senyumannya. Tapi kadang ketika ia pulang dari kerja, ia membawa setumpuk pakaian kotor yang bukan miliknya. Katanya itu milik majikannya. Mulai sedikit kupahami kalau Ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Selalu aku pijiti bagian-bagian tubuh Ibuku yang pegal dan lemas. Ia mesti menolak tawaran dan pertolonganku. Sayang, aku paksa, dan Ibu nurut dan berkata terimakasih. Ibuku ini adalah saudaraku yang tersisa. Berkat ia dan Bapak sialan itu membuatku terbebas dari jerat yayasan yatim piatu dan menjadi anak-anak normal dengan memiliki orang tua. Maka sepatutnya kujaga sekuat-kuatnya.

Beberapa tahun Ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga membuat aku terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah semuanya sendiri. Tapi seiring waktu selalu ada saja tamu-tamu asing di rumah kami yang berdatangan. Kadang mengaku saudara, salesman,pejabat kelurahan. Dan tak jarang mereka menyelonong masuk dan melihat-lihat seisi rumah. Aku masih lugu dan menganggap baik-baik saja yang diperbuat mereka. Diam saja aku. Tapi sepulangnya Ibu ke rumah, aku dimarahi, karena Ibu menuduh itu calon-calon maling. Untung ada kau nak, coba sepi, amblas barang-barang.

Sejak saat itu aku selalu memasang sikap waspada jika berada di rumah, terutama ketika sendiri, karena konsentrasi pada keamanan rumah terpusat dan tergantung seberapa peka aku. Maka setiap orang asing yang datang akan serta merta aku curigai dan tak jarang aku tuduh mereka maling. Sayang mereka melihat aku sebatas anak kecil dan menertawakan aku dengan keluguanku. Padahal aku mencoba serius. Dikira ini sedang bermain pura-puraan. Ah sialan!Yang jelas rumah beres dan aman terkendali.

Sampai suatu saat ada beberapa orang muda yang menghampiri ke rumah. Mereka menjinjing boneka Barbiebaru kesukaanku. Sebelumnya mereka berkata akan memberikan hadiah Barbiejika aku bersedia melepaskan pakaianku, hah benar saja!.Tapi demi Barbiesegala cara bisa dilakukan. Tapi ada sebersit panggilan hati  ‘Jangan lakukan Harum, Ibu melarang!’yang menolak ajakan membuka pakaian tadi. Dengan berat hati dan merelakan hadiah Barbieitu. Mereka tidak menyerah terus membujuk aku supaya melepaskan pakaianku. Entah apa yang diinginkan mereka padaku, tapi mereka minta lepas. Dan katanya hanya sekedar melepas juga tidak sulit dan hadiahnya Barbiemasak tidak diterima, apa sudah tidak sayang lagi pada Barbie.Terkejut saja aku karena rombongan pemuda itu mengetahui kesukaanku pada Barbie.Siapa yang menunjukan itu pada mereka, aku tak tahu. Dan benar saja, hatiku luluh karena Barbieitu.

Mula-mula kulepaskan kaos, celana, kaos dalam, celana dalam, sampai aku telanjang bulat. Pemuda-pemuda tadi menggerayangi tubuhku. Lamat-lamat menjilati bagian-bagian intim tubuhku. Lalu terasa ada sesuatu yang dimasukan. Aku kesakitan. Dan aku memberontak, tapi percuma karena tangan, kepala, dan kaki dipegang erat-erat oleh mereka. Aku benar-benar pasrah. Tubuhku sudah selayaknya bangkai yang dikoyak-koyak oleh patukan burung-burung gagak. Menjerit kesakitan aku. Ini semacam aku dianiayanya tetapi tidak dipukul dan ditendang. Aneh sekali perlakuan seperti ini. Selain kesakitan aku juga tergelitik. Tak lama aku dibiarkan tergeletak lemas, terkulai di atas lantai, lalu dijatuhkan begitu saja Barbiedi sisiku, sontak kusambar dan kupeluk erat. Pemuda-pemuda tadi pergi dan lari terbirit-birit. Beberapa tetangga memergoki dan mencurigai tingkah mereka.

Aku di dalam rumah bersama Barbie, menangis

*

Badanku bergetar-getar dan mataku berkunang-kunang, memandang kosong ke depan.

“Astaga!”, Jerit Ibu sambil menggoyang-goyang tubuhku, “Apa yang dilakukan pemuda-pemuda tadi nak? Kenapa sampai kamu telanjang bulat seperti ini? Ini Barbiedari mana, kok beda lagi”. Dan goyangan Ibu semakin keras. Tapi aku masih tak sadarkan diri.

*

Ketika terbangun, aku berada di tempat yang serba putih. Kasurnya putih, ambinya putih, cat temboknya putih. Dan ada semacam balon yang mengalirkan air ke tangan kiriku. Kutengok kiri, ada Ibu dan seorang pria berpakaian jas putih dan bandul besi berujung panjang mengitari lehernya, dialah dokter seperti di gambar-gambar, dan di TV.

Lamat-lamat kudengarkan mereka berbicara, dan ternyata:

“Bagaimana dok keadaan putri saya??!!” Jerit Ibu

“......................demikian adanya” Kata Dokter, tenang, “Bersabarlah Bu, karena..............” lamat juga kudengar kata dokter itu suaranya lembut dan pelan, seakan sengaja dilirihkan supaya aku tidak dengar.

“Pasti ini kelakuan Bapaknya!” Kata Ibu, Oetari dengan nada marah

Syukur Ibu memanggil Bapak, dan mengatakan kelakuan Bapak. Adakah harapan bagi mereka untuk berkumpul dan hidup bersama lagi.

Sepanjang jalan Surabaya-Tuban, Juni 2016

Catatan: Terisnpirasi oleh tragedi kekerasan pada anak yang menimpa Harum (nama samaran). Anak berusia 13 tahun setingkat Sekolah Dasar (SD) di Wonosalam yang mengalami pencabulan oleh lima pemuda. Tragedi pencabulan Harum diketahui setelah kandungan Harum berusia lima bulan. Hal itu diketahui setelah guru di sekolah Harum mendapati ia sering mual dan pingsan dan mudah lelah. Sampai sekarang lima pemuda tadi belum tertangkap. Mari kita jaga anak-anak sekitar lingkungan kita dari segala macam tindak kejahatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun