Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka itu Harum

30 Juni 2016   00:15 Diperbarui: 30 Juni 2016   00:39 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagaimana dengan nasibku selanjutnya, aku tak peduli. Aku menjerit sekencang-kencangnya, mengharap mereka, orang-orang yang aku kasihi kembali rukun dan bersatu seperti semula. Sependek inikah rasanya memiliki orang tua. Dan kini aku nyaris menjadi yatim-piatu lagu. Aku menangis. Ibu menenangkan aku. Menegaskan statusku yang tidak yatim-piatu, karena aku masih memiliki Ibu, dan ia mendekapku erat, kurasai kehangatannya sampai membuat aku jadi tenang dan terlelap di pelukannya karena saking lelahnya aku menangis.

Bapak dan si wanita Jepara itu, Mbak Bunga, tanpa embel-embel mama.Pergi begitu saja menyelonong keluar tanpa basa-basi.

Hakim, saksi, pengacara, dan audien pergi tunggang-langgang setelah proses sidang pengadilan yang singkat. Dan tersisa aku dan Ibu. Aku telah terlelap dan Ibu masih saja mendekap aku. Kurasai tetesan-tetesan air dari atas berjatuhan dan membasahi pipi, rambut, dan jidatku. airmataku juga turut merembes dari kedua mata, tanpa Ibu sadari.

*

Akibat dari perceraian Bapak dan Ibu. Akhirnya tiada kewajiban apapun pada Bapak untuk memberikan nafkah pada Ibu. Tapi terkadang, minimal sebulan satu kali, Bapak mengirim uang lewat surat yang diamplopi. Itu lah yang menghidupi kami berdua. Soal status anak tentu ikut Ibu, siapa sudi ikut Bapak dengan wanita Jepara yang punya cinta bertopeng itu. Aku masih anak-anak, lebih peka merasai mana yang tulus mencintai. Walau sempat ditentang Bapak beberapa kali di depan pengadilan, dan Ibu yang mempertahankan aku, sampai akhirnya aku menangis dan minta terus bersama Ibu, alhasil Hakim memutuskan aku bersama Ibu.

Ibu, Oetari, mulai menyadari bahwa satu bulan tiada dikirim lagi oleh Bapak. Ibu mengakali dengan cara menghutang kepada sanak saudara dan tetangga. Hingga berbulan-bulan tiada dikirim oleh Bapak, hutang terus bertambah dan bertumpuk sampai tiada sanggup membayar dan selalu tidak enak hati ketika tetangga dan sanak saudara menanyakan dan meminta hutangnya segera ditebusi. Dengan alasan hutang dan tagihan, lalu kebutuhan pokok: makan sehari-hari, listrik, air, dan sebagainya, diputuskanlah oleh Ibu untuk mencari pekerjaan.

Ibu mengatakan padaku agar lebih bersabar selama Ibu tinggalkan berkerja, dan:

“Cuman sebentar kok nak, tidak lama, dari jam enam pagi sampai enam sore, lalu Ibu sudah pulang lagi” Kata Ibu, memandangku lekat-lekat, kuatnya pandangannya membuatku merunduk sendu, “Senyum dongnak”, kuangkat pelan-pelan kepalu, kugiriskan senyum, “Nah, gitu dongnak, jadi makin cantik seperti Barbie”. Senyumku semakin menyeringai.

“Jangan lama-lama pergi ya Bu, aku tidak bisa sendiri di rumah”.

“Iya nak, maaf Ibu juga tidak bisa menjemput kamu pulang dari sekolah seperti biasanya, bisa kan pulang sendiri”.

“Iya Bu, tapi jangan lama-lama ya”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun