Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kau Didik Aku Jadi Komunis, untuk Bapak

28 Juni 2016   10:16 Diperbarui: 28 Juni 2016   10:33 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Al Muvti Bhutasvara - Namaku Alwi, tapi teman sebayaku memanggil pacul. Entah kenapa mereka memanggil aku begitu. Nyinyir perasaanku, awal disebut mereka, Cul! Pacul!. Katanya, potongan rambutku mirip ujung pacul, panjang di depan, berbentuk jambul, dan di belakang tipis. Kadang aku mesam-mesemsendiri, hihi,benar juga, setelah aku memandang diri ke kaca. Yah, setidaknya pacul berguna kan untuk pertanian dan pembangunan. Tanpa pacul produksi tani terhambat, tanpa produksi tani manusia mati.

...simpel sekali kusimpulkan hihi

Sebagai seorang anak Kiai, aku ditempa bersama santri yang lain. Mereka menghormati aku. Dan disana aku mendapat pengakuan. Besar jiwaku. Kecuali di sekolah, teman-teman tak perna peduli siapa aku, dan mereka tak saling peduli diantara mereka, sama. Diejek dan dibully itu hal lumrah, terutama bagi anak yang kelihatan lugu nan polos. Aku kata temanku, tergolong polos. Ah sedih aku. Memang kenyataannya, tubuhku yang kerempeng dan sikap tubuhku yang kelihatan loyokerap dianggap seperti kekurangan gizi.

...padahal akibat keseringan ngaji kitab tanpa kursi dan meja. Duduk hanya beralas gelaran sajadah atau tikar, membuat posisi tubuhku merunduk dan menyisakan ketika berdiri, malah terlihat bungkuk.

...biarkan mereka tidak tahu, mereka tidak perlu tahu, teman-temanku. Disitu mulai timbul benih perlawanan dalam diamku. Merasakan ketertindasan yang kecil-kecil itu. Ada cubitan-cubitan kecil pada perasaan saat diejek, atau sayatan yang melukai hati saat aku disuruh-suruh bahkan dipukul.

Mengeram jiwaku ingin melawan. Terkepal keras sudah tanganku. Ingin kuhantam semuanya, sampai mati. Sayang aku tak mampu. Aku terpekur dalam kesendirian. Ketakutan menyelinap pada jiwaku, memborgol dan mengkerangkeng nalar dan keberanianku. Begitu bodoh aku, begitu lemah saat itu aku.

Di rumah, Ibu jengkel melihat polah tingkahku, ia merasa ada perubahan pada diriku. Aku semakin keras dan tak mau diatur. Sampai terkadang membentak-bentak orang tua dan pembantu, bukan apa, sekedar pelampiasan rasa ketertindasanku yang tak terlampiaskan di sana, di sekolah.

Aku masuk SMA, dan aku tidak ingin, dan jangan sampai aku dianggap polos. Bapak memondokan aku. Padahal aku tidak mau mondok, karena jauh dari orang tua. Mencuci baju sendiri, makan sendiri, apa-apa sendiri, adalah aktivitas yang bukan aku sebagai anak dimanja.

Hari-hari di sekolah aku mampu menunjukan siapa diriku. Perkenalan dan obrolan aku tunjukan bahwa aku bukan penakut. Dan ketika ada orang seenaknya menyuruh-nyuruh aku, seketika aku tolak. Atau ketika ada orang mengejek aku, kepalaku yang katanya seperti pacul, aku diam, diam saja, sampai ejekan itu berhenti. Dan mereka semua tahu, aku tidak bisa ditundukan, aku tidak bisa diperbudak.

Awal-awal di pesantren, aku sering melamun, rindu dengan orang tua. Dan ketika ingin pulang, mereka selalu menahan-nahan aku agar tak pulang. Kata Ibu, “Jangan pulang, biar hemat”. Di rumah, sebenarnya lebih hemat karena sedikit pengeluaran uang jajan untuk aku. Barangkali maksudnya hemat dari emosi dan kesabaran, karena aku yang manja.

“Aku mau pulang, bu, aku kangen”.

“Alwi jangan, di pondok saja, ngalap berkah” Kata Ibu

“Iya hmmm”

Dua pekan kemudian,

“Bermimpi kalian semalam, rasanya rindu dengan rumah..”

“Pertanda bagus itu nak. Doakan ya nak, usaha Bapak lancar. Supaya bisa membiayai kamu” Kata Ibu

“Padahal aku sudah ingin pulang”.

Satu Bulan kemudian,

“Nak Alwi jangan pulang, Bapak dan Ibu yang ke pondok mengantarkan kiriman”.

Tiga Bulan selanjutnya,

“Ini nak, uangmu, rajin belajar dan berhemat ya”

Satu tahun berlanjut,

“Uangnya sudah habis. Ibu ndak ke pondok?”

“Bapak dan Ibu masih repot kerjaan nak”.

“Yasudah, kirim saja lewat pos atau wesel bu, ke alamat pondok, bisa?”

Tiga tahun berjalan, aku sadar semuanya akibat uang. Uang yang menghidupi aku. Uang yang mengenyangkan aku. Uang yang melegakan aku. Uang adalah segalanya. Sampai aku tak sadar rinduku pada orang tuaku telah hilang, rasaku telah mati.

Masuk di perguruan tinggi, aku mengenal ideologi komunisme yang berangkat dari akar pemikiran Karl Heinrich Marx atau dikenal Marxisme. Dalam alam pemikiran dan gagasan Marx mengenai keadaan dan gejolak sosial masyarakat diakibatkan dari faktor ekonomi, yang disebutnya materialisme. Bukan saja faktor cinta seperti film-film India.

Aku mengingat-ingat ketika di pondok maupun di sekolah apa yang aku rasakan selama ini ternyata sejalan dan segaris apa yang dinarasikan oleh Karl Marx tentang dialektika dan pertentangan kelas. Bagaimana teman-temanku mengkerdilkan dan menjajah aku agar supaya aku menjadi budak bagi mereka, menjadi pengokoh kelas mereka, agar mereka tetap bertahan sebagai seorang jagoan. Dan aku sadar, ternyata bukan penjajah Belanda musuh utama Indonesia saat zaman pendudukan dan kolonial tetapi kapitalisme dan kapitalis yang mendanai aksi penjajahan Belanda di bumi pertiwi.

Dengan pemikiran Marx itu, aku teringat saat di pesantren. Bagaimana rasa rindu dan cintaku pada orang tua hilang karena aku merasa cukup dan bahagia karena ‘pemberian’ mereka, yaitu uang. Dan sejalan dengan Marx, bahwa faktor perubahan masyarakat akibat dinamika ekonomi atau dialektika materialisme. Dan cinta bukanlah cinta bagiku, cinta adalah seksual. Tak ada seks tanpa cinta. Tak perlu terlalu bermanis-manis, saling menggoda, merajuk-merayu kepada lawan jenis toh intinya seks. Itulah pemahamanku soal Marx, entah benar atau salah, jarang aku diskusi jadi tak begitu tahu kebenaran teoriku.

“Cocok sekali, dengan aku”Teriakku dalam hati

Belum lagi, aku mengenal nama-nama seperti Hassan Hanafi penggagas istilah Islam Kiri karena buku-buku yang dibawa oleh temanku saat kuliah atau saat kumpul bersama. Aku curi diam-diam, dan aku bawa ke kos. Besoknya aku ditanya, tapi aku tidak mengaku. Dalam buku itu aku menemukan arti lain dan sangat lain dari terjemahan Islam menurut kiai-kiai umumnya tentang Islam, bahkan Bapak. Islam diartikan sebagai agama perlawanan dan agama sosial. Ini pengertian lain sekali, tidak seperti umumnya.

Dari pada sedekah lebih baik memberdayakan

Dari pada mencerahami lebih baik menolong

Dari pada ada jarak, lebih baik sama rasa sama rata

Semester empat, aku proklamirkan diriku pada teman-temanku saat kumpul sambil bergurau aku katakan, aku komunis. Mereka lantas menanggapi dengan basa basi dan kalimat gombal. Aku biarkan saja. Dan aku ulangi pada kumpulan berikutnya. Sampai mereka tahu aku telah sekuler dan komunis. Ketika ditanya, sejak kapan, dan kenapa bisa. Aku tenang menjawab, sejak Bapak hanya berceramah dan hanya berceramah ia mengandalkannya sebagai sumber pencaharian.

Apalagi melihat pola kiai-kiai yang terpolarisasi dan bergerak-berdakwah sendiri-sendiri. Saling hasut dan jegal untuk kemapanan jamaah atau pasar dakwahnya. Bukan malah menjadi satu-padu dan saling bersinergi dan solid dalam membangun peradaban Islam yang sejahtera dan rukun.

Bulan puasa, aku persiapkan serentetan buku-buku yang selama ini aku baca dan menjadi modal dasar gagasanku selama ini, diantaranya: Das Kapital, Dari Penjara ke Penjara, Madilog, dan buku kiri lainnya. Belum sempat aku menunjukan buku-buku itu tadi, tersiar kabar bahwa Bapak meninggal dunia. Anehnya aku tidak menangis dan tidak sedikitpun keluar air mata.

Inikah matinya rasaku

Inikah jiwaku yang telah materialistik

Benarkah begini komunisme itu

Bapak, kau didik aku jadi komunis

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun