Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kau Didik Aku Jadi Komunis, untuk Bapak

28 Juni 2016   10:16 Diperbarui: 28 Juni 2016   10:33 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Uangnya sudah habis. Ibu ndak ke pondok?”

“Bapak dan Ibu masih repot kerjaan nak”.

“Yasudah, kirim saja lewat pos atau wesel bu, ke alamat pondok, bisa?”

Tiga tahun berjalan, aku sadar semuanya akibat uang. Uang yang menghidupi aku. Uang yang mengenyangkan aku. Uang yang melegakan aku. Uang adalah segalanya. Sampai aku tak sadar rinduku pada orang tuaku telah hilang, rasaku telah mati.

Masuk di perguruan tinggi, aku mengenal ideologi komunisme yang berangkat dari akar pemikiran Karl Heinrich Marx atau dikenal Marxisme. Dalam alam pemikiran dan gagasan Marx mengenai keadaan dan gejolak sosial masyarakat diakibatkan dari faktor ekonomi, yang disebutnya materialisme. Bukan saja faktor cinta seperti film-film India.

Aku mengingat-ingat ketika di pondok maupun di sekolah apa yang aku rasakan selama ini ternyata sejalan dan segaris apa yang dinarasikan oleh Karl Marx tentang dialektika dan pertentangan kelas. Bagaimana teman-temanku mengkerdilkan dan menjajah aku agar supaya aku menjadi budak bagi mereka, menjadi pengokoh kelas mereka, agar mereka tetap bertahan sebagai seorang jagoan. Dan aku sadar, ternyata bukan penjajah Belanda musuh utama Indonesia saat zaman pendudukan dan kolonial tetapi kapitalisme dan kapitalis yang mendanai aksi penjajahan Belanda di bumi pertiwi.

Dengan pemikiran Marx itu, aku teringat saat di pesantren. Bagaimana rasa rindu dan cintaku pada orang tua hilang karena aku merasa cukup dan bahagia karena ‘pemberian’ mereka, yaitu uang. Dan sejalan dengan Marx, bahwa faktor perubahan masyarakat akibat dinamika ekonomi atau dialektika materialisme. Dan cinta bukanlah cinta bagiku, cinta adalah seksual. Tak ada seks tanpa cinta. Tak perlu terlalu bermanis-manis, saling menggoda, merajuk-merayu kepada lawan jenis toh intinya seks. Itulah pemahamanku soal Marx, entah benar atau salah, jarang aku diskusi jadi tak begitu tahu kebenaran teoriku.

“Cocok sekali, dengan aku”Teriakku dalam hati

Belum lagi, aku mengenal nama-nama seperti Hassan Hanafi penggagas istilah Islam Kiri karena buku-buku yang dibawa oleh temanku saat kuliah atau saat kumpul bersama. Aku curi diam-diam, dan aku bawa ke kos. Besoknya aku ditanya, tapi aku tidak mengaku. Dalam buku itu aku menemukan arti lain dan sangat lain dari terjemahan Islam menurut kiai-kiai umumnya tentang Islam, bahkan Bapak. Islam diartikan sebagai agama perlawanan dan agama sosial. Ini pengertian lain sekali, tidak seperti umumnya.

Dari pada sedekah lebih baik memberdayakan

Dari pada mencerahami lebih baik menolong

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun