Mohon tunggu...
Anggara Adhari
Anggara Adhari Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

https://www.facebook.com/anggara.adhari.31

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Tertipu Wali Palsu

2 Desember 2017   06:47 Diperbarui: 2 Desember 2017   08:33 1681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : www.youtube.com

Wali dalam bahasa Arab (etimologi) berarti adalah 'seseorang yang dipercaya' atau 'pelindung', makna secara umum menjadi 'Teman Allah' dalam kalimat walyu 'llh (Majmu'atut Tauhid hal. 339). Kata 'wali' bila ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata 'al-wilayah' yg arti adalah 'kekuasaan' dan 'daerah' sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sikkit, atau terambil dari kata 'al-walayah' yg berarti pertolongan. Secara bahasa wali juga berarti "al qorib", yaitu dekat. Sedangkan secara terminologi, dasar para ulama untuk menyimpulkan makna wali Allah adalah firman Allah,  "Ingatlah sesungguh wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yg beriman dan mereka selalu bertakwa." (QS. Yunus 10:62-63)

Berikut ini adalah makna dari wali Allah yang disimpulkan oleh para ulama dari ayat tersebut:

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, "Allah mengabarkan bahwa wali-wali-Nya adalah setiap orang yang beriman dan bertakwa. Sebagaimana yang Allah jelaskan. Sehingga setiap orang yang bertakwa maka dia adalah wali Allah." (Tafsir Ibn Katsir, 4/278).

Imam Abu Ja'far At-Thahawi rahimahullah memberikan sebuah kaidah, beliau berkata,"Setiap mukmin (orang beriman, pen-) adalah wali Allah. Dan wali yang paling mulia di sisi Allah adalah wali yang paling taat dan paling mengikuti Al Qur'an." (Al-Aqidah ath-Thahawiyah, karya Imam Abu Ja'far ath-Thahawi)

Ibnu Abil 'Izzi rahimahullah berkata, "Wali Allah 'azza wa jalla adalah orang yang selalu melaksanakan segala yang dicintai Allah 'azza wa jalla dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan segala perkara yang diridhai-Nya." (Syarah al-'Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 360)

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Maksud wali Allah adalah orang yang mengenal Allah, selalu mentaati-Nya dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya." (Fathul Bri XI/342, karya al-Hfizh Ibnu Hajar al-'Asqalani)

Imam al-Lalika'i rahimahullah berkata, "Wali adalah orang yang beriman kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya yang termaktub dalam Al Qur'an dan terucap melalui lisan Rasul-Nya, memegang teguh syariatnya lahir dan batin, lalu terus menerus memegangi itu semua dengan dibarengi muroqobah (merasa selalu diawasi oleh Allah, pen-), kontinyu dengan sifat ketakwaan dan waspada agar tidak jatuh ke dalam hal-hal yang dimurkai-Nya berupa kelalaian menunaikan wajib dan melakukan hal yang diharamkan. (lihat Muqoddimah Karomatul Auliya', Al-Lalika'i, Dr. Ahmad bin Sa'd Al-Ghomidi, 5/8)

Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan, "Wali Allah 'azza wa jalla adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah 'azza wa jalla dengan berbagai amalan yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya." (Jami' al-'Ulum wal Hikam, hlm. 262)

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, "Wali Allah adalah orang beriman yang seakan-akan mereka dekat dengan Allah karena gemar melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat. Allah sendiri telah menafsirkan wali Allah dengan pengertian, mereka adalah yang beriman dan bertakwa. Mereka beriman dalam hal-hal yang diimani dan mereka bertakwa dengan menjauhi maksiat terhadap Allah. (Fathul Qadir 2/640, karya Imam Asy Syaukani)

Imam Ibnu Utsaimin berkata, "Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Mereka merealisasikan keimanan di hati mereka terhadap semua yang wajib diimani, dan mereka merealisasikan amal sholih pada anggota badan mereka, dengan menjauhi semua hal-hal yang diharamkan seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang harom. Mereka mengumpulkan pada diri mereka kebaikan batin dengan keimanan dan kebaikan lahir dengan ketakwaan, merekalah wali Allah." (Syarah Riyadhus Shalihin no.96).

Dari sekian banyak definisi wali Allah di atas, tidak ada satupun ulama yang mempersyaratkan bahwa seseorang yang berhak menjadi wali Allah adalah mereka yang telah mendapatkan keramat atau karamah (keajaiban-keajaiban). Karamah adalah kejadian di luar kebiasaan (tabiat manusia) yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya. (Syarhu Ushulil I'tiqad 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah 2/298 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)

Meyakini bahwa Allah menitipkan karamah kepada sebagian wali-Nya adalah akidah Islam yang benar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Dan termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah meyakini adanya Karomah para wali dan apa-apa yang Allah perbuat dari keluarbiasaan melalui tangan-tangan mereka baik yang berkaitan dengan ilmu, mukasyafat (mengetahui hal-hal yang tersembunyi), bermacam-macam keluarbiasaan (kemampuan) atau pengaruh-pengaruh." (Syarah Aqidah Al Wasithiyah hal.207).

Adapun meyakini bahwa setiap orang yang hendak mencapai derajat wali Allah dipersyaratkan harus memiliki karamah maka ini tidak benar karena sejatinya derajat kewalian tidak diukur dari karamah yang Allah titipkan kepada seseorang, tetapi diukur dari derajat keimanan dan ketakwaan seseorang sebagaimana kembali kepada definisi-definisi di atas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki karamah. Bahkan, wali Allah yang tidak memiliki karamah bisa jadi lebih utama daripada yang memilikinya. Oleh karena itu, karamah yang terjadi di kalangan para Tabi'in itu lebih banyak daripada di kalangan para Sahabat, padahal para Sahabat lebih tinggi derajatnya daripada para Tabi'in. (Disarikan dari Majmu' Fatawa 11/283)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa secara kasat mata wali Allah tidak bisa dibedakan dengan manusia pada umumnya, beliau berkata: "Para wali Allh tidak memiliki sesuatu yang membedakan mereka dan manusia umumnya dalam perkara yang mubah. Mereka tidak berbeda dalam hal pakaian, menggundul rambut atau memendekkannya, karena keduanya perkara yang mubah. Sebagaimana dikatakan, betapa banyak orang yang jujur memakai pakaian biasa, dan betapa banyak zindiq (perusak agama, pen-) yang memakai pakaian bagus."( al-Furqan Baina Auliy'ir Rahmn wa Auliy'is Syaithan hlm. 65-66, tahqiq Syaikh Salim al-Hilaly)

Mengapa pembahasan karamah kewalian ini harus didudukkan dengan baik? Karena banyak disalahpahami di kalangan masyarakat awam bahwasanya seorang wali adalah seseorang yang memiliki keajaiban atau hal-hal yang luar biasa. Padahal di dalam al-Qur'an, selain Allah menyebutkan tentang wali Allah, Dia juga menyebutkan adanya wali syaithon (setan). Sebagaimana di dalam firmanNya, "Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir berperang di jalan thaghut. Karena itu, perangilah wali-wali setan karena sesungguhnya tipu daya setan lemah." (QS. an-Nisa' 4: 76)

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Nashir Ar Rasyid rahimahullah memberi kesimpulan bahwa sesuatu yang di luar kebiasaan itu ada tiga macam: (1) Mu'jizat yang terjadi pada para Rasul dan Nabi, (2) Karamah yang terjadi pada para wali Allah, (3) Tipuan setan yang terjadi pada wali-wali setan (Disarikan dari At Tanbihaatus Saniyyah hal. 312-313).

Lantas bagaimanakah kita bisa membedakan yang mana wali Allah dan yang mana wali setan? Dalam hal ini ada kaidah yang sangat bagus dari Imam asy-Syafi'i rahimahullah. Al-Mufassir (ahli tafsir, pen-) bermadzhab Asy-Syafi'i Al-Haafiz Ibnu Katsiir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, "Yunus bin 'Abdil A'la berkata, "Aku berkata kepada Asy-Syafi'i, 'Al-Laits bin S'ad berkata, 'Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air maka janganlah kalian tertipu olehnya hingga kalian menimbang perkaranya di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah'." Maka Imam Asy-Syafi'i berkata, "Al-Laits rahimahullah masih kurang, bahkan jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di atas udara maka janganlah terpedaya olehnya hingga kalian menimbang perkaranya di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah" (Tafsiir Al-Qur'an al-'Adziim 1/326. Perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dengan sanadnya dalam kitabnya Aadaab Asy-Syaafi'i wa Manaaqibuhu hal 184)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Barang siapa yang menyelisihi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka dia adalah musuh Allah 'azza wa jalla dan wali setan." (Majmu'atut Tauhid hlm. 331)

Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah berkata, "Wali setan adalah orang-orang yang menyelisihi Allah 'azza wa jalla dan orang-orang yang tidak mematuhi anjuran Al-Qur'an dan As-Sunnah." (al-'Aqidah al-Islamiyah, hlm. 36)

Syeikh Ibnu Utsaimin --rahimahullah- berkata, "Diwajibkan bagi setiap umat Islam untuk menimbang perbuatan seseorang yang mengklaim dirinya sebagai wali dengan al Qur'an dan Sunnah. Jika sesuai dengan keduanya maka diharapkan ia adalah wali Allah, namun jika perbuatannya menyimpang dari al Qur'an dan Sunnah maka ia bukan wali. Allah -Ta'ala- telah menyebutkan dalam al Qur'an timbangan yang adil (penilaian yang obyektif) untuk mengetahui wali-wali Allah sebagaimana dalam firman-Nya, 'Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa' (QS. Yunus: 62-63). Barang siapa yang beriman dan bertakwa maka ia adalah wali Allah, begitu juga sebaliknya jika tidak beriman dan bertakwa maka ia bukan wali Allah. Dan jika dalam hatinya ada sebagian iman dan takwa, maka ia masih berpeluang untuk mendapatkan perwalian Allah. Namun demikian kita tidak boleh memastikan perorangan tertentu sebagai wali Allah, kita mengatakannya secara umum saja, bahwa bagi setiap orang yang beriman dan bertakwa maka ia adalah wali Allah. (Fatawa Muhimmah, hal: 83-84)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqolaani rahimahullah berkata, "Sesungguhnya yang terpatri di kalangan orang awam bahwasanya keajaiban/kesaktian menunjukkan barang siapa yang melakukannya adalah termasuk wali-wali Allah. Dan ini merupakan kesalahan dari orang yang mengatakannya. Karena sesungguhnya keajaiban/kesaktian terkadang muncul melalui tangan orang yang berada di atas kebatilan seperti tukang sihir, dukun, dan pendeta. Karenanya orang yang hendak menjadikan kesaktian sebagi bukti kewalian membutuhkan pembeda. Dan pembeda yang paling utama yang mereka sebutkan adalah dengan menguji kondisi/keadaan pemilik kesaktian/keajaiban tersebut. Jika orang tersebut berpegang teguh dengan perintah-perintah syari'at dan menjauhi larangan-larangan syari'at maka keajaiban tersebut merupakan tanda kewaliannya, dan barang siapa yang tidak demikian maka keajaiban tersebut bukanlah tanda kewalian" (Fathul Baari 7/383)

Dari seluruh keterangan di atas tentunya kita sudah dapat membedakan antara wali Allah dengan wali setan. Yang lebih penting dari itu adalah kabar gembira untuk kita semua bahwasanya kita semua memiliki kesempatan untuk menjadi salah satu dari wali-wali Allah dengan cara semakin meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita dengan berlandaskan al-Qur'an dan as-Sunnah. Tentunya derajat diantara wali Allah yang satu dengan yang lain bertingkat-tingkat.

Namun, secara garis besar bisa dibedakan menjadi dua tingkatan: yang pertama, As-saabiquun al-muqorrobun, yaitu hamba Allah yang selalu mendekatkan diri pada Allah dengan amalan sunnah di samping melakukan yang wajib serta dia meninggalkan yang haram sekaligus yang makruh; yang kedua, Al-Abror ash-habul yamin adalah hamba Allah yang hanya mendekatkan diri pada Allah dengan amalan yang wajib dan meninggalkan yang haram, ia tidak membebani dirinya dengan amalan sunnah dan tidak menahan diri dari berlebihan dalam yang mubah. (Al furqon baina awliyair rohman wa awliyaisy syaithon hal. 51, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

Mengapa kita dianjurkan untuk berlomba-lomba menjadi salah satu wali Allah? Apa manfaatnya bagi kita? Hal ini dijelaskan di dalam sebuah hadits Nabi, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Raslullh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allh Azza wa Jalla berfirman, 'Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.'" (HR. Al- Bukhri, no. 6502)

Imam ath-Thfi rahimahullah berkata, "Hadits ini merupakan asas (dasar, pen-) tentang jalan menuju Allh Subhanahu wa Ta'ala dan metode supaya bisa mengenal dan meraih cinta-Nya. Karena pelaksanaan kewajiban batin yaitu iman dan kewajiban zhahir yaitu Islam dan gabungan dari keduanya yaitu ihsn, semuanya terdapat dalam hadits ini, sebagaimana semuanya ini juga terkandung dalam hadits Jibril Alaihissallam. Dan ihsan menghimpun kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allah berupa zuhud, ikhlas, muraqabah, dan lainnya. (Fat-hul Bri XI/345, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani)

Sebagai closing statement (pernyataan penutup) dari seluruh uraian di atas maka akan saya nukilkan dua perkataan ulama agar kita semua tidak salah niat ketika ingin menjadi salah satu dari sekian banyak wali-wali Allah. Pada intinya yang kita cari adalah ridho Allah, bukan karamah karena karamah adalah hadiah dari Allah untuk memperteguh keimanan seorang hamba bukan sebagai tanda dari kehebatan dirinya. Dan ridha Allah hanya dapat diraih dengan senantiasa istiqomah menjalankan syariatNya.

Berkata Ibnu Abil 'Izz, "Mereka tidak mengetahui bahwasanya pada hakekatnya yang namanya karomah itu adalah melazimi keistiqamahan, dan bahwasanya Allah tidaklah memuliakan seorang hamba dengan memberikannya sebuah karomah yang lebih mulia daripada menjadikannya sesuai dengan apa yang dicintaiNya dan diridhoiNya yaitu taat kepadaNya dan taat kepada rasulNya, loyal kepada para walinya dan memusuhi musuh-musuhNya" (Syarh Al-Aqidah At-Tohawiyah II/755)

Berkata Abu Ali Al-Jaurjani : "Jadilah engkau orang yang mencari keistiqamahan, jangan menjadi pencari karamah. Sesungguhnya jiwamu bergerak (berusaha) dalam mencari karomah padahal Robb engkau mencari keistiqomahanmu". (Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah II/754)

Wanas'alullaha salamatan wal 'afiyah

Referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Wali

https://almanhaj.or.id/3604-hadits-yang-paling-mulia-tentang-sifat-sifat-wali-wali-allah.html

https://rumaysho.com/9151-wali-allah.html

https://rumaysho.com/998-antara-wali-allah-dan-wali-setan.html

https://asysyariah.com/meluruskan-makna-wali-allah-dan-mengenal-wali-syaithan/

https://rumaysho.com/9151-wali-allah.html

http://abuayaz.blogspot.com/2010/10/hakikat-karomah-wali-allah-dan-wali.html#ixzz4zbbfpVXT

https://www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/531-ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-12-pengingkaran-terhadap-wali-gadungan

https://islamqa.info/id/32470

https://rumaysho.com/853-menjadi-wali-allah-terdepan-melalui-amalan-sunnah.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun