Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Hari Guru: Sering Terlambat Sekolah

25 November 2022   23:39 Diperbarui: 25 November 2022   23:46 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Murni baru ditunjuk sebagai wali kelas II SD, di Kota Semarang. Hari pertama masuk kelas, disambut hangat oleh murid-muridnya. Murni memperkenalkan diri, dimulai dengan mengabsen jumlah siswa di dalam kelasnya.

Deretan bangku depan ke belakang berjumlah empat, dari pojok dinding melintas ke arah barat berjumlah 16 bangku. Satu bangku terdiri dua anak. Murni menyadari ada satu bangku yang hanya diisi satu anak saja. 

"Siapa yang duduk di sebelahmu, Lia?"

"Mia, Bu." Tegas Rinto, ketua kelas di sini.

Murni mencari sepucuk surat di dalam meja. Namun, tidak ditemukannya. 

"Lia, tahu. Kenapa Mia tidak berangkat?

Lia menggeleng lalu menjawab, "Biasanya sebentar lagi Mia berangkat, Bu."

Murni memandang ke arah jendela, tampak tak ada tanda-tanda keberadaan sosok muridnya. Hanya ada pohon-pohon yang tumbuh di halaman. Kicauan burung-burung, membuat suasana hening menjadi hangat. Kemudian, pelajaran Pendidikan kewarganegaraan (PKn) pun dimulai.

Dengan menjelaskan ke murid-muridnya tentang materi tema 'Hidup Rukun' saling berbagi dan tolong-menolong. 

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, Murni menengok ke arah pintu. Seorang anak tengah berdiri di ambang pintu, lalu melangkah pelan menuju meja guru.

"Bu, maaf. Mia datang terlambat." Mia menyalami wali kelasnya, Murni. 

Sang guru lekas menegur, "Kamu terlambat satu jam, Mia. Lain kali jangan seperti ini lagi." Mia disuruh duduk ke tempatnya.

Rambut Mia yang dikuncir kuda tampak berantakan, keningnya mengucurkan keringat. Diusapnya dengan lengan baju kanannya. Mirna menggeleng. Dan, melanjutkan pelajaran lagi yang sempat tertunda oleh keterlambatan muridnya.

...

Esok harinya, Mirna kembali mengajar di ruangan kelas II. Masih sama jam pelajaran pertama, dalam waktu tiga hari berturut-turut.

Yang terjadi masih sama. Mia muridnya melakukan kesalahan kemarin. Anak itu tampak lelah seperti habis mengejar waktu, untuk bisa datang lebih awal.

Kali ini, Mirna menghukum muridnya dengan berdiri di depan papan tulis selama 15 menit. Dengan memegang kedua telinganya. Murid-murid yang lain menahan tawa. 

Sang guru menegur, "Jika ada yang tertawa akan berdiri bersama Mia." Kelas kembali hening.

Pelajaran pun dilanjutkan kembali.

...

Ternyata keterlambatan Mia, sudah menjadi kebiasaan. Bahkan guru-guru lain sudah banyak yang tahu. Mia sering dihukum, terkadang disuruh keluar kelas untuk tidak mengikuti pelajaran.

Kalau seperti ini terus Mirna harus mengambil sikap. Mirna sebagai wali kelasnya ingin mencari tahu alasan Mia, mengapa sering datang terlambat? Sang guru ingin mengajarkan kedisiplinan kepadanya. Agar bisa datang lebih awal seperti teman yang lainnya.

Rencananya saat weekend, Mirna akan berkunjung ke rumahnya. Menemui Mia untuk berbicara dari hati ke hati.

Perjalanan ke rumah Mia, mengalami kendala. Jalan yang dilalui menanjak naik-turun. Bahkan sepeda motor tidak dapat melewatinya. Sang guru berjalan kaki, naik ke puncak menuju sebuah pedesaan.

Jarak rumah Mia ke sekolah lumayan jauh. Bisa saja alasan ini yang membuat muridnya sering datang terlambat. Pikir Mirna.

Di gubuk yang kecil, dengan pagar bambu. Ada seorang nenek yang tengah menumbuk padi. Mirna bertanya, "Benar ini rumah Mia, Nek. Saya wali kelasnya Mia, Nek." Sambil memperkenalkan diri.

Nenek itu pun menjawab, "Oh, Ibu gurunya Mia, toh. Mia sedang pergi ke warung sebentar Bu guru. Mungkin sebentar lagi pulang. Ada apa mencari Mia, Bu. Silahkan duduk dulu."

Mirna duduk di sebuah kursi kayu, yang tampak reot. Memandangi Nenek Mia yang sibuk dengan aktivitasnya. Lalu, mengatakan kepada neneknya. Mia sering datang terlambat sekolah. 

Neneknya berkata, " Mia itu sebelum berangkat nyapu rumah, cuci piring, dan cuci baju dulu. Bu. Maklum kalau terlambat. Mia anak yang penurut. Dia tidak mau neneknya kecapaian. Begitu, Bu."

Mirna mencerna setiap ucapan Nenek Mia. Masa tuanya masih bekerja, membesarkan Mia seorang diri. 

"Orang tua Mia kemana, Nek?"

Jeda

Mia muncul dari balik pohon yang menjulang tinggi menutupi jalan rumahnya. Membawa makanan untuk neneknya.

"Bu Mirna?"

..

Setelah mendengar cerita dari Nenek Mia, Sang guru sengaja menunggunya di perempatan jalan. Menunggu Mia untuk berangkat sekolah bersamanya.

Menunggu hampir setengah jam, Mia belum tampak batang hidungnya. Sang guru hampir menyerah. Mungkin muridnya lewat jalan lain. Tapi, entah di jalan mana lagi yang lebih strategis selain di sini. 

Tak menyangka muncul muridnya tengah mendorong gerobak sayur bersama sang nenek, berjalan ke arah lain. Bukan menuju tempat perhentian angkutan umum. Mirna mengikuti dari arah belakang.

Gerobak sayuran menuju ke sebuah desa yang lebih ramai para emak-emak berkumpul. Mia meninggalkan neneknya sendiri di sana, menawarkan dagangannya.

"Mia!" Sang guru memanggil.

"Kok Bu Mirna ada di sini."

"Ayo naik berangkat sama, Ibu." Ujar Sang guru.

Mia tersenyum, Mirna membalas senyum muridnya. Ternyata apa yang telah ia ajarkan padanya, sudah dilakukan oleh muridnya itu. Terharu. Seorang Mia yang sering dihukum karena sering datang terlambat. Dibalik semua itu, anak ini benar-benar memiliki kepribadian yang baik. Sikap tolong-menolong, dan hidup rukun bersama neneknya. Meski sebuah tanya dalam pikiran sang guru bergelayut, Kenapa Mia tidak tinggal bersama kedua orangtuanya saja? Mengapa harus memilih tinggal bersama neneknya?

Dalam perjalanan menuju sekolah, Sang guru akhirnya berani bertanya.

"Mia, di mana bapak sama ibu Mia? Kenapa kamu hanya tinggal bersama nenek?"

Muridnya menunduk, dan menjawab.

"Bapak sama ibu sudah tiada, Bu."

Ah, sesak dada ini. Sang guru salah bicara. Sebuah tanya membuat muridnya menangis, mengingat orang tuanya yang telah meninggal.

Setelah kejadian itu wali kelasnya lebih sering memperhatikan Mia. Berangkat sekolah bersama, dan pulang sekolah pun bersama-sama setiap hari.

***

Pemalang, 25 November 2022

#MemperingatiHariGuru

#CerpenAS

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun