Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel LSOD, Part 18 Kawan Dumay

9 Agustus 2022   22:15 Diperbarui: 9 Agustus 2022   22:26 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Senja ini bersama angin menari, menyisakan gundah ketika menyapa ujung rambutnya yang terurai.

Suketi menatap langit kuning keemasan lalu beralih ke jari mungilnya, lihai menyentuh layar ponsel.  Dia tersenyum membuka pesan.

Langkah Feri tergesa-gesa mendekat ke arahnya.

"Kenapa, Fer?"

Suketi mengamati gerak-gerik Feri yang mencurigakan. Ketika tangan kanannya merogoh secarik kertas dalam saku celana dengan sikap arogan memberikan itu padanya.

"Ambil ini. Kamu butuh teman curhat 'kan. Kamu bisa curhat sama temanku, Baja. Dia itu pendengar yang baik juga setia. Jika kamu tidak ingin dituduh seorang pelakor. Berhentilah menghubungi Rasit." Ujar Feri.

"Maksud kamu apa, Fer? Seenaknya bilang begitu," Jawab Keti ketus.

"Rasit sudah punya pacar, Ket!" Nada suara Feri makin meninggi.

"Tapi, aku sama dia cuma teman."

Feri membuang muka.

"Terserah! Aku sudah kasih tahu ke kamu yang sebenarnya. Ini baik untuk kamu. Jangan sampai menyesal di kemudian hari!"

Feri gegas pergi. Setelah mengakhiri percakapan punggungnya kini sudah jauh dari pandangan. Suketi masih terdiam di tempatnya. Menunduk mengambil secarik kertas yang dijatuhkan Feri barusan, tertulis angka dengan jumlah dua belas digit-- tertera satu nama di sana. BAJA. Dia mengetik nama Baja ke dalam kontak ponsel.

**

Rasit: [Ket, tumben sms aku nggak dibales]  

Rasit: [Masih sibuk ya]

Rasit: [ Kalau udah nggak sibuk. Pliss bales pesanku]

Rasit mengirimkan pesan berulang-ulang. Menimbulkan getar di ponselnya. Keti mengabaikan pesan dari Rasit karena berniat menjauhinya. Gadis yang terbiasa mengikat satu rambutnya dengan berat hati menghapus dan memblokir facebook Rasit.

Pikiran Keti ruwet dihadapkan suatu masalah percintaan. Kini tak ada Rasit sebagai tumpuan beban.

Dia ingin meluapkan amarah dan butuh teman curhat. Namun, tak tahu kepada siapa? Deva sahabatnya mungkin sekarang sudah istirahat. Apalagi besok akan ada pertandingan basket. Suketi tidak ingin mengganggunya dan itu bisa saja membuat semangat Deva menurun.

Harapan terakhir ada pada secarik kertas pemberian Feri. Ia ragu tapi mulai mengetik pesan singkat.

SUKETI: [Hey...]

Masih belum ada jawaban. Suketi terus mengirimkan pesan yang sama berharap teman Feri menanggapi.

Dret .... 

Nada pesan bergetar terdapat pesan balasan dari Baja.

Baja:  [Siapa?]

Suketi: [Keti, maaf ganggu. Boleh kenalan nggak]

Ternyata Baja menelpon. Keti menekan tombol hijau. Suara Baja terdengar jelas di telinganya.

"Keti, Keti siapa? Kamu dapet nomor ini dari mana?"

"Temen kamu. Kamu Baja 'kan."

"Iya. Siapa orangnya?"

"Adalah pokoknya nanti juga kamu tahu."

"Oh, gitu. Ada perlu apa?"

Sejenak Suketi terdiam mencari jawaban yang pas agar tidak membuatnya tersinggung.

"Aku butuh teman curhat. Apa kamu mau jadi teman curhatku?"

Jawaban Suketi membuat Baja tertawa di ujung telepon.

"Bisa nggak basa-basi dikit. Serius kamu baru kenal mau curhat," tanya Baja menahan tawa.

 Gadis itu tersipu malu.

"Buat apa bohong 'ya beneran, lah!"

Keti membenarkan posisi duduknya di tepi ranjang.

"Kamu sekolah di mana, Ket? Kelas berapa? Lagu favorit kamu apa? Apa warna kesukaan kamu terus_"

"Bisa nggak nanyanya satu-satu," potong Keti.

"Haha... , ini tuh yang namanya basa-basi dulu, Ket."

Kali ini Baja meledek lawan bicaranya. Dia menyanyikan lirik lagu ini, "Mungkin aku bukan pujangga yang pandai merangkai kata. Mungkin aku tak selalu ada di dekatmu.... "

Keti terhanyut dalam suasana, "apa judulnya?"

"Bukan pujangga dari Base Jam," jawabnya yang kemudian mengganti lirik lagu lain. "Oh mungkinkah diri ini, dapat merubah buih.. Yang memutih menjadi permadani, seperti pinta yang kau ucap dalam janji cinta. Juga mustahil bagiku

Menggapai bintang dilangit. Siapalah diriku. Hanya insan biasa. Semua itu. Sungguh aku. Tiada mampu.... "

Keti menyela, "Ehem..., Kalau kamu nyanyi terus. Kapan giliran aku ngomong, Ja?"

Baja terbatuk-batuk. "Itu lagi ngomong," sindirnya.

"Ya sudah aku matikan teleponnya."

"Ngambek."

"Nggak."

Keti menggigit bibir. Baja menarik nafas panjang dan terdengar hembusan angin. Gantian Keti menelan liur. Hening. Keti membuka pokok pembahasan. Masalah tentang percintaannya yang mengecewakan. 

Di akhir kalimat, Baja menasehatinya.

"Jangan terlalu memikirkan seseorang yang tak pantas kamu cintai. Tidak apa-apa untuk menangisi dia. Bahkan memaafkannya pun tidak apa-apa. Tapi jangan kembali padanya. Jika dia tidak tahu bagaimana cara mencintaimu pertama kali, dia tidak akan tahu bagaimana menghargai pengorbananmu."

Suketi sejenak menyimpan ucapan Baja dalam memori otak. Perkenalan pertama Keti dengan Baja di malam itu membuat keduanya tak bisa tidur.

**

Di lapangan Deva belum juga menemukan sahabatnya. Dia jarang terlihat akhir-akhir ini. Membuat Deva gelisah sepanjang pertandingan.

Eca yang menonton pertandingan basket antar kelas. Pada waktunya beristirahat segera mendekati kapten basket-- pria berkulit coklat menyadari kehadiran Eca disampingnya.

"Dev, nggak perlu nungguin Keti. Paling dia sibuk sama gebetannya yang baru. Apalagi Richat pergi ninggalin dia demi aku." 

Eca sengaja memanasi Deva agar dia membenci Keti. Membiarkan dia sendirian di Perpustakaan. Berkawan dengan buku-buku bacaan. Menurut Eca, Suketi tidak layak berteman dengan Daffa. Dia lebih pantas jadi kutu buku dan penghuni tetap di Perpustakaan. Eca tersenyum puas.

Namun, apa yang dikatakan Eca kepada Deva. Tidak ada pengaruhnya. Pria itu terus memikirkan Suketi.

Lalu melangkah menuju kelas IPA mencari Suketi di sana tapi kelas sepi.

Keadaan di Perpustakaan pun sama tak ada gadis yang ia cari. Lantas kemana sahabatnya pergi? Bukankah seharusnya dia ada di sini. Deva mencari ke arah kantin sekolah. 

Ternyata gadis itu asyik mengobrol dengan Putra. Sambil melahap setengah gorengan tempe serta menikmati segelas es teh.

"Ket, kenapa nggak nonton pertandingan? Apa udah bosan nyemangatin aku? Hemm_" 

"Bukan gitu. Aku udah nonton, dan sekarang aku laper makanya ke kantin dulu. Habis ini niatnya mau ke lapangan lagi. Eh, udah selesai yah pertandingannya."

"Alasan."

Deva tidak percaya dengan penjelasannya. Ia yakin Suketi sengaja menghindarinya. Sepandai-pandainya sahabatnya berbohong dia akan bisa menebak tanpa perlu menunggu waktu yang lama.

Deva teringat secarik kertas berisi puisi buatannya berharap gadis itu sudah membukanya.

"Dev, kamu marah yah. Tadi kan aku dah minta maaf. Kamu maafin aku dong," kedua tangan Suketi mengapit untuk memohon. 

Suketi mencoba meyakinkannya. Sampai Deva luluh dengan tatapan teduh yang selalu ia tunjukkan padanya. Mata bening itu dan bibir tipis Keti mampu meluluhkan amarah Deva. Sekilas deretan gigi yang rapi nampak jelas di mata Suketi. Deva sahabatnya kembali seperti semula. Bercanda lalu mengusap ujung kepalanya pelan. Suketi senang jika sahabatnya kembali tersenyum seperti itu.

Memperhatikannya sepanjang hari. Walaupun di tempat keramaian, mereka sama sekali tak peduli. Deva memang sahabat terbaiknya.

"Sudah sana lanjutin basketnya," Keti menyuruh Deva pergi.

"Sip, bikin sepet ja ni mata." Sela Putra.

Deva mengambil minuman gelas milik Suketi, menghabiskan hingga tandas. 

"Cape tahu, Ket. Boleh ikutan gabung 'kan?"

Merasa terganggu dengan kehadiran Deva, Putra memilih untuk menghindar. Keti merasa ada yang salah. Jadi, dia putuskan mengikuti Putra masuk ke dalam kelas. 

Deva kesal karena Keti memilih mengekor Putra menuju ke kelas mereka.

"Aku duluan, Dev."

"Dih, mau kemana? Kebiasaan kamu, Ket."

Deva menendang kaki meja, semua mata siswa melirik ke arahnya. Semakin kesal membiarkan Keti melangkah jauh. Percuma dikejar, Suketi akan terus menghindarinya. Untuk kali ini Deva membiarkan sahabatnya bersama dengan orang lain.

***

Pemalang, 9 Agustus 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun