"Alasan."
Deva tidak percaya dengan penjelasannya. Ia yakin Suketi sengaja menghindarinya. Sepandai-pandainya sahabatnya berbohong dia akan bisa menebak tanpa perlu menunggu waktu yang lama.
Deva teringat secarik kertas berisi puisi buatannya berharap gadis itu sudah membukanya.
"Dev, kamu marah yah. Tadi kan aku dah minta maaf. Kamu maafin aku dong," kedua tangan Suketi mengapit untuk memohon.Â
Suketi mencoba meyakinkannya. Sampai Deva luluh dengan tatapan teduh yang selalu ia tunjukkan padanya. Mata bening itu dan bibir tipis Keti mampu meluluhkan amarah Deva. Sekilas deretan gigi yang rapi nampak jelas di mata Suketi. Deva sahabatnya kembali seperti semula. Bercanda lalu mengusap ujung kepalanya pelan. Suketi senang jika sahabatnya kembali tersenyum seperti itu.
Memperhatikannya sepanjang hari. Walaupun di tempat keramaian, mereka sama sekali tak peduli. Deva memang sahabat terbaiknya.
"Sudah sana lanjutin basketnya," Keti menyuruh Deva pergi.
"Sip, bikin sepet ja ni mata." Sela Putra.
Deva mengambil minuman gelas milik Suketi, menghabiskan hingga tandas.Â
"Cape tahu, Ket. Boleh ikutan gabung 'kan?"
Merasa terganggu dengan kehadiran Deva, Putra memilih untuk menghindar. Keti merasa ada yang salah. Jadi, dia putuskan mengikuti Putra masuk ke dalam kelas.Â