Bersandar di bahu belakangnya terasa nyaman. Deva sahabatnya tengah mengayuh sepeda dengan riang. Dia tampak bahagia saat keduanya saling bercerita pengalaman hidup. Seperti kemarin Deva yang salah makan, pernah ngerjain teman sekelas dan obrolan berakhir soal mengagumi teman.
Ada saja tingkahnya di sekolahan. Mereka beda kelas jadi Keti tak pernah tahu keisengan yang sudah dilakukannya. Deva terlalu jujur menceritakan apapun kepadanya termasuk masalah pribadinya di luar sekolah.
"Turun, Sek. Sudah sampai."
Ucapan Deva membuat Keti tersadar dari lamunan. Terlihat sebuah jembatan di sebelah utara ada sungai yang memanjang lalu ada rumah tak bertetangga. Deva mulai memasuki rumah tersebut dengan Keti yang berjalan beriringan. Tangannya mengetuk pelan pintu cat berwarna hitam. Putra membuka pintu rumahnya dan tersenyum menyapa mereka.
Putra sudah mempersiapkan cemilan dengan minuman tanpa harus kawannya menunggu lagi. Sepertinya kedatangan mereka ke situ sudah direncanakan. Keti menebak sendiri itu pasti.
"Ket, ada seseorang yang ingin menemui-mu," ucap Putra membuka pembicaraan.
"Siapa?"
Sosok pria berbadan tegap, sedikit gempal dengan lesung pipit sebelah pipi menyembul dari arah dapur. Duduk bersama mereka. Tak sengaja mata Keti bertemu lalu ia arahkan pandangan lain menuju ke wajah Putra.
"Ket, ini Richat teman semasa kecilku. Rumahnya dekat dari sini di seberang selatan itu."
Jari Putra menunjuk kebun di pinggir jalan sungai, hanya melihat lewat jendela kaca tamu. Rumah Richat sudah bisa terlihat jelas. Keti hanya mengangguk-angguk kepalanya dua kali, sebagai tanda mengerti.
Richard mulai memainkan gitar miliknya, yang sudah di taruh di pojok dinding sejak tadi. Sedangkan Deva memainkan tangannya lewat meja kursi tanah dan kaki. Sampai mengeluarkan bunyi ketukan layaknya drum yang pas dengan irama lagunya.