Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen- Kontrakan Angker

30 Maret 2022   19:25 Diperbarui: 30 Maret 2022   19:27 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja telah berlabuh menuju ke singgasana namun langit tetap cerah. Dua perempuan berhijab bersama satu anaknya masing-masing tengah menunggu seseorang.

Lelaki yang mengendarai sepeda motor bermerek Honda menghentikan laju kendaraan. Beranjak menyapa mereka.

"Maaf, Bu. Sedikit telat. Mari masuk," ajaknya dengan senyum datar.

Lelaki dengan celana pendek dan kaos berlapis jaket bernama Idham segera membuka gerbang rumah kontrakan.

Rumah dengan halaman yang luas terdapat taman, dulunya bekas kolam ikan, dinding berlumut sedikit lembab sudah bukan lagi air terjun buatan.

Selain itu halaman depan, rencananya akan dibuat Toko kecil-kecilan, oleh orang yang ingin mengontrak.

"Ini ruang tamunya, Bu." Ujar Idham sembari menjelaskan ruang lain.

"Luas ya, Mas. Temboknya kayak baru di cat," tutur Bu Rani perempuan bercadar yang nantinya akan tinggal di Kontrakan ini.

Bu Rani datang bersama sahabatnya yang rumahnya lumayan dekat dari sini. Namanya Bu Darmi. Anak Bu Rani yang berbadan gempal berusia lima tahun ikut melihat-lihat dan masuk ke dalam. 

"Mah, mah ... Airnya hitam ada ikannya nda."

Bu Rani tertawa melihat ucapan anaknya. Saat di ruang dapur, anak Bu Rani dan Bu Darmi mendekati ruang yang lain. Ada Taman di ruang belakang. Dindingnya seperti patung guratan tubuh wanita tanpa busana. Anak Bu Rani karena penasaran meraba-raba patung tersebut. Dibarengi dengan anak Bu Darmi yang memutar-mutar keran namun airnya macet, tidak mengalir sama sekali. Sanyo sengaja dicabut.

Idham, Bu Rani dan Bu Darmi kini beranjak ke ruang kamar kosong yang dindingnya masih belum diapa-apakan. Warna putih kusam dan menguning meskipun lantainya bersih tetapi tercium bau amis.

"Mas Idham itu pintu bisa tembus ke belakang toh," Bu Rani membuka pintu yang menghadap ke Selatan. 

Tembus ke balkon, ada pohon pisang dan mangga serta rumput liar yang tumbuh sembarang. Celurut berlarian di atas atap, keluar dari lubang ventilasi. Tikus kecil yang berbau tidak sedap, hidup di tanah, pemakan serangga, bermoncong panjang, berbulu coklat keabu-abuan, matanya kecil dan sipit. Membuat gaduh, Bu Rani terperanjat.

"Maklum, Bu. Lama tidak ditinggali jadi ada CELURUT. Nanti, gampang diberi racun biar kabur." Tegas Idham.

"Ya, emas. tidak masalah, saya suka tempatnya. Sudah lihat video sama fotonya jadi ingin langsung ke sini untuk memastikan lagi."

Bu Darmi menimpali, " Bener, Ni. Kalau kamu di sini kan bisa deket sama rumahku. Jadi, saya bisa sering ke sini."

"Rencana mau tinggal berapa orang, Bu?" Tanya Idham.

"Cuma berdua sama anak, sekalian jualan nanti di teras depan dibikin toko pakaian. Kan di situ terasnya lumayan luas." 

Idham bergeming, dia mengira akan ditinggali empat orang. Ramai. Ternyata dugaan itu salah, satu perempuan lagi adalah teman dekatnya. Idham menjadi ragu apakah Bu Rani betah di sini. Apalagi kalau tahu rumah kontrakan ini angker.

Idham teringat ucapan ibunya, waktu pertama kali menilik rumah ini. Ketika ingin membuka keran air di taman itu. Taman yang tengah dimainkan anak Bu Rani. Ibunya melihat penampakan wanita berambut panjang, berpakaian putih, mukanya rata dan mengeluarkan banyak darah.

"Mamah, Ayuk. Mah ... Ayuk... " Tiba-tiba saja anak Bu Rani dan Bu Darmi seperti ketakutan. Meminta pulang.

Awal mula begitu senang, masuk bermain-main bersama temannya. Ini lain, Idham menebak ada sesuatu yang sedang disembunyikan. Bisa saja hantu penunggu rumah ini menampakkan diri.

"Bagaimana Bu? Jadi, kontrak di sini. Kalau jadi, lebih baik DP dahulu. Sebelum yang punya kontrakan berubah pikiran, naik lagi seperti semula menjadi 10 jutaan. Kalau ini kan cuma 7 jutaan setahunnya."

"Jadi, emas. Pasti jadi, nanti malam saya izin ke Suami. Paling besok DP nya. Nanti malam saya hubungi lagi sama emas Idham."

Bu Rani berpamitan, anaknya terus menarik paksa ke luar pintu gerbang. Bahkan wajahnya tidak berani melihat lagi ke arah pagar rumah kontrakan.

Idham membatin, 'semoga cair.' dia tak memikirkan urusan mereka yang akan tinggal berdua saja. 

Malam telah larut, Idham tengah berbaring di atas ranjang sambil menatap layar ponsel. 

Pesan dari Bu Rani masuk.

Bu Rani [maaf, emas Idham. Anak saya tiba-tiba saja menolak. Sepertinya saya tidak jadi ngontrak di situ.]

Idham menarik napas panjang lalu jemarinya membalas pesan dari Bu Rani.

[Ya, Bu. terima kasih.]

Sudah yang kesekian kali, setiap orang yang akan mengontrak selalu berubah pikiran. Idham mendatangi Bude Ratih, pemilik rumah kontrakan.

"Gagal lagi, Bude. Bude kalau boleh tahu dahulu rumah kontrakan itu punya siapa?"

Idham memberikan kunci rumah kontrakan kepada Bude Ratih. Dan, menggeser kursi kayu ke arah televisi. 

Bude Ratih mulai bercerita, memutar waktu di mana dia kerapkali akan merenovasi rumah kontrakan itu. Ada kejadian yang membuat nyeri. 

Saat pukul 12 siang, tukangnya tak berhenti  membetulkan genting. dia MENGGERUNG terpental dari atas menuju lantai keramik. Seseorang mendorong namun tak tampak batang hidungnya. Setelah itu sampai sekarang, tulang kakinya patah. 

Bude Ratih merasa bersalah setelah kejadian itu si tukang akhirnya menjadi pengangguran. Tiga anaknya yang kecil-kecil menggantungkan pendapatan dari sang ibu. Dan, anak terakhir terpaksa dirawat oleh mertuanya.

"Jadi, benar Bude kontrakan itu memang angker. Ada perempuan berambut panjang, bermuka rata," Idham bertanya sekali lagi.

"Loh, Idham tahu dari mana. Idham pernah lihat hantunya?"

"Kata Ibu Idham, Bude."

"Benar ada, Dham. Itu hantu wanita simpanan pejabat yang dahulu menempati rumah itu. Dia meninggal di rumah itu juga," ujar Bude Ratih dengan memandang langit-langit atap. 

"Mengapa Bude baru bilang sekarang?!" Gertak Idham mendelik. 

"Bude tidak ingin mengungkapkan kebenaran di rumah itu, Bude cuma ingin rumah itu bisa dijual atau bisa dikontrakkan lagi. Kalau perlu hantu itu diusir dari sana."

"Tidak semudah itu, Bude. Kalau memang hantu itu meninggal di rumah kontrakan. Untung saja Idham bisa merasakan setiap kali datang sendirian, bulu kuduk Idham sedikit merinding. Ternyata kontrakan itu memang angker. Seperti yang dibilang ibu."

"Dham, yang penting kamu bisa dapat komisi," ujar Bude Ratih.

Idham tahu dia juga butuh uang. Tetapi sudah tak ada harapan, rumah kontrakan itu bisa mencairkan cuan. 

...

Sepuluh tahun yang lalu, pemilik rumah kontrakan ini atas nama Pak Darma. Pria paruh baya yang bekerja sebagai pegawai negeri. Pak Darma menikah lagi dengan wanita penghibur di Terminal. 

Entah, apa yang membuat Pak Darma sampai hati menduakan istri pertamanya. Wanita jalang itu bernama Ayu. Dia masih muda, seksi berambut panjang dengan lesung Pipit yang aduhai. Pria mana pun akan jatuh hati kepadanya. 

Ayu bersedia menjadi istri simpanan Pak Darma karena Beliau menjanjikan sebuah rumah mewah di Kota kelahirannya.

"Kapan Ayu dikenalkan sama istri pertama Kang emas?"

Suatu ketika Ayu merayu Darma di meja makan. Mendengar istri simpanannya merajuk, Darma langsung tersedak.

"Huum, sabar Yu. Tunggu waktu yang tepat. Agar Ratih tak sakit hati, saya takut penyakitnya kambuh. Dia itu punya riwayat jantung."

Ayu yang tak kehilangan akal diam-diam mencari tahu alamat istri pertama suaminya. Dengan menyuruh seseorang mengikuti Darma sampai ke angsana.

Lewat pesan pribadi suruhannya sudah mengirimkan alamat lengkap kediaman Ratih. 

Dengan bermodal uang dari sang suami, Ayu nekat keluar rumah tanpa izin. Dengan naik taksi, beruntung Ayu tinggal sendiri. Jadi, dia tak khawatir ketahuan suaminya.

Ayu akhirnya bisa bertatapan langsung dengan Ratih, istri pertama suaminya. Ternyata sangat sederhana dan kalem.

"maaf, cari siapa yah Mbak?"

"Saya ingin bertemu dengan Bu Ratih," kata Ayu.

"Ini saya Ratih, ada kepentingan apa Mbak mencari saya? silakan masuk."

Rumah tingkat bergaya kuno, lebih mewah dari rumahnya. Diisi oleh empat anaknya, dua pembantu, sopir, istri pertama dan Darma Suaminya.

"Foto keluarga Bu Ratih tampak bahagia," Ayu menyibak rambut panjangnya, kepanasan. Melihat raut muka di foto keluarga yang tersenyum bahagia.

Ayu juga ingin memiliki keluarga utuh, sayangnya dia belum memiliki anak dari Darma. Wanita itu tanpa basa-basi memulai membicarakan maksud kedatangannya.

"silakan diminum dahulu," Ratih yang berpikir positif mungkin saja wanita di depannya adalah teman lama yang dilupakan sesaat.

"Saya istri kedua emas Darma," Ayu memperlihatkan foto pernikahan mereka yang hanya menikah siri dihadiri beberapa orang saja.

Ratih naik pitam, tak terima dengan kenyataan bahwa suaminya telah berselingkuh dan menikah lagi.

"Saya tidak percaya semua ini, lebih baik kamu angkat kaki dari sini." Ratih mengusir Ayu.

"Oke, kalau tidak percaya tanyakan saja pada suami anda. Permisi." Ayu pamit.

.....

Kemarahan Darma tak bisa terbendung, dia mendatangi Ayu dengan wajah beringas.

"Ayu... Ayu! Di mana kamu," teriak Darma dari pintu depan. 

"Kang emas, ada apa?  Datang-datang marah-marah."

Darma menjambak rambut panjang Ayu yang terurai.

"Dasar wanita jalang, sudah dikasih hati masih saja bertingkah."

"Aduh, duh. mas. Sakit. Lepasin," Ayu MENGGERUNG kesakitan. 

Darma tak segan menampar Ayu sampai bibirnya lebam dan mengeluarkan darah. Ayu didorong jatuh ke lantai. Darma lalu mencari sapu di ruangan lain.

Ayu berusaha kabur lewat pintu belakang di dekat dapur.

Darma yang mengetahui Ayu kabur cepat-cepat menyusulnya. Dalam PELARIAN yang belum jauh. Ayu tertangkap basah saat sembunyi dari rerimbunan daun pisang. 

Tubuhnya diseret paksa oleh Darma. Kaki Ayu berjalan terpincang-pincang. Sekuat tenaga Ayu meronta. Darma memukul kepalanya hingga pingsan. 

Dalam keadaan pingsan Darma mengangkat tubuh Ayu, menaruhnya di sebuah lemari kaca. Dengan tega membunuh secara perlahan. 

lemari kaca itu dilapisi semen dibuat semacam hiasan, air terjun di taman belakang. Ada kolam ikan, juga patung yang diukir mirip wajah Ayu. 

Tidak ada yang tahu tentang kepergian Ayu,    tak ada yang merasa kehilangan. Setelah kepergian Ayu rumah mewah itu diwariskan oleh istri pertamanya.

***

Pemalang, 30 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun