Mohon tunggu...
Akmal M Roem
Akmal M Roem Mohon Tunggu... wiraswasta -

menyukai sesuatu yang mudah dipahami, enak dibaca, segar untuk dicerna, senang untuk dikerjakan. Guru SM-3T Aceh. Mengajar di pedalaman Kalimantan Barat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cikgu Aceh di Borneo (Suka Duka di Peradaban Suku Dayak)

22 Februari 2013   13:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:52 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OKTOBER lalu aku tiba Pontianak. Aku bersama 101 peserta SM-3T (Sarjana Mengajar Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) lainnya ditempatkan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Di sini, kami akan menetap selama satu tahun. Mengabdi di sekolah pedalaman dan menjadi bagian dari masyarakat yang belum pernah kami kenal sebelumnya.

Ada banyak temanku yang menangis membayangkan tempat penempatan. Jauh dari listrik, tidak punya jaringan komunikasi, dan hal-hal  lain yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Kami merasa seperti terlempar jauh dari peradaban. Bagaimanapun risiko seperti itu sudah kami pikirkan jauh-jauh hari sebelum diberangkatkan. Kami akan ambil tanggung jawab tersebut.

Aku dan temanku, Rahimin, ditugaskan di SMPN 4 Satu Atap Entikong, Dusun Serangkang, Desa Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

“Ini,” kata Pak Suharna, Kepala Sekolah SMPN 4 Satu Atap Entikong. “Tempat yang cukup menantang.”

Dia mungkin sedang memaparkan sejenis isolasi. Di dusun tersebut, sinyal komunikasi hampir tidak ada. Listrik belum tersedia. Hanya beberapa warga yang mampu membeli genset untuk sekadar menerangi rumah mereka pada malam hari. Selebihnya hanya pelita.

Pak Suharna merupakan perantau dari Yogyakarta. Dia telah menetap di Kalimantan Barat sejak 1997. Bercita-cita mengajar di sekolah favorit, guru penuh prestasi ini harus merantau ke Kalimantan Barat menjadi pegawai negeri mengikuti keinginan orang tua. Pernah menjadi guru di SMPN 1 Entikong selama beberapa tahun. Pada 2008 dia dipindahkan ke SMPN 4 Satu Atap Entikong.

Untuk memenuhi daya tampung siswa sekolahnya, setiap tahun Pak Suharna ke kampung-kampung mencari murid yang ingin sekolah. Di sini, perjalanan mencari murid bukan perkara mudah. Kadang harus naik perahu motor di Sungai Sekayam serta berjalan kaki menanjaki perbukitan mencari murid yang ingin sekolah. Ini pekerjaan yang dilakukan setiap musim libur. Hingga kini telah dua angkatan lulus.

Pagi Sabtu, dari kediaman Pak Suharna, kami menempuh perjalanan pertama ke sekolah. Setelah 20 menit melewati jalan lintas perbatasan Indonesia-Malaysia, kami kemudian menanjak di satu persimpangan.

Jalan yang hanya dilapisi bebatuan ini menyajikan kondisi yang cukup mengkhawatirkan serta menguji ketabahan penggunanya. Badan jalan kecil; penuh dengan tanjakan tinggi; dan dipenuhi lubang besar.

Beberapa kali kami melihat jurang curam. Kami juga bisa melihat lahan sawit yang terbentang luas. Tiba di sekolah, awalnya aku menduga fasilitas di sini masih jauh dari layak. Namun, ternyata usaha yang dibangun oleh sekolah dengan warga telah membuat sekolah ini tampak bersih dan rapi.

Sekolah kecil ini terlihat nyaman. Meski hanya ada tiga ruang kelas dan satu ruang guru yang disekat sebagian untuk ruang perpustakaan, tempat ini indah dan nyaman.

Sekolah ini memiliki siswa 31 orang. Beberapa siswa telah berhenti. Alasannya pun beragam: menikah, jauh dari tempat tinggal, bahkan ada yang memilih membantu orang tua di ladang. Pak Suharna pernah mengajar semua mata pelajaran. Kini, sekolah ini telah memiliki 4 guru pegawai negeri dan 3 guru honorer.

Setelah acara penyambutan di sekolah, aku dan Rahimin diajak Pak Suharna melihat dusun Serangkang. Sepanjang jalan lorong dusun ini, puluhan tikar yang terbuat dari rotan terbentang di jalanan. Warga menjemur padi dan sahang (lada).

Menurut Herman Jumani, Kepala Dusun Serangkang, sebagian besar penduduk berkebun sahang karena dinilai cukup mudah mengurusnya. Penjualan lada hitam sebagian ditujukan kepada pasar-pasar di Malaysia.

Dulu, para petani juga banyak yang berjalan kaki  lebih dari 2 jam melintasi bukit menuju Malaysia memasarkan sahang sekali jalan. Kadang-kadang mereka membawa 10-20 KG sahang ke Malaysia.

Sekarang, mereka cukup mudah menjual barang tersebut pada agen yang menunggu di pasar Entikong di dekat perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Sahang berwarna hitam dijual Rp48.000/kg dan yang berwarna putih berkisar Rp70.000/kg. “Namun, harga tersebut bisa saja berubah. Tergantung dolar atau ringgit,” kata kepala dusun.

Harga sahang di Entikong memang termasuk murah ketimbang di Serawak yang menggunakan mata uang ringgit. “Agen harus berurusan dengan dua pintu pajak. Mereka memberi upeti pada imigrasi Indonesia dan Malaysia. Kadang, nilai uang Malaysia naik satu atau dua ratus rupiah kami tidak tahu. Hanya, kami berpatokan satu ringgit itu tetap tiga ribu rupiah,” terang Herman.

Setelah beramah-tamah dengan kepala dusun, kami diajak melihat dapur umum. Di situlah tempat kami tinggal nantinya. Tepat di depan dapur tersebut, ada sebuah bangunan adat yang besar.

Namanya Balai Bentang Panjang “Suka Senang” berdiri kokoh. Di tempat inilah segala kegiatan dusun ini dilaksanakan, seperti pesta pernikahan, Natalan, dan perayaan Gawai.

Pesta adat Gawai, kata kepala dusun, memiliki arti penting dalam mengikat persaudaraan antara sesama keluarga dan masyarakat Dayak. Perayaan ini juga merupakan tanda bagi masyarakat menikmati hasil ladang yang selama ini mereka kerjakan. “Inilah syukuran atas pemberian Tuhan,” ungkapnya.

“Perayaan Gawai diadakan dua sampai empat hari pada bulan Mei. Pemerintah sudah menetapkan kegiatan ini dilangsungkan pada tanggal 20 Mei,” tambah Herman.

Selain penduduk di sini, tetamu dari luar juga diundang dari berbagai tempat. “Termasuk sanak saudara kami yang ada di Serawak, Malaysia. Bahkan juga ada orang Dayak asal Kalimantan yang sudah menetap di daerah lain biasanya juga pulang. Kalau sudah mulai Gawai di sini, orang Dayak Malaysia ke sini begitu pula sebaliknya,” jelas Herman.

Aku sudah tak sabar berharap bisa ikut kegiatan ini.

Suku Dayak sudah turun-temurun menetap di dusun ini. Mayoritas mereka beragama Kristen dan Katolik. Menurut Herman, ada tiga kepala keluarga dari Jawa beragama Islam yang tinggal di dusun ini.

Keseharian mereka juga berkebun sahang dan ada juga yang bekerja di perkebunan sawit. Namun, mereka sudah terbiasa berbaur bersama. Yang pasti di sini, tak ada surau. Bila ingin salat Jumat, kami harus menuju ke Entikong atau Balai Karangan.

Ada hal menarik di sini, tuak (ijok masam) sudah menjadi minuman sehari-hari. Segala umur bisa bebas menikmati tuak. Setiap pendatang pasti akan disodori tuak sebagai jamuan atas sikap penghormatan orang kampung terhadap pendatang.

Kepala dusun mengajarkan kami cara menolak setiap makanan atau minuman yang ditawarkan oleh warga. Kami hanya perlu menyentuh tempat makan atau minuman yang disuguhi itu, lalu meletakkan ke leher atau bibir kami.

“Tolak yang halus agar kita tidak kempunan,” ujarnya.

“Bagi orang di sini,” lanjut Herman. “Kempunan adalah kecelakaan atau malapetaka yang bisa mengakibatkan kematian. Meski tak harus menjamah makanannya, kita bisa sekadar menyentuh tempat makan atau minum tersebut.”

Cerita tentang orang Dayak diliputi oleh hal-hal gaib dan mistik bukanlah hal yang mengherankan. Pada saat pra-kondisi di Banda Aceh, seorang pemateri menuturkan tentang hilangnya kemaluan temannya saat berada di Kalimantan Barat. Namun, organ penting itu bisa kembali lagi berkat bantuan masyarakat setempat.

“Alasannya sederhana,” tutur si pemateri. “Ketika ditanya seorang warga kampung, apakah kamu membawa bekal? Teman saya menjawab: banyak. Dia pikir itu bekal yang ada di dalam tasnya. Tapi, ternyata bekal yang orang kampung maksud adalah ilmu gaib apa yang ada dalam diri kita.”

Aku bertanya pada Madin, ketua komite sekolah, tentang hal gaib seperti itu. Namun, kata Madin, semua itu bergantung pada niat baik kita sendiri.

“Tidak semua tempat masih terdapat hal seperti itu. Biasanya jauh di pedalaman. Kabarnya, kalau ada pendatang yang memiliki ilmu gaib itu sering bertanya “baju” atau “bekal” apa yang dibawa olehnya, dan itu bukan baju atau bekal makanan. Tapi penangkal dalam tubuh kita. Kalau kita jawab ada, siap-siap untuk dites oleh mereka. Hal itu masih ada, tapi tidak di dusun ini,” kisah Madin.

Di sekolah aku mengajar pelajaran Bahasa Indonesia dan tugas tambahan menjadi pembina OSIS serta mengasuh pelajaran Pengembangan Diri. Ditemani pelita dan lirih bunyi binatang malam membuat aku dan sebagian besar warga di sini sudah terlelap pada pukul 21.00 WIB dan kembali berkegiatan pukul 05.30 WIB.

Setelah pulang dari sekolah, biasanya kami mencari sayur dan memancing di pinggiran Sungai Sekayam dengan menggunakan sampan milik masyarakat yang bebas kita pakai. Mencari aneka buah-buahan (saat aku menulis ini durian sedang berbuah, juga rambutan, manggis, langsat, dan rambai).

Di sungai ini, dari hulu ke hilir, terdapat banyak penambang emas tradisional. Konon, para pencari intan Kalimantan yang masyhur tersebar di sepanjang Sungai Sekayam. Aku berpikir, suatu hari aku akan mencari mereka.[]

Entikong, Desember 2012

Akmal M Roem, peserta SM-3T 2012 dari LPTK Unsyiah di tempatkan di SMPN 4 Satu Atap Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun