“Alasannya sederhana,” tutur si pemateri. “Ketika ditanya seorang warga kampung, apakah kamu membawa bekal? Teman saya menjawab: banyak. Dia pikir itu bekal yang ada di dalam tasnya. Tapi, ternyata bekal yang orang kampung maksud adalah ilmu gaib apa yang ada dalam diri kita.”
Aku bertanya pada Madin, ketua komite sekolah, tentang hal gaib seperti itu. Namun, kata Madin, semua itu bergantung pada niat baik kita sendiri.
“Tidak semua tempat masih terdapat hal seperti itu. Biasanya jauh di pedalaman. Kabarnya, kalau ada pendatang yang memiliki ilmu gaib itu sering bertanya “baju” atau “bekal” apa yang dibawa olehnya, dan itu bukan baju atau bekal makanan. Tapi penangkal dalam tubuh kita. Kalau kita jawab ada, siap-siap untuk dites oleh mereka. Hal itu masih ada, tapi tidak di dusun ini,” kisah Madin.
Di sekolah aku mengajar pelajaran Bahasa Indonesia dan tugas tambahan menjadi pembina OSIS serta mengasuh pelajaran Pengembangan Diri. Ditemani pelita dan lirih bunyi binatang malam membuat aku dan sebagian besar warga di sini sudah terlelap pada pukul 21.00 WIB dan kembali berkegiatan pukul 05.30 WIB.
Setelah pulang dari sekolah, biasanya kami mencari sayur dan memancing di pinggiran Sungai Sekayam dengan menggunakan sampan milik masyarakat yang bebas kita pakai. Mencari aneka buah-buahan (saat aku menulis ini durian sedang berbuah, juga rambutan, manggis, langsat, dan rambai).
Di sungai ini, dari hulu ke hilir, terdapat banyak penambang emas tradisional. Konon, para pencari intan Kalimantan yang masyhur tersebar di sepanjang Sungai Sekayam. Aku berpikir, suatu hari aku akan mencari mereka.[]
Entikong, Desember 2012
Akmal M Roem, peserta SM-3T 2012 dari LPTK Unsyiah di tempatkan di SMPN 4 Satu Atap Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H