Jalan yang hanya dilapisi bebatuan ini menyajikan kondisi yang cukup mengkhawatirkan serta menguji ketabahan penggunanya. Badan jalan kecil; penuh dengan tanjakan tinggi; dan dipenuhi lubang besar.
Beberapa kali kami melihat jurang curam. Kami juga bisa melihat lahan sawit yang terbentang luas. Tiba di sekolah, awalnya aku menduga fasilitas di sini masih jauh dari layak. Namun, ternyata usaha yang dibangun oleh sekolah dengan warga telah membuat sekolah ini tampak bersih dan rapi.
Sekolah kecil ini terlihat nyaman. Meski hanya ada tiga ruang kelas dan satu ruang guru yang disekat sebagian untuk ruang perpustakaan, tempat ini indah dan nyaman.
Sekolah ini memiliki siswa 31 orang. Beberapa siswa telah berhenti. Alasannya pun beragam: menikah, jauh dari tempat tinggal, bahkan ada yang memilih membantu orang tua di ladang. Pak Suharna pernah mengajar semua mata pelajaran. Kini, sekolah ini telah memiliki 4 guru pegawai negeri dan 3 guru honorer.
Setelah acara penyambutan di sekolah, aku dan Rahimin diajak Pak Suharna melihat dusun Serangkang. Sepanjang jalan lorong dusun ini, puluhan tikar yang terbuat dari rotan terbentang di jalanan. Warga menjemur padi dan sahang (lada).
Menurut Herman Jumani, Kepala Dusun Serangkang, sebagian besar penduduk berkebun sahang karena dinilai cukup mudah mengurusnya. Penjualan lada hitam sebagian ditujukan kepada pasar-pasar di Malaysia.
Dulu, para petani juga banyak yang berjalan kaki lebih dari 2 jam melintasi bukit menuju Malaysia memasarkan sahang sekali jalan. Kadang-kadang mereka membawa 10-20 KG sahang ke Malaysia.
Sekarang, mereka cukup mudah menjual barang tersebut pada agen yang menunggu di pasar Entikong di dekat perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Sahang berwarna hitam dijual Rp48.000/kg dan yang berwarna putih berkisar Rp70.000/kg. “Namun, harga tersebut bisa saja berubah. Tergantung dolar atau ringgit,” kata kepala dusun.
Harga sahang di Entikong memang termasuk murah ketimbang di Serawak yang menggunakan mata uang ringgit. “Agen harus berurusan dengan dua pintu pajak. Mereka memberi upeti pada imigrasi Indonesia dan Malaysia. Kadang, nilai uang Malaysia naik satu atau dua ratus rupiah kami tidak tahu. Hanya, kami berpatokan satu ringgit itu tetap tiga ribu rupiah,” terang Herman.
Setelah beramah-tamah dengan kepala dusun, kami diajak melihat dapur umum. Di situlah tempat kami tinggal nantinya. Tepat di depan dapur tersebut, ada sebuah bangunan adat yang besar.
Namanya Balai Bentang Panjang “Suka Senang” berdiri kokoh. Di tempat inilah segala kegiatan dusun ini dilaksanakan, seperti pesta pernikahan, Natalan, dan perayaan Gawai.