Diakuinya, ia belajar banyak dari latar belakang teman-teman yang beragam. Juga belajar dari siapa pun yang dianggapnya menginspirasi.Â
Tapi tak dapat dipungkiri, terkadang ia tak menyukai karakter teman-teman tertentu yang dianggapnya kekanakan. Di awal ia sering baper. Namun, seiring usia dan pengetahuan bertambah, ia semakin menyadari arti perbedaan dan konsekuensi hidup berjamaah. Ia bisa berdamai dengan dirinya setelah memaklumi latar belakang karakter yang berbeda setiap temannya.Â
Dibandingkan sekolah pada umumnya, kehidupan berpesantren sesuai dengan kondisinya, bukanlah tempat yang hangat buat orang yang suka baper dalam bergaul.Â
Cinta dan Harapannya pada Sekolah dan Guru
Sekolahnya terus dikembangkan. Sesuatu yang Cinta apresiasi. Tapi tentu tak lepas dari kekurangan.Â
"Sekarang SPIDI sudah luar biasa. Tapi tentu punya kekurangan. Semoga kekurangan itu berkurang dan terus bertambah kelebihannya," ucapnya penuh harap.
Ia berharap guru-guru juga semakin profesional. Ia sadar betul bahwa tonggak dari suksesnya pendidikan di sebuah sekolah adalah guru yang memberikan segalanya. Ia mensyukuri nikmat guru-guru yang baik di sekolah.Â
"Saya pernah kagum sama guru ketika belajar, ada teman yang belum paham pelajaran. Guru tersebut mencari penjelasan yang tepat buat teman tersebut, akhirnya bisa paham juga. Itulah yang saya maksud guru profesional di SPIDI," katanya.Â
*******
Jika spidi didengungkan sebagai sekolah pencetak generasi Smart and shalihah, maka produk terbaik dari kampanye itu salah satunya adalah Cinta. Cinta yang cerdas. Komunikatif. Penuh bakat. Malebbi (anggun). Dewasa. Akhlaknya baik. Semua output itu tak serta merta ada kecuali melalui proses pendidikan dan tarbiyah.Â