“Hey, jangan foto bertiga, berempat atau berdua saja”, seorang teman menyergah Martinus, Hugo dan Hans yang berdiri di depan kamera saya. Saya menimpali “Saya dan mereka tidak percaya mitos Jawa, kawan”. Jepret! Jadilah foto Trio Papua itu. Kami menyebut tiga teman Papua kami dengan trio karena kekompakan dan solidaritasnya, walaupun ketiganya berasal dari suku dan kabupaten berbeda.
Sesi foto ini adalah akhir dari masa kuliah matrikulasi kami. Telah empat bulan kami menempuh tiga matakuliah bersama dalam satu kelas. Selanjutnya kami akan terpisah berdasarkan konsentrasi pilihan kami. Acara perpisahan diadakan atas prakarsa beberapa teman yang menganggap bahwa kebersamaan kami selama ini sudah terlalu kental. Sudah terlalu berat rasanya untuk berpisah. Mungkin karena selama ini kami sering berkumpul, olahraga, jelajah kota, makan dan lain-lain bersama-sama.
“Pak Ketua, tolong foto saya di mobil ini”. Martinus menunjuk mobil sedan tahun 2008 warna silver milik direktur. Teman-teman tertawa. “Awas jangan dipegang Pak Tinus, nanti alarm berbunyi.” Teman dari Aceh meledek Pak Tinus, begitulah Martinus biasa dipanggil.“Ayo lekas Pak ketua, ambil dua kali.” Saya langsung beraksi. Saya tunjukkan hasilnya pada Pak Tinus. Lalu dia berpesan “Pak Ketua, jangan lupa foto ini dipasang di facebook saya.” Saya menyetujui. Dia senang.
***
Pada awal kuliah secara aklamasi dan bercanda teman sekelas menunjuk saya untuk menjadi koordinator kelas, itulah mengapa Pak Tinus –dan beberapa teman lain, memanggil saya Pak Ketua. Saya memang selalu bertanya, usul dan bicara di kelas. Ketika salah seorang dosen bertanya siapa ketua kelas kami, teman-teman langsung menunjuk saya.
Perkenalan intensif saya dengan Martinus adalah saat kami dalam satu kelompok untuk studi kasus perusahaan dalam mata kuliah manajemen. Saya sebagai ketua kelompok meminta beliau untuk ganti berbicara dalam presentasi.
Jika ada PR yang dia tidak tahu, dia selalu datang pada saya untuk kerja kelompok. Saya ajari dia matematika dan statistik. Kadang juga bahasa inggris. Pengalaman yang paling menarik adalah saat kami mengikuti tes TOEFL di pusat bahasa kampus kami. Saya mencari cara agar Martinus bisa mendapatkan jawaban dari saya. Dia duduk beberapa kursi di belakang saya. Akhirnya saya dapat trik.
Sebelum tes dimulai, saya minta padanya agar nanti saat ujian berlangsung untuk melihat tangan kiri saya –yang saya letakkan di atas paha kiri yang saya lipatkan diatas paha kanan saya. Jika jari saya menunjuk angka satu, maka jawaban A, jika dua maka B, begitu seterusnya. Tapi saya ingatkan dia bahwa ini hanya berlaku pada sesi tes listening comprehension. Untuk sesi selanjutnya tidak dimungkinkan. Hanya pada tes pendengaran inilah waktu jeda antara soal satu ke yang lainnya sangat kentara.
Rencana berjalan mulus. Hal ini saya ketahui ketika saya tanyakan padanya bagaimana hasil trik tersebut. Dia bilang oke. Ketika hasil tes diberikan beberapa minggu sesudahnya, benar jawaban Martinus untuk listening hampir persis dengan jawaban saya, hanya beda 5 jawaban. Secara mengejutkan nilai TOEFL Tinus melampaui beberapa rekan yang selama ini jauh di atas tinus dalam semua matakuliah.
Saya, lebih-lebih Tinus, sangat bahagia atas sukses trik ini, walaupun nilai total TOEFL Tinus masih belum memenuhi syarat kelulusan. Hasil tes reading dan structure Tinus terjun bebas. Sangat jomplang dengan nilai listening. Kami tertawa, “Betapa mudah sebuah sistem disiasati” begitu celoteh kami. Kami menang bersama-sama hari itu.
***
Sampai di rumah saya lihat foto perpisahaan. Tinus dengan kemeja lengan pendek, tampak kaku tangan kanannya. Ada bekas luka di sana. Saya ingat, dua minggu sebelum perpisahan itu dia mengalami kecelakaan sepedamotor. Tabrak lari di salah satu perempatan kota Jogja. Motornya rusak berat, sampai harus diservis dan ganti spare part dengan total biaya 700 ribu. Saya yang membawanya ke bengkel karena waktu itu Tinus sendiri tidur di kamarnya, merasakan sakit di sekujur tubuhnya akibat jatuh dan tergerus panas aspal.
Tidak hanya lengannya yang luka, kaki, siku dan pelipis kirinya dijahit. Hari itu dia tidak mengeluh sakit kepala, hanya kaki, lengan dan tubuhnya saja. Menurut keterangannya sendiri, di perempatan itu dia melaju ketika lampu lalu lintas sudah hijau. Tiba-tiba dari arah kiri datang sepedamotor menyeberang. Tentunya motor ini salah, karena harusnya lampu lalu lintas di depannya merah. Motor itu melaju kencang beberapa detik sesudah menabrak Tinus tepat di bagian belakang sepedamotor.
Dia datang sendiri ke rumah sakit. Dari hasil periksa dokter, katanya semua hanya luka ringan. Hanya perlu dijahit dan diolesi obat merah dan salep. Mungkin dokter dan Tinus sendiri tidak terpikir untuk periksa luka benturan kepala waktu itu. Sore hari, 5 jam setelah kecelakaan, barulah saya dan Hugo mengetahui kecelakaan Tinus. Saya menguatkan hatinya agar yakin bahwa dalam waktu dekat lukanya akan sembuh. Tinus sangat takut jika nanti pada saat ujian akhir trimester dia tidak dapat hadir ke kelas. Hugo dengan nada bercanda menyalahkan Tinus yang keluar dari pagi sampai siang hari tanpa beri kabar, bahkan tidak hadir ke gereja. Martinus kecelakaan pada hari Minggu.
“Iya, ini mungkin laknat dari Tuhan karena saya tidak sembahyang pagi itu”. Martinus meratap menyesal dengan sebenarnya. Hugo tertawa karena candanya ditanggapi dengan serius. “Setelah ini, harus lebih rajin sembahyang. Untung Cuma luka begini, kalau lebih parah bagaimana?”. Begitu Hugo mengajak Tinus untuk lebih rajin ke gereja. Tinus mengangguk. Saya tersenyum.Memang hari Minggu sepekan setelah kejadian itu Martinus dengan sangat semangat pergi ke gereja. Saya yang mengantarnya pagi-pagi. Dia membawa al-kitab di tangan kanannya. Saya menjemputnya kembali sekitar 2 jam kemudian. Pulang dari gereja wajah martinus tampak lebih ceria. Rupanya itulah sembahyang terakhirnya di Jogja.
***
Pada saat ujian akhir berlangsung, istri saya sedang cuti kerja. Maka dia ke Jogja menemani saya. Sebelumnya sudah banyak cerita yang dia dengar tentang sahabat-sahabat saya seperti Trio Papua. Istri saya berkesempatan mengenal Martinus, melebihi rekan saya lainnya. Martinus memang sering ke kos saya untuk konsultasi PR. Di situ saya biarkan istri saya mengenalnya. Saya sendiri hanya mengenal nama istri Martinus. Wajah dan orangnya belum sempat tahu. Saya berharap kelak saya bisa berjumpa dengan istri dan tiga anaknya. Nama nyonya Martinus adalah Wilhelmina. Saya tahu hal ini dari email untuk akun facebook-nya. Maritnus datang ke Jogja tanpa email. Sayalah yang membuatkannya. Sekaligus dia meminta saya untuk membuatkannya akun facebook, serta tidak lupa mengajarinya cara download video dan lagu.
Wilhelmina, nama ratu belanda di jaman penjajahan dulu, hari ini tentu telah menerima dua helai kain batik tulis Madura yang saya berikan pada Pak Tinus beberapa hari sebelum perpisahan. Martinus memilih sendiri dua batik itu. Motifnya bunga. Warnanya hijau dan merah. Katanya untuk istrinya di Nabire. Saya bersyukur bisa menghadiahkan batik itu pada sahabat saya Martinus. Saya juga sangat bangga menerima hadiah buku darinya pada bulan pertama kami kuliah. Dia membelikan saya sebuah buku pada saat kami jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan. Satu yang saya sayangkan adalah, saya tidak meminta tandatangannya. Tidak ada bukti bahwa buku itu adalah pemberiannya. Kini saya tempelkan foto Tinus di sedan itu di halaman pertama buku itu, dengan satu kalimat bertulis huruf miring “in Memoriam of Martinus Iek”. Martinus tersenyum di foto itu betatapun beberapa rekan menertawai aksinya saat itu.
***
Dia kembali ke Nabire untuk libur panjang kuliah –dan ternyata menjadi libur sepanjang hidupnya- dengan pesawat pada hari Sabtu. Saya yakin sabtu sore itu dia sangat bahagia berjumpa dengan istri dan anak-anaknya. Lalu pada minggu pagi dia pasti ke gereja bersama seluruh keluarganya sembahyang dan doa dengan khidmat. Bersyukur atas anugerah Tuhan YME pada mereka sekeluarga. Bebas dari bencana besar dan penyakit. Mendapat rejeki yang mencukupi dan segala nikmat lainnya. Minggu itulah sembahyang terakhirnya di dunia. Saat dimana dia masih meminta pada Tuhannya. Saat dia masih berjarak dengan Sang Pencipta.
Tiga hari setelah sembahyang itu, pada Rabu pagi 1 September 2010, Martinus muntah. Keluarganya panik, tidak tahu apa yang menimpa suami dan ayah penyabar dan periang itu. Karena muntahnya semakin parah, dilarikannya dia ke rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan ke rumah sakit itulah, di atas ambulans, malaikat utusan-Nya hadir di antara keluarga yang perasaannya sedang galau, yang menangis, yang sedih, yang menjerit karena takut kehilangan kepala keluarga yang dicintainya. Malaikat mengajak martinus ke nirwana langsung dari ambulans itu.
Menurut analisa saya martinus gegar otak ringan. Telah terjadi luka di bagian dalam kepala Martinus akibat benturan keras saat kecelakaan di Jogja. Darah yang keluar diantara jalur dan belahan otak itu kemudian membeku beberapa hari kemudian, hingga tiga minggu. Lalu pada saatnya tiba, saat Martinus telah berjuang dalam ujian akhir, saat dia telah menuntaskan janji pada isteri dan anaknya untuk membawakannya hadiah, saat dia telah berwasiat pada sahabat-sahabatnya, dia pergi untuk selamanya.
Mata Istri saya berkaca saat saya sampaikan berita duka itu. Martinus yang telah dikenalnya selama beberapa hari lalu kini telah pergi. Saya tidak kuasa menahan air mata saya. Saya memalingkan muka dari istri saya. Lalu istri saya memeluk saya dari belakang. “Mas, setidaknya ada sebuah keindahan dalam kepergian Martinus. Walau dia sakit setelah kecelakaan itu, dia masih bertahan sampai ujian, sampai dia kumpul kembali dengan keluarga”. Saya hanya mampu menarik nafas.
***
Keponakan saya yang masih TK, seusia anak bungsu Martinus-Wilhelmina, siang itu, saat mata saya masih sembab dengan air mata, datang mendekat setelah dia menonton televisi di ruang tengah.
“Om, katanya kemarin mau cerita tentang cenderawasih. Ayo, cerita dong Om tentang burung itu”.
Saya terperanjat. “Ya Tuhan” fikir saya, “betapa Engkau mengirimkan berita duka itu tidak hanya lewat SMS teman hari ini, tapi ternyata atas KuasaMu Kau beri saya pertanda tentang Martinus lewat televisi kemarin, tapi sayang saya tidak sadar.”
Saya mulai sibuk menata perasaan saya. Saya bingung mau cerita darimana dengan alur apa. Biasanya saya selalu menemukan cerita saat anak saya minta cerita tentang hewan, fable. Tiba-tiba saya ingat pada Tinus, istri dan anak-anaknya
“Dedek, konon ada seekor cenderawasih hitam, kecil dan gemuk”. Tangan mungil ponakan saya menepuk lengan saya. Dia protes.
“Tapi Om, kan cenderawasih itu kuning, kurus dan panjang?”. Saya sadar bahwa saya memikirkan Tinus yang memang gemuk, pendek dan hitam.
“Iya, dedek betul. Tapi cenderawasih ini beda di antara yang lain. Walaupun hitam seperti gagak, dia sangat baik hati. Boleh Om lanjutkan?” Ponakan saya mengangguk. Dia mulai mendengarkan dengan seksama.
“Namanya Tino.” Ponakan saya menyeringai sampai matanya hampir terpejam, dia suka nama itu.
“Dia sering mengembara dari satu hutan ke hutan lainnya. Dia tinggal di Nabire, tapi suka mencari teman dan makan di hutan lain untuk menambah pengalamannya. Kadang dia ke Sorong, kadang Biak, kadang Merauke, bahkan pernah ke hutan Jogja.”
“Ketika Tino kembali ke rumah dia selalu cerita tentang daerah pengembaraan serta petualangannya yang seru. Istri dan anak-anaknya mendengarkan dengan riang gembira. Sesekali mereka diajak ke hutan itu.”
“Sepulang dari pengembaraannya di Jogja, Tino, si jantan hitam ini hendak mengembara lagi ke hutan yang lebih jauh. Istrinya tahu hal itu, tapi anak-anak belum tahu, mereka sedang tertidur."
“Istrinya bertanya: Mau mengembara kemana lagi kau, Kak?”
“Tino menjawab: Aku mau ke hutan yang paling indah.”
"Dimana hutan itu?"
"Jauh di atas hutan ini"
"Kapan kau kembali?"
"Tidak tahu kapan, Dik."
"Seberapa indahkah hutan itu?"
"Jauh lebih indah dari hutan Nabire, Sorong, Biak, Merauke, Jogja, bahkan hutan Kalimantan, Amazon atau Skandinavia."
"Kapan kau kembali?"
"Kakak tak tahu pasti. Mungkin tidak akan kembali selamanya."
“Si betina menangis tersedu dan berpesan: Berjanjilah untuk kembali, Kak.”
"Aku tidak bisa berjanji Dik, tapi yang pasti aku tunggu kau di sana. Berjanjilah bahwa kau akan memberi anak-anak kita makan yang bergizi, mainan yang lucu dan selimut yang hangat dan cerita-cerita yang menghibur. Ajari mereka cara mencari makan, bertahan hidup, berteman dan mencintai sesama. Jika kau sudah yakin bahwa anak-anak kita bisa hidup mandiri di hutan ini, segeralah menyusulku ke hutan indah itu."
“Lalu cenderawasih itu pergi dan tak pernah kembali”
Ponakan saya bertanya, “Om, apa Om tahu dimana hutan indah itu?”
“Om juga tidak tahu, Dek. Kita pasti kesana suatu saat nanti. Sekarang dedek makan siang dulu ya”.
Dia mengangguk dan tersenyum. Ponakan saya pergi berlalu, saya melanjutkan kenangan saya pada cenderawasih hitam yang gemuk dan pendek itu. Cenderawasih terbaik yang pernah saya temui di dunia ini. Dia telah terbang dan tidak akan pernah kembali lagi.
Madura, 6 September 2010
Akhmad Jayadi
Sahabat almarhum Martinus Iek
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H