Sampai di rumah saya lihat foto perpisahaan. Tinus dengan kemeja lengan pendek, tampak kaku tangan kanannya. Ada bekas luka di sana. Saya ingat, dua minggu sebelum perpisahan itu dia mengalami kecelakaan sepedamotor. Tabrak lari di salah satu perempatan kota Jogja. Motornya rusak berat, sampai harus diservis dan ganti spare part dengan total biaya 700 ribu. Saya yang membawanya ke bengkel karena waktu itu Tinus sendiri tidur di kamarnya, merasakan sakit di sekujur tubuhnya akibat jatuh dan tergerus panas aspal.
Tidak hanya lengannya yang luka, kaki, siku dan pelipis kirinya dijahit. Hari itu dia tidak mengeluh sakit kepala, hanya kaki, lengan dan tubuhnya saja. Menurut keterangannya sendiri, di perempatan itu dia melaju ketika lampu lalu lintas sudah hijau. Tiba-tiba dari arah kiri datang sepedamotor menyeberang. Tentunya motor ini salah, karena harusnya lampu lalu lintas di depannya merah. Motor itu melaju kencang beberapa detik sesudah menabrak Tinus tepat di bagian belakang sepedamotor.
Dia datang sendiri ke rumah sakit. Dari hasil periksa dokter, katanya semua hanya luka ringan. Hanya perlu dijahit dan diolesi obat merah dan salep. Mungkin dokter dan Tinus sendiri tidak terpikir untuk periksa luka benturan kepala waktu itu. Sore hari, 5 jam setelah kecelakaan, barulah saya dan Hugo mengetahui kecelakaan Tinus. Saya menguatkan hatinya agar yakin bahwa dalam waktu dekat lukanya akan sembuh. Tinus sangat takut jika nanti pada saat ujian akhir trimester dia tidak dapat hadir ke kelas. Hugo dengan nada bercanda menyalahkan Tinus yang keluar dari pagi sampai siang hari tanpa beri kabar, bahkan tidak hadir ke gereja. Martinus kecelakaan pada hari Minggu.
“Iya, ini mungkin laknat dari Tuhan karena saya tidak sembahyang pagi itu”. Martinus meratap menyesal dengan sebenarnya. Hugo tertawa karena candanya ditanggapi dengan serius. “Setelah ini, harus lebih rajin sembahyang. Untung Cuma luka begini, kalau lebih parah bagaimana?”. Begitu Hugo mengajak Tinus untuk lebih rajin ke gereja. Tinus mengangguk. Saya tersenyum.Memang hari Minggu sepekan setelah kejadian itu Martinus dengan sangat semangat pergi ke gereja. Saya yang mengantarnya pagi-pagi. Dia membawa al-kitab di tangan kanannya. Saya menjemputnya kembali sekitar 2 jam kemudian. Pulang dari gereja wajah martinus tampak lebih ceria. Rupanya itulah sembahyang terakhirnya di Jogja.
***
Pada saat ujian akhir berlangsung, istri saya sedang cuti kerja. Maka dia ke Jogja menemani saya. Sebelumnya sudah banyak cerita yang dia dengar tentang sahabat-sahabat saya seperti Trio Papua. Istri saya berkesempatan mengenal Martinus, melebihi rekan saya lainnya. Martinus memang sering ke kos saya untuk konsultasi PR. Di situ saya biarkan istri saya mengenalnya. Saya sendiri hanya mengenal nama istri Martinus. Wajah dan orangnya belum sempat tahu. Saya berharap kelak saya bisa berjumpa dengan istri dan tiga anaknya. Nama nyonya Martinus adalah Wilhelmina. Saya tahu hal ini dari email untuk akun facebook-nya. Maritnus datang ke Jogja tanpa email. Sayalah yang membuatkannya. Sekaligus dia meminta saya untuk membuatkannya akun facebook, serta tidak lupa mengajarinya cara download video dan lagu.
Wilhelmina, nama ratu belanda di jaman penjajahan dulu, hari ini tentu telah menerima dua helai kain batik tulis Madura yang saya berikan pada Pak Tinus beberapa hari sebelum perpisahan. Martinus memilih sendiri dua batik itu. Motifnya bunga. Warnanya hijau dan merah. Katanya untuk istrinya di Nabire. Saya bersyukur bisa menghadiahkan batik itu pada sahabat saya Martinus. Saya juga sangat bangga menerima hadiah buku darinya pada bulan pertama kami kuliah. Dia membelikan saya sebuah buku pada saat kami jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan. Satu yang saya sayangkan adalah, saya tidak meminta tandatangannya. Tidak ada bukti bahwa buku itu adalah pemberiannya. Kini saya tempelkan foto Tinus di sedan itu di halaman pertama buku itu, dengan satu kalimat bertulis huruf miring “in Memoriam of Martinus Iek”. Martinus tersenyum di foto itu betatapun beberapa rekan menertawai aksinya saat itu.
***
Dia kembali ke Nabire untuk libur panjang kuliah –dan ternyata menjadi libur sepanjang hidupnya- dengan pesawat pada hari Sabtu. Saya yakin sabtu sore itu dia sangat bahagia berjumpa dengan istri dan anak-anaknya. Lalu pada minggu pagi dia pasti ke gereja bersama seluruh keluarganya sembahyang dan doa dengan khidmat. Bersyukur atas anugerah Tuhan YME pada mereka sekeluarga. Bebas dari bencana besar dan penyakit. Mendapat rejeki yang mencukupi dan segala nikmat lainnya. Minggu itulah sembahyang terakhirnya di dunia. Saat dimana dia masih meminta pada Tuhannya. Saat dia masih berjarak dengan Sang Pencipta.
Tiga hari setelah sembahyang itu, pada Rabu pagi 1 September 2010, Martinus muntah. Keluarganya panik, tidak tahu apa yang menimpa suami dan ayah penyabar dan periang itu. Karena muntahnya semakin parah, dilarikannya dia ke rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan ke rumah sakit itulah, di atas ambulans, malaikat utusan-Nya hadir di antara keluarga yang perasaannya sedang galau, yang menangis, yang sedih, yang menjerit karena takut kehilangan kepala keluarga yang dicintainya. Malaikat mengajak martinus ke nirwana langsung dari ambulans itu.
Menurut analisa saya martinus gegar otak ringan. Telah terjadi luka di bagian dalam kepala Martinus akibat benturan keras saat kecelakaan di Jogja. Darah yang keluar diantara jalur dan belahan otak itu kemudian membeku beberapa hari kemudian, hingga tiga minggu. Lalu pada saatnya tiba, saat Martinus telah berjuang dalam ujian akhir, saat dia telah menuntaskan janji pada isteri dan anaknya untuk membawakannya hadiah, saat dia telah berwasiat pada sahabat-sahabatnya, dia pergi untuk selamanya.