Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Menulis Fiksi

Menulis saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Rumah Kecil di Tepi Ciliwung (2)

20 Juli 2024   14:40 Diperbarui: 20 Juli 2024   16:44 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com

     

Oleh: Akhmadi Swadesa

     Perumahan Pemda Bogor itu sebagian sudah ada yang selesai, dan ditempati oleh pemiliknya. Namun sebagian lagi banyak yang masih kosong meski secara fisik bangunannya sudah selesai dan siap dihuni. Karena aku senang berjalan-jalan di sekitar perumahan itu, kalau sedang tidak bekerja jadi kuli bangunan, maka banyak penghuni di situ mengenalku. Termasuk pakde Broto dan bude Sulis yang menempati sebuah rumah tipe 36 bersama anak dan mantunya.

     Pakde Broto, umurnya sudah enam puluh tahun, yang pensiunan tentara itu, senang berkebun apa saja. Kalau ada rumah yang belum berpenghuni, biasanya pakde Broto membersihkan halaman rumah tersebut, baik diketahui pemiliknya atau tidak, kemudian menanaminya dengan cabe, terong, tomat, pepaya dan singkong. Hasil dari tanaman itu bisa dimanfaatkan sendiri.

     Pemilik rumah yang kebetulan datang menengok rumahnya, entah seminggu atau sebulan sekali bahkan hingga tahunan, sangat senang lingkungan rumahnya yang kosong tak berpenghuni itu, dibersihkan dan ditanami oleh pakde Broto.

     Pakde Broto juga sudah mengenalku dan kerap aku diundang ke rumahnya untuk ngobrol-ngobrol.

Baca juga: Masih Ada Hari Esok

     "Kamu ini sepertinya lain sendiri, Di. Nggak sama dengan kuli-kuli bangunan yang lain," kata pakde Broto suatu hari.

     "Huh. Lain bagaimana, Pakde?" tanyaku.

     "Lha iya. Penampilanmu itu lho, bersih, dan wajahmu ganteng begitu."

     "Pakde ini. Emang nggak ada kuli bangunan yang bersih dan ganteng? Kalau lagi nggak kerja nguli, tentu saja saya kelihatan bersih, Pakde."

     "Ah, perasaan saya kamu ini bukan asli pekerja bangunan."

     "Lho, buktinya Pakde bisa lihat sendiri. Saya bisa bikin adukan semen, ngangkat batu bata atau batako dan lain-lain."

     Pakde Broto tertawa. Dan ditepuk-tepuknya pundakku. Katanya kemudian: "Kalau aku masih punya anak gadis, sudah saya jodohkan dia sama kamu."

     Aku sepertinya sudah menganggap pakde Broto dan bude Sulis sebagai orangtua sendiri. Aku kerap sengaja dipanggil untuk makan siang atau malam di rumahnya. Aku juga tak sungkan-sungkan membantu pakde Broto mencangkul dan menanami apa saja di tanah halaman rumah-rumah yang tak berpenghuni alias kosong. Dari hasil kegiatan kami itu, tak jarang para tetangga minta daun singkong atau daun pepaya untuk dibuat sayur, atau tanaman lainnya seperti cabe, tomat dan terong. Kami persilakan mereka memetik sendiri sesuka hati.

     Keadaan tanah di desa Sukahati sangatlah subur.   Apa saja yang kutanam selalu bertumbuh. Pohon pepaya atau kates banyak sekali tumbuh di mana-mana. Hampir di setiap halaman rumah ada pohon pepaya, hingga di halaman masjid. Jika sudah ada buahnya yang matang atau masak, siapa saja boleh mengambilnya. Terus-terang, di desa Sukahati itulah aku benar-benar puas makan buah pepaya.

     Suatu sore menjelang senja, ketika aku baru saja bangun tidur setelah kelelahan bekerja mengaduk semen, pintu rumahku terdengar diketuk. Ternyata yang mengetuk adalah bapaknya Asri, tetangga yang rumahnya tidak jauh dari rumah om Piet yang kutempati. Bapak Asri mengantarkan sebiji besar buah pepaya yang nampak baru matang di pohon.

     "Ini untukmu, Ardi. Kami sekeluarga sudah nggak sanggup lagi makan buah pepaya. Bosan. Hampir setiap hari ada saja pepaya yang matang di belakang rumah itu. Ini kamu terima ya, budak kasep!" kata bapak Asri sambil tertawa.

     Buah pepaya itu besar sekali. Rasanya baru kali itu aku melihat ada buah pepaya sebesar itu, besarnya mirip kepala sapi. Ingin menolak pemberiannya, tentu saja itu tidaklah sopan. Apalagi putrinya yang bernama Asri itu sangatlah cantik. Kami sama anggota Karang Taruna di perumahan itu. Kerap bertemu dan ngobrol, aku cukup dekat dengan Asri dan rasanya aku juga menyukainya.

     Buah pepaya itu kuletakkan saja di atas meja kecil dekat tempat tidurku. Melihat bentuk buahnya yang begitu besar, tidak seperti ukuran buah pepaya pada umumnya, tidak timbul seleraku untuk memakannya.

     Aku kemudian mengambil handuk, ember kecil berisi semua perlengkapan mandi seperti sabun mandi dan cuci, sikat gigi dan odol. Lantas pergi ke kali Ciliwung yang berjarak kira-kira dua ratus meter dari rumah yang kutempati.

     Selama tinggal di desa Sukahati, boleh dikata, aku jarang sekali mandi di rumah. Aku lebih suka mandi dan mencuci pakaian di sungai Ciliwung yang airnya mengalir jernih itu. Di kiri-kanan sungai tumbuh berbagai macam pohon besar yang tak kutahu namanya, juga ada pohon buah-buahan seperti rambutan, duku, petai dan mempelam milik warga.

     Kalau aku ingin pergi ke Jakarta, aku cukup menyeberangi kali Ciliwung itu, dengan berjalan kaki tentu saja, lalu memintas-mintas jalan kampung yang sunyi dan asri, hingga aku sampai di setasiun KA kampung Citayam atau Bojonggede. Dari situlah aku naik KA ke Depok atau ke Jakarta.

     Aku melewati beberapa rumah kosong, lalu jalan setapak yang menurun curam, berkelok. Di kiri-kanan jalan setapak yang menurun itu kebun singkong dan jagung milik bang Somad. Siapa bang Somad? Nanti akan kuceritakan tentang lelaki itu, yang kemana-mana selalu membawa golok, yang menggantung di pinggang sebelah kirinya.

     Aku berpapasan dengan beberapa orang teman pekerja bangunan, yang baru selesai mandi dan siap pulang, berjalan naik ke atas pelan-pelan.

     "Hei, Di. Kenapa senja benar mandinya?" tanya Gandul.

     "Tadi ketiduran," jawabku.

     Aku perhatikan keadaan di sungai, memang sudah sepi. Tidak ada lagi orang yang mandi.

     "Hati-hati lho, Di, kalau sudah senja begini, Ciliwung banyak hantunya," timpal Maskuri sambil tertawa.

     "Saya mau mandi telanjang, biar hantunya takut," cetusku.

     "Kalau sudah senja begini, sudah nggak ada orang lagi, memang Ardi bisa bebas mandi telanjang," kata Taufik.

     Kami semua tertawa.

     Beberapa waktu lalu, kami kerja lembur sampai pukul tujuh malam. Setelah itu kami ramai-ramai pergi mandi ke kali Ciliwung, dan kompak telanjang bulat menceburkan diri ke airnya yang dingin.

     Aku perlahan-lahan menuju batu besar tempat aku biasa mandi. Setelah meletakkan ember dan melepas pakaian yang kukenakan, aku turun ke air dan berendam beberapa saat seraya menggosok-gosok tubuhku. Langit di atas sana memang sudah mulai gelap. Aku harus cepat saja. Sikat gigi dan menyabuni tubuhku.

     Tapi ternyata aku tidak sendiri. Masih ada orang lain yang juga mandi di jauhan sana. Kira-kira lima puluh meter di sebelah kiriku. Seorang lelaki. Dia duduk di atas batu pipih yang besar  membelakangiku. Pelan-pelan dia turun ke air, lalu terdengar kecipak air saat dia membasuh tubuhnya. Aku tak jelas, apakah dia juga bertelanjang bulat sepertiku, atau memakai celana basahan. Cahaya senja memang sudah amat temaram.

     Beberapa saat kemudian orang itu membalikkan tubuhnya, naik kembali dan duduk di atas batu pipih yang besar itu. Sempat tadi kulihat wajahnya. Rasanya aku kenal. Bukankah orang itu bapaknya Asri, yang belum lama  tadi mengetuk pintu rumahku dan memberikan buah pepaya matang sebesar kepala sapi?

     Aku berdehem. Orang itu menoleh. Mata kami bersirobok pandang. Ternyata benar! Dia bapaknya Asri.

     "Bapak Asri, tumben mandi ke kali?" kataku tertawa. "Baru kali ini saya lihat!"

     "Iya, budak kasep. Lagi malas mandi di rumah," jawabnya lirih.

     "Saya balik duluan, Bapak Asri. Sudah hampir malam ini. Banyak nyamuk."

      Aku bergegas membelitkan handuk di pinggangku. Kuraih ember kecil berisi perlengkapan mandiku, lantas dengan cepat meloncat ke atas. Aku baru sadar. Itu ternyata bukan bapaknya si Asri. Matanya tadi ketika menatapku. Itu bukan mata manusia. Bukan! Tapi...Tapi...Itu...Itu mata hantuuuuu!

      Aku lari terbirit-birit sampai ke atas. Ketika kutengok ke bawah, ke arah batu pipih besar di tengah kali Ciliwung itu, sosok itu benar sudah tak tampak!

     Dan setibanya di rumah, aku cepat-cepat membuka pintu, lalu masuk dan langsung menguncinya. Lampu ruang tengah kunyalakan. Kepalaku serasa membesar, dan bulu tengkuk dan tanganku berdiri serempak. Aku merasa seolah-olah ada yang membuntutiku dari arah belakang. Aku menoleh. Tak ada siapa-siapa.

     Aku berjalan menuju kamarku di bagian belakang. Kunyalakan lampu kamar. Aku terkejut bukan main. Pepaya sebesar kepala sapi yang tadi kuletakkan di atas meja kecil dekat tempat tidurku, sudah tidak ada. Kucari ke pojok-pojok kamar, juga di bawah tempat tidurku, siapa tahu jatuh dan menggelinding ke bawah, ternyata juga tidak ada! Lantas siapa yang tadi mengantar buah pepaya besar itu, yang sosok dan wajahnya mirip bapaknya Asri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun