Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Pengarang

Menulis saja. 24.05.24

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Rumah Kecil di Tepi Ciliwung (2)

20 Juli 2024   14:40 Diperbarui: 21 Juli 2024   13:48 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com

     "Ah, perasaan saya kamu ini bukan asli pekerja bangunan."

     "Lho, buktinya Pakde bisa lihat sendiri. Saya bisa bikin adukan semen, ngangkat batu bata atau batako dan lain-lain."

     Pakde Broto tertawa. Dan ditepuk-tepuknya pundakku. Katanya kemudian: "Kalau aku masih punya anak gadis, sudah saya jodohkan dia sama kamu."

     Aku sepertinya sudah menganggap pakde Broto dan bude Sulis sebagai orangtua sendiri. Aku kerap sengaja dipanggil untuk makan siang atau malam di rumahnya. Aku juga tak sungkan-sungkan membantu pakde Broto mencangkul dan menanami apa saja di tanah halaman rumah-rumah yang tak berpenghuni alias kosong. Dari hasil kegiatan kami itu, tak jarang para tetangga minta daun singkong atau daun pepaya untuk dibuat sayur, atau tanaman lainnya seperti cabe, tomat dan terong. Kami persilakan mereka memetik sendiri sesuka hati.

     Keadaan tanah di desa Sukahati sangatlah subur.   Apa saja yang kutanam selalu bertumbuh. Pohon pepaya atau kates banyak sekali tumbuh di mana-mana. Hampir di setiap halaman rumah ada pohon pepaya, hingga di halaman masjid. Jika sudah ada buahnya yang matang atau masak, siapa saja boleh mengambilnya. Terus-terang, di desa Sukahati itulah aku benar-benar puas makan buah pepaya.

     Suatu sore menjelang senja, ketika aku baru saja bangun tidur setelah kelelahan bekerja mengaduk semen, pintu rumahku terdengar diketuk. Ternyata yang mengetuk adalah bapaknya Asri, tetangga yang rumahnya tidak jauh dari rumah om Piet yang kutempati. Bapak Asri mengantarkan sebiji besar buah pepaya yang nampak baru matang di pohon.

     "Ini untukmu, Ardi. Kami sekeluarga sudah nggak sanggup lagi makan buah pepaya. Bosan. Hampir setiap hari ada saja pepaya yang matang di belakang rumah itu. Ini kamu terima ya, budak kasep!" kata bapak Asri sambil tertawa.

     Buah pepaya itu besar sekali. Rasanya baru kali itu aku melihat ada buah pepaya sebesar itu, besarnya mirip kepala sapi. Ingin menolak pemberiannya, tentu saja itu tidaklah sopan. Apalagi putrinya yang bernama Asri itu sangatlah cantik. Kami sama anggota Karang Taruna di perumahan itu. Kerap bertemu dan ngobrol, aku cukup dekat dengan Asri dan rasanya aku juga menyukainya.

     Buah pepaya itu kuletakkan saja di atas meja kecil dekat tempat tidurku. Melihat bentuk buahnya yang begitu besar, tidak seperti ukuran buah pepaya pada umumnya, tidak timbul seleraku untuk memakannya.

     Aku kemudian mengambil handuk, ember kecil berisi semua perlengkapan mandi seperti sabun mandi dan cuci, sikat gigi dan odol. Lantas pergi ke kali Ciliwung yang berjarak kira-kira dua ratus meter dari rumah yang kutempati.

     Selama tinggal di desa Sukahati, boleh dikata, aku jarang sekali mandi di rumah. Aku lebih suka mandi dan mencuci pakaian di sungai Ciliwung yang airnya mengalir jernih itu. Di kiri-kanan sungai tumbuh berbagai macam pohon besar yang tak kutahu namanya, juga ada pohon buah-buahan seperti rambutan, duku, petai dan mempelam milik warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun